PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA /TERDAKWA DALAM PEMBERANTASAN TERORISME DI INDONESIA

 

Oleh : Virza Roy Hizzal

 

 

“To no one will we sell to no one will

we refuse or delay right or justice”

(Magna Charta)

 

ABSTRACT

 

Dichotomy between necessary acts of force in fighting terrorism with the obligation to protect Human Rights (HR) cannot be easily ignored, and have created discourse among academic, practitioners, stakeholder, government and legislator and policy maker. Until now they still can find the same perception in facing the danger of terrorism. The variety of element “way” of terrorist in mode of their action and their aim, make important to have one definition that can covered elements on crime of terrorism comprehensively. Terrorism from point of view terrorists or actor, can be viewed that terror is not only can conduct by individual or group, but also conduct by State (state terrorism). This statement is taken from reality that things that can create condition of terror (presence of treat, intimidation, fear, insecure, etc) can be caused by massive efforts that has been rapidly done by government to fight against terrorism. Regulation policy is the reference for operational act on what have been accepted as norms.  Although sometimes, a rule or regulation cannot accustomed with what have been goal to, and also disharmony with the primary aim on how to be conducted. And it is not rare that deviant or wrong interpretation from what have meant to be by the regulation is caused by unprepared regulation or without fully considering historical aspect, sociology, and existed jurisdiction in society. Policy to over come terrorism cannot only by viewing that terrorism is extraordinary crime, but also have to be eliminate from its roots. There is other things that have to be concern, as complexity of it, specially in related with society rights that can be in any time to be a victim cause by “war against terrorism. Actually the most vulnerable victim of “hysteria” terrorism is society. Because of that, no matter how great opinion maker and repressive policy to abolish terrorism, it cannot be practice by ignore security and freedom of society. The investigation process and crime scene investigation, as one gate to eliminate terrorism, and can be a vulnerable space for HR violation and abuse of power by apparatus. Beside, Anti Terrorism Law can open way to board intelligent to intervene, while this is not a judicial board. Where legitimate report from intelligent body is accept as preliminary evident. Human Rights embedded individually with everyone, regardless necessary or not necessary that terrorism ought to eliminate, it is absolutely government responsibility to fulfill its rights. It is also the rights of suspect/convicted crime of terrorism. Society can be at anytime suspect/convict crime of terrorism have to be treated equally according to universal HR standard. By that guarantee it is important that primary agenda for our State to ensure that regulation policy on terrorism crime stay in two point of balance, a principle harmony of “security” and “liberty”.

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

Setiap manusia memiliki kebebasan berkehendak. Manusia memilih apa yang terbaik dalam hidupnya. Atas dasar kemauan bebas dari apa yang dirasakannya baik, manusia menentukan kebenaran. Belenggu-belenggu terhadap kebebasan hanya akan menjadi jurang pemisah dalam pencapaian manusia menuju kebenaran. Seperti dikatakan Rene Descartes : “Cogito Ergo Sum” (aku berpikir, karena itu aku ada).

Peristiwa 11 September 2001 di New York menjadi babak baru dalam menentukan dan membangun sistem keamanan di banyak negara terutama dalam menghadapi aksi-aksi terorisme global. Tragedi yang memilukan itu menyadarkan banyak negara bahwa semua kaidah humaniter dan etika konflik baik di wilayah domestik maupun antar negara yang mengharuskan tidak adanya serangan terhadap masyarakat sipil ataupun sasaran-sasaran non militer, tidak berlaku bagi aksi terorisme. Aksi terorisme ini tidak mengenal prinsip pemilahan target sasaran, sulit diprediksikan, bahkan dengan menggunakan peralatan yang tidak dapat dipertimbangkan sebagai peralatan perang.

Negara-negara yang merasa terancam dari serangan teroris semakin meningkatkan keamanannya dan semakin bertindak represif dalam memberantas kejahatan terorisme. Terorisme menjadi isu global yang penggalangannya melibatkan negara-negara di seluruh dunia. Terorisme menjadi musuh bersama (common enemy) dan merupakan bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengakibatkan traumatik mendalam bagi korbannya, sehingga menjadikannya sebagai “gross violation of human right” yang pemberantasanya dilakukan secara “extra ordinary” serta harus diberantas sampai ke akar-akarnya.

Sejak dahulu revolusi sosial selalu berhadapan dengan rezim yang berkuasa di belahan bumi ini sebagai akibat dari kepincangan akan kepastian hukum dan keadilan. Kritik atas pelaksanaan hukum yang timpang itu terus terjadi silih berganti dalam peradaban bangsa-bangsa di dunia ini dari masa ke masa. Sasarannya dari pergolakan sosial yang terjadi tersebut pada dasarnya adalah mencari hakekat hukum dan keadilan yang berdasarkan pada nilai kebenaran dan kejujuran.

Salah satu bagian dari hukum yang selalu menjadi ukuran untuk efektifitas hukum dalam masyarakat adalah hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum publik. Sebagai bagian dari hukum publik, maka negara dengan tangan penguasa yang berdaulat akan diberikan kekuasaan untuk mengatur dan membatasi hak-hak dan kebebasan setiap individu dalam masyarakat demi terciptanya ketertiban hidup bermasyarakat dalam suatu bangsa dan negara yang merupakan tujuan utama dari hukum pidana. Adanya campur tangan negara dalam setiap kebebasan kehidupan individu dalam hidup bermasyarakat, tentu dalam penerapannya sering terjadi hal-hal yang berbenturan dengan permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM). Terutama pelanggaran terhadap hak asasi tersangka/terdakwa menjadi hal yang paling rentan dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme Indonesia.

Pemerintah sebagai pelaksana yang diberi kewenangan untuk mengatur jalannya pemerintahan demi keberlangsungan negara, maka sudah merupakan kewajibannya pula untuk melindungi HAM. Sebagaimana dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea ke-IV yang menyatakan :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia….”

 

Hal ini dipertegas pula melalui Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan :

“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.”

 

Indonesia sebagai negara yang sedang mengalami transisi demokrasi sejak jatuhnya rezim otoriter orde baru, memiliki perkembangan positif di bidang penegakan  HAM. Salah satu contoh adalah adanya penghapusan tahap demi tahap berbagai perangkat hukum yang bersifat represif yang sengaja dibuat oleh rezim orde baru beberapa masa lalu untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebagai contoh adalah dihapusnya undang-undang  subversif dan undang-undang tentang izin berkumpul yang mengebiri hak-hak politik rakyat, dibatalkannya pasal tentang penghinaan terhadap presiden di dalam KUHP oleh Mahkamah Konstitusi yang bertentangan dengan prinsip persamaan di muka hukum dan mengancam kemerdekaan berpendapat, dihapusnya lembaga SIUP yang memberangus kebebasan pers dan berbagai perangkat hukum lainnya yang tidak sesuai atau bertentangan dengan prinsip negara hukum (rechstaat).

Namun demikian, dalam masa transisi ini masih terdapat beberapa hal dalam penegakan hukum yang pada dasarnya bertentangan dengan semangat penegakan hukum dan demokrasi yang sedang kita bangun bersama. Dalam hal ini adalah sikap pemerintah dan pembuat undang-undang dalam penanggulangan permasalahan terorisme di Indonesia. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih terdapat sejumlah pasal rawan yang berpeluang memberikan kewenangan tak terbatas kepada aparat penegak hukum dan keamanan. Hal ini sangat membahayakan proses demokrasi negara kita yang baru saja tumbuh.

Tidak dapat dipungkiri sering kita lihat dalam kasus pemberantasan terorisme, bahwa pelanggaran prinsip-prinsip hukum dengan pengabaian hak-hak individu tidak saja terjadi di negara yang baru menjalani proses demokrasi. Akan tetapi hal ini juga dirasakan oleh masyarakat di negara yang justru telah menjalankan demokrasi secara mapan. Antara lain seperti adanya penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum (due process of law), penyiksaan oleh aparat (torture), diskriminasi serta stigmatisasi teroris terhadap individu/kelompok maupun terhadap suatu negara yang dianggap sebagai negara teroris.

Perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa terorisme hampir tidak pernah terdengar gemanya, karena kalah populer dengan maraknya kampanye melawan terorisme. Penjara-penjara khusus yang terisolir dari akses publik seperti Guantanamo dan Abu Ghraib, dibuat sebagai tempat penampungan bagi para tersangka teroris. Tidak jelas kapan mereka akan menjalani proses hukum yang adil. Peraturan yang belum ada segera dibuat, sedangkan yang sudah ada segera direvisi demi mencegah, memberantas dan menanggulangi kejahatan terorisme secara represif.  Pada beberapa kasus terlihat adanya diskriminasi dalam peng-label-an status teroris, karena tindak pidana terorisme sulit untuk diinterpretasikan ke dalam suatu bentuk defenisi baku secara universal.

Sejujurnya harus diakui bahwa permasalahan terorisme justru tidak akan pernah tuntas sebagai akibat masih kuatnya dominasi dan hegemoni sikap diskriminatif yang diperlihatkan oleh negara besar terhadap kelompok yang dianggap berbahaya oleh mereka. Hal ini cenderung akan melahirkan sikap ketidakpuasan, ketimpangan dan ketidakadilan yang berpotensi melahirkan bibit-bibit kekerasan sebagai perwujudan suatu pembalasan.

Bagi proses demokratisasi, isu “perang melawan terorisme” bisa berakibat fatal terhadap kemungkinan kemampuan menjamin jalannya proses demokrasi. Tanpa adanya pembatasan yang efektif kepada aparatur negara dalam menjalankan fungsinya melawan terorisme, ia akan menjadi mesin teror baru terhadap kehidupan masyarakat. Teror utama itu tidak saja dalam wujud ketakutan individual, tetapi terbangunnya sistem yang membentuk rasa ketakutan dan ketidaknyamanan masyarakat sehingga dapat menghambat jalannya demokrasi di Indonesia.

Pada faktanya saat ini bukan waktunya lagi untuk memperdebatkan perlu tidaknya pengaturan tindak pidana terorisme. Yang sangat penting untuk dijadikan agenda utama bagi negara kita adalah bagaimana kebijakan pengaturan tindak pidana terorisme tersebut harus berada dalam dua titik keseimbangan yaitu antara prinsip “kebebasan” dan prinsip “keamanan”. Akan menjadi kontradiktif jika negara tidak bisa menjaga keseimbangan antara prinsip liberty” dan “security” tersebut di atas. Beberapa pasal dalam undang-undang pemberantasan terorisme dan beberapa ide dalam mencegah tindakan terorisme akan cenderung mengancam “civil liberties“ yang tentunya merupakan bentuk kemunduran dari proses demokrasi yang sedang kita bangun bersama. Penanggulangan terorisme hendaknya selalu mengedepankan penghormatan atas nilai-nilai demokrasi dan penegakan HAM, sebagaimana yang dinyatakan oleh Arthur J. Golberg (U.S. Permanent Representative to the United Nation) :

Our war against terrorism must be waged to preserve democratic values and adherence to the rule of law and must not erode these foundation of society”.

 

B.    Kerangka Teoritis dan Konseptual

Hak-hak individu lebih sering dilekatkan dengan kata Hak Asasi Manusia, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Human Rights. Pada saat ini hak-hak asasi manusia terdapat dalam berbagai dokumen resmi internasional yang sudah menjadi standar baku universal. Sebagian dari dokumen internasional tersebut dikenal dengan istilah The International Bill of Rights, yang terdiri atas empat dokumen PBB yaitu :

1.      Universal Declaration of Human Rights tahun 1948;

2.      International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights tahun 1966;

3.      International Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966;

4.      Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights tahun 1966.

 

Hak Asasi Manusia sering didefenisikan sebagai hak-hak yang demikian melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak-hak itu manusia tidak mungkin mempunyai martabat sebagai manusia (inherent dignity). Dan karena itu pula dikatakan bahwa hak-hak tersebut adalah tidak dapat dicabut (inalienable) dan tidak boleh dilanggar (inviolable) dalam keadaan apapun. Mukadimah Universal Declaration of Human Rights dimulai dengan kata-kata ini, yaitu “…recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family…”. Kata equal menunjukkan tidak boleh adanya diskriminasi dalam perlindungan negara atau jaminan negara atas hak-hak individu tersebut.

Pengertian HAM berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah :

“HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

 

Pengertian “negara hukum” adalah lawan pengertian “negara kekuasaan”. Dasar pikiran yang mendukungnya adalah kebebasan rakyat (liberte du citoyen), bukannya kebesaran negara (gloire de I’etat). Menurut Philipus M. Hadjon :

“Konsep rechtstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang secara evolusioner.”

 

Menurut Dicey, ada tiga unsur fundamental dalam rule of law, yaitu:

1.      Supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang, dalam arti seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;

2.      Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum. Petunjuk ini berlaku bagi masyarakat biasa maupun para pejabat;

3.      Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.

 

The founding father ketika mendirikan negara Republik Indonesia, merumuskan bahwa negara kita adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan sebagai negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machtstaat). Oleh karena itu, hukum hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam menjalankan roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Disinilah kemudian konstitusi menjadi penting artinya bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi dijadikan sebagai perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil “government by laws, not by men” (pemerintahan berdasarkan hukum, bukan berdasarkan manusia). Hal ini dipertegas pula melalui wakil rakyat kita yang telah berhasil mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 melalui amandemen ketiga pada tanggal 10 Oktober 2001, bahwa Pasal 1 ayat (3) menyatakan :

“Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Negara hukum merupakan suatu dimensi dari negara demokratis dan memuat substansi HAM, bila tidak dikuatirkan akan kehilangan esensinya dan cenderung sebagai alat penguasa untuk melakukan penindasan terhadap rakyatnya, juga sebagai instrumen untuk melakukan justifikasi terhadap kebijakan pemerintah yang sebenarnya melanggar HAM. Suatu negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin adanya penghormatan, perlindungan dan penegakan HAM setiap warga negara. Hal ini merupakan conditio sine quanon, mengingat bahwa negara hukum lahir sebagai hasil perjuangan individu untuk melepaskan dirinya dari keterikatan serta tindakan sewenang-wenang penguasa. Atas dasar itu rezim penguasa tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap individu dan kekuasaannya harus dibatasi berdasarkan hukum. Baik negara maupun individu adalah subyek hukum dalam negara hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Oleh karena itu dalam suatu negara hukum, kedudukan individu dengan negara senantiasa dalam suasana keseimbangan yang dilindungi hukum.

Menurut Mardjono Reksodiputro, istilah “civil rights” bahwa hak dan kewajiban itu adalah simetris merupakan pandangan yang benar. Yang keliru adalah kesimpulan bahwa hak dan kewajiban itu berada pada subyek (individu) yang sama.  HAM melekat pada manusia dan hanya dapat dimiliki oleh warga negara. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian simetri dari hak waga negara terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang mempunyai kekuasaan memelihara dan melindungi hak warga negara tersebut terhadap setiap kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara atau aparat pemerintahnya sendiri.

Sebagai negara hukum, dalam konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945 telah mencantumkan apa saja yang termasuk dalam kategori hak-hak asasi manusia. Mukadimah UUD 1945, walupun tidak secara eksplisit telah menyebutkan HAM dalam kata-kata: “bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa..”. Maka penjabaran konsep perlindungan hukum terhadap HAM diatur dalam batang tubuh UUD 1945 (sesudah amandemen), yaitu dalam Pasal 27, Pasal 28A-J, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 34.

Pasal 27 ayat (1) menyatakan :

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

 

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Amandemen ke-2, menjamin perlindungan dan kepastian hukum terhadap setiap individu, yakni :

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

 

Selain itu UUD 1945 juga menjamin perlindungan atas keselamatan diri pribadi setiap orang dari ancaman rasa takut dan bebas dari penyiksaan sebagaimana tertuang dalam pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 Amandemen kedua yang menyatakan bahwa :

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

 

“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.

 

 

Kemudian Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 Amandemen kedua menyatakan :

 

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”

 

Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 Amandemen kedua menyatakan :

 

“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

 

Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 Amandemen kedua menyatakan :

 

“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”

 

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 Amandemen kedua menyatakan :

 

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi.”

 

Menurut O.C. Kaligis, beberapa ketentuan UUD 1945 yang dikutip di atas, kesemuanya bermuara pada prinsip equality before the law. Haris Suche mengatakan bahwa konsekuensi yang harus dilakukan dari pengaturan HAM dalam beberapa pasal UUD 1945 yang dikutip tersebut adalah baik pengadilan maupun pemerintah memperlakukan orang secara adil. Artinya, tidak seorangpun dapat dipaksa melawan kemauan orang lain baik dengan cara ancaman, desakan maupun dengan sikap politis.

Sebagai manifestasi dari hak-hak yang sama itu adalah persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) dan asas bahwa manusia harus dianggap tidak bersalah sebelum dibuktikan ada kesalahannya itu atau asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Beberapa dokumen historis telah mengisyaratkan tentang HAM pada umumnya dan khususnya asas persamaan kedudukan di hadapan hukum dan asas praduga tak bersalah, seperti dalam Mukadimah Kitab Hammurabi sekitar tahun 1780 Sebelum Masehi (SM), dalam perintah Raja Thutmose dari Mesir sekitar tahun 1500 SM dan dalam perintah Raja Ashoka di India sekitar abad ke-3 SM. Oleh karena itu, pemahaman kita akan istilah “sama” disini adalah wajib dihindarinya diskriminasi berdasarkan : race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social, origin, property, birth or other status.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia secara eksplisit menyatakan tentang “asas praduga tak bersalah” dan “asas legalitas”, dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) :

“Setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelanya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

 

“Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhkan pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya”.

 

Maraknya terjadi pelanggaran HAM pada masa Orde Baru, telah mendorong lahirnya beberapa produk hukum yang mendukung penghormatan dan penegakan HAM di Indonesia. Produk hukum itu antara lain adalah : Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Undang-undang Nomor 26 Tahun 2002 Tentang Pengadilan HAM; Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia; dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Dalam penelitian ini, istilah tersangka berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu :

“Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

 

Sedangkan istilah terdakwa berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu :

“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.”

 

Apabila kita perbandingkan penyebutan istilah tersangka atau terdakwa, maka dalam ketentuan Wetboek van Strafordering Belanda (Ned. Sv.) kedua istilah tersebut tidak dibedakan, akan tetapi hanya disebut dalam satu istilah saja yaitu “verdachte”. Pada ketentuan Pasal 27 ayat (1) Ned. Sv. Istilah tersangka ditafsirkan secara lebih luas dan lugas yaitu dipandang sebagai orang karena fakta-fakta atau keadaan-keadaan menunjukkan ia patut diduga bersalah melakukan suatu tindak pidana. Akan tetapi dalam praktek peradilan perbedaan kedua istilah tersebut tampaknya bukan merupakan perbedaan principal dan boleh dikatakan bersifat “semu” karena ternyata diatur dalam bagian yang sama yakni Bab VI tentang tersangka dan terdakwa mulai Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP.

Pengertian tersangka/terdakwa sering disalahartikan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, bahwa seolah-olah tersangka/terdakwa itu sudah pasti bersalah. Padahal yang berhak menentukan bersalah atau tidaknya adalah pengadilan, dengan adanya putusan dari pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Mengenai istilah tindak pidana terorisme, sudah banyak para ahli maupun lembaga yang merumuskannya, namun belum ada kesamaan secara universal dari istilah tersebut karena masing-masing melihat dari sudut pandangnya sendiri. Pengertian yang paling otentik adalah pengertian yang diambil secara etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar tersebut. Menurut Black’s Law Dictionary :

Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika, atau negara bagian Amerika), dan jelas dimaksudkan untuk;

1.      mengintimidasi penduduk sipil;

2.      mempengaruhi kebijakan pemerintah;

3.      mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.

 

Muladi memberi catatan atas defenisi ini, bahwa hakekat perbuatan terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik, dengan berbagai bentuk perbuatan, seperti berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku terorisme dapat merupakan individu, kelompok, atau negara, yang melakukan tindak pidana tersebut dengan tujuan menimbulkan munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain.

Kebijakan legislasi, yang dimaksud dalam penelitian ini ialah suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problem tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu. Sedangkan pengertian kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini sebagai pengganti dari istilah “policy” atau “beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti “wijsbeleid”, menurut Robert R. Mayer dan Ernest Greenwood kebijakan (policy) dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif.

Istilah pelanggaran hukum yang dimaksud dalam penulisan ini adalah tindakan yang dilakukan secara menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta memiliki sanksi hukum. Sedangkan penegakan hukum adalah suatu kegiatan penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan sikap tindak, untuk menciptakan, memelihara, serta mempertahankan kedamaian. Perlindungan hukum mencerminkan kewajiban dan tanggung jawab yang diberikan dan dijamin oleh negara untuk menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak-hak asasi manusia berdasarkan undang-undang dan peraturan hukum.

Menurut teori aliran positivis, pembedaan “hak” dan “hukum” adalah untuk mengisi kekosongan (lacone) akibat dari penolakan terhadap “hukum tuhan” (divine law) dan “hukum alam” (natural law) yang menjadi landasan hak-hak asasi manusia dan hukum positif. Hukum dipandang sebagai perintah yang memaksa yang dibuat oleh masyarakat manusia untuk melindungi manusia dari perlakuan tidak adil manusia lain, sehingga timbul hak-hak yang diberikan oleh hukum. Dengan demikian perlindungan hukum merupakan manifestasi dari hak asasi manusia.

Ketika individu dipersatukan dalam masyarakat dan negara, terjadi benturan-benturan antara pelaksanaan HAM antar individu dan kepentingan masyarakat/negara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa HAM tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan negara, fungsi negara, cara penggunaan dan pembatasan kekuasaan Negara. Secara historis hakikat HAM berkisar pada hubungan antara individu dengan masyarakat politik yang disebut negara, sekalipun HAM telah melekat sejak kelahiran manusia, penegakan dan perjuangannya baru tumbuh ketika manusia dihadapkan pada ancaman yang ditimbulkan oleh kekuasaan negara. Penegakan HAM memunculkan pertarungan antara dua hak prinsipil yaitu HAM dan kekuatan/kekuasaan yang melekat pada negara.

Dari instrumen-instrumen hukum yang berkaitan dengan penegakan HAM, serangkaian hak dan kebebasan asasi yang terancam penghormatan dan pemenuhannya, dalam kaitan dengan upaya pemberantasan terorisme adalah rentan pelanggaran terhadap: hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan dan penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahakan martabat; penghormatan prinsip legalitas; hak untuk bebas dari penahanan sewenang-wenang; hak bagi terciptanya peradilan yang fair termasuk hak didampingi penasihat hukum; kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama; kebebasan berekspresi dan bersidang; kebebasan dari diskriminasi; kebebasan untuk mendapatkan suaka politik dari persekusi; dan penghormatan untuk hak-hak yang dilindungi dalam situasi darurat.

Dalam rangkaian “criminal justice system”, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mengatur hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana dari mulai proses penangkapan, penahanan dan penuntutan di pengadilan sampai pada tahap eksekusi dan resosialisasi kepada masyarakat. Dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme, Bab V Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengatur secara khusus tentang hukum acara tindak pidana terorisme yang berkaitan dengan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Beberapa hal membuktikan bahwa dalam pelaksanaannya upaya pemberantasan tindak pidana terorisme yang bertujuan untuk melindungi hak asasi masyarakat ternyata justru banyak melanggar prinsip-prinsip HAM itu sendiri. Oleh karena itu dalam penelitian ini, Penulis akan meneliti secara lebih mendalam tentang perlindungan, penghormatan, dan penegakan hukum terhadap hak-hak asasi tersangka/terdakwa terorisme, dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia yang selaras dengan penghormatan atas prinsip-prinsip Hak-hak Asasi Manusia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

KONSEP LEGISLASI PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA/TERDAKWA

 

A.       Sejarah dan Konsep Hak Asasi Manusia

Sejarah keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM) pada hakikatnya sudah berlangsung sejak lama yaitu sepanjang sejarah keberadaan manusia itu sendiri. Pemikiran ini didasarkan bahwa hak-hak asasi yang kekal dan secara kodrati inherent atau melekat pada diri manusia adalah hak-hak asasi yang diberikan oleh tuhan yang menciptakan manusia sebagai anugerah-Nya, oleh karena itu harus dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi dan tidak boleh dikurangi, dirampas, atau dilanggar kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun.

Sejak masa Hammurabi seorang raja Babilonia, embrio mengenai konsep HAM telah mulai ada dan dirilis dalam bentuk tertulis sejak ± 1780 SM. Kemudian di masa kaisar Justianus, HAM telah menjadi sebuah peraturan dalam bentuk “Corpus Juris Civilis” sebagai suatu undang-undang mengenai HAM yang melindungi hak-hak warga negara dalam hubungannya dengan kenegaraan.

Namun demikian umumnya para pakar di Eropa berpendapat, bahwa lahirnya HAM dalam sebuah konsep yang tertulis dikenal sejak lahirnya Magna Charta 1215 di Inggris. Dengan lahirnya Magna Charta tersebut bahwa mereka yang mempunyai kekuasaan absolut dan selalu bertindak sewenang-wenang, harus dibatasi menjadi kekuasaan yang bersifat relatif agar dapat membatasi kesewenang-wenangannya. Sehingga dengan konsep ini para raja mulai dapat dimintai pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari konsep inilah melahirkan doktrin raja tidak kebal hukum lagi (unimpunidad) dan mulai bertanggung jawab kepada hukum. Sejak saat itu mulai dipraktikkan jika raja melanggar hukum, harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakan-kebijakannya kepada parlemen, jadi sudah mulai dikatakan bahwa raja terikat oleh hukum dan bertanggung jawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada saat itu masih banyak berada di tangan para raja. Dengan demikian lahirnya Magna Charta (1215) merupakan suatu monarki konstitusional karena kekuasaan raja dapat dikatakan hanya sebagai simbol semata. Pasal 21 Magna Charta menggariskan bahwa para pangeran dan baron akan dihukum berdasarkan asas persamaan, sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya.

Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih baik (konkrit) yaitu dengan lahirnya “Habeas Corpus Act” (1679) serta lahirnya “Bill of Right” (1689) pada masa ini mulai nampak adagium yang intinya bahwa semua manusia sama di muka hukum (all man equal before the law). Dari adagium ini tidak hanya melahirkan hak-hak yang fundamental, tapi mendorong juga lahirnya negara hukum dan demokrasi. Bill of right yang melahirkan asas persamaan pada prinsipnya akan melahirkan pula hak kebebasan jika asas persamaan tersebut telah dapat diwujudkan, sebab hak kebebasan baru ada atau dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.  Untuk mewujudkan semua itu, maka muncullah teori Rosseau yaitu teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat, Montesqueu dengan teori trias politica-nya yang mengajarkan teori pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jeferson di Amerika serikat dengan hak-hak dasar persamaan dan kebebasan yang dicanangkan.

Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya Virginia Bill of Rights (1776) dan Declaration of Independent (1776) yang mengandung rumusan piagam HAM yang bersifat universal. Kedua piagam tersebut lahir dan dipengaruhi oleh paham Rousseau dan Montesqueu, sebagai akibat perkembangan yang terjadi pada situasi dan kondisi saat itu. Dari sinilah awal penegasan bahwa manusia itu merdeka sejak dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir dia harus dibelenggu.

Berikutnya di Perancis lahir apa yang dikenal The Franch Declaration (1789) dimana hak-hak lebih diperinci lagi dan melahirkan asas “the rule of law” antara lain dinyatakan tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah yang sah. Dinyatakan pula prinsip “presumption of innocence” artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan menyatakan bersalah. Dipertegas pula dengan “freedom of expression (kebebasan dalam mengeluarkan pendapat), “freedom of religions“ (kebebasan beragama), dan “the right of property” (perlindungan terhadap hak milik) serta hak-hak dasar lainnya. Jadi dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin timbulnya demokrasi maupun negara hukum.

Perlu juga diketahui bahwa Presiden Roosevelt mencanangkan “The Four Freedoms  pada tahun 1941 sebagaimana tersebut di bawah ini :

The first is freedom of speech and expression every where in the world, the second is freedom of every person to worship God in his own way every where in the world, the third is freedom from want which, translated in to word terms, mean economic understandings which  will scure to every nation a healthy peace time life for it’s in habitants every where in the world, the fourth is freedom from fear which translated in the world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a pasition to commit an act of physical agression againts any neighbour any where in the world.

 

Dari kutipan di atas yang menarik adalah poin keempat yaitu hak atas kebebasan dari ketakutan yang meliputi usaha pengurangan persenjataan sehingga tidak satupun bangsa atau negara berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan agresi dan okupasi terhadap negara lainnya. Artinya penggunaan sarana militer sebisa mungkin dihindari.

Di Afrika kita kenal dengan “African Charter on Humans and Peoples Right”. Serta dalam studi hukum Islam (kepustakaan Islam) juga dikenal dengan apa yang disebut “Madinah Charter” yang lahir di jazirah Arab, konteks Piagam Madinah ini merupakan supremasi hukum pertama yang berhasil mempersatukan dari sekian keberagaman perbedaan yang ada pada saat itu, menjadi sebuah kesatuan yang utuh antara kaum muslim dengan non muslim di satu pihak maupun antara non muslim dengan non muslim lainnya di pihak lain, yang memberikan hak dan jaminan kepada siapapun yang menjadi warga negara Madinah. Piagam Madinah yang lahir di Timur Tengah ini lebih lanjut diresepsi, kemudian dijabarkan oleh Organisasi Konferensi Islam sedunia (OKI) dalam sebuah Deklarasi Kairo (1990).

Dilihat dari sejarah peristilahan hak asasi manusia, pertama kali dikenal adalah istilah Natural Right. Karena istilah ini kurang membudaya dalam masyarakat internasional, maka dipakai istilah Right of Man sebagai penggantinya. Namun istilah yang kedua ini juga kurang populer. Alasannya adalah dengan istilah tersebut, maka hak-hak kaum perempuan tidak ter-cover. Dan sebagai padanan istilah yang dapat meng-cover hak-hak kaum laki-laki dan perempuan maka digunakanlah istilah Human Right. Sedangkan dalam studi Islam padanan kata yang digunakan adalah Hakku-Alnaas.

Sebagai akibat kekejaman dan kekejian Hitler di masa Perang Dunia (PD) II yang telah memusnahkan jutaan umat manusia, maka dalam rangka menghargai dan menghormati HAM di muka bumi ini, PBB menetapkan sebuah pernyataan umum tentang HAM yang selanjutnya kita kenal “Universal Declarations of Human Right” (UDHR) 1948. Secara implisit deklarasi ini mengandung pengakuan bahwa setiap manusia diakui sebagai individu dengan menyandang subjek di samping negara. Disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 bahwa tujuan daripada ketentuan HAM ini adalah menghormati hak-hak asasi manusia dan mendorong terciptanya kebebasan manusia tanpa diskriminasi ras, kelamin, suku bangsa, bahasa, agama, dan perbedaan-perbedaan lainnya.

Terbentuknya PBB yang menggantikan LBB serta diumumkannya UDHR 1948, merupakan tonggak permulaan dari suatu perjuangan yang lebih modern dalam melindungi HAM. Untuk mengetahui asal-usul HAM dapat ditelusuri dari teori-teori filsafat tentang hukum kodrat, yaitu suatu hukum yang lebih tinggi daripada hukum positif suatu negara. Menurut teori ini individu sebagai manusia membawa dalam dirinya sejak lahir hak-hak tertentu yang tidak dapat dihilangkan.

Pada abad ke-19 ada beberapa perkembangan yang telah mengisyaratkan adanya perlindungan modern HAM secara internasional. Perkembangan ini mencakup upaya untuk melindungi hak-hak orang asing di luar negeri dan intervensi kemanusiaan untuk melindungi kelompok minoritas. Upaya lainnya yaitu adanya penghapusan perbudakan dan perdagangan budak. Di abad ini pula sudah terlihat kodifikasi perlindungan HAM dalam konstitusi-konstitusi nasional.

Pada awal abad ke-20, derasnya tuntutan rakyat dari berbagai bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri telah menyebabkan terbentuknya sistem mandat LBB terutama pasca Perang Dunia (PD) I dan setelah berakhirnya mimpi buruk akibat ulah yang ditimbulkan oleh kekejaman dan kekejian Holocaust Nazi telah mempercepat terbentuknya PBB, apalagi melihat pemusnahan dari jutaan umat manusia, menjadi dasar pemikiran untuk merumuskan HAM yang bersifat universal. Hal ini tidak lain karena keprihatinan akan robohnya sendi-sendi kemanusiaan barat.

Dalam menyikapi berbagai pelanggaran HAM pasca PD II piagam PBB berusaha menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak-hak asasi manusia, terhadap martabat dan nilai pribadi manusia, terhadap persamaan hak-hak pria dan wanita, serta persamaan antara negara besar dan kecil. Tujuan dari pengukuhan piagam tersebut tidak lain untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional demi menggalakkan kemajuan hubungan persaudaraan antar bangsa berdasarkan penghormatan terhadap prinsip-prinsip hak yang sama, penentuan nasib sendiri serta untuk mencapai kerjasama internasional dalam menyelesaikan masalah-masalah internasional dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan kemanusiaan dengan berusaha terus meningkatkan serta mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan terhadap kebebasan dasar manusia, tanpa ada diskriminasi dalam bentuk apapun.

HAM internasional adalah ideologi universal pertama di dunia, karena HAM yang sekarang ini diterima oleh negara-negara merupakan sebuah gagasan dari keuniversalitasan HAM setelah pada tahun 1948 Majelis Umum (MU) PBB menyetujui secara bulat DUHAM melalui resolusi MU PBB No. 271.A.III. yang di dalamnya melindungi kehidupan manusia, kemerdekaan dan keamanan pribadi, menjamin kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul secara damai, berserikat dan berkepercayaan agama serta kebebasan bergerak dan melarang perbudakan, penahanan sewenang-wenang, pemenjaraan tanpa proses peradilan yang jujur dan adil serta melanggar hak privatisasi seseorang. Deklarasi ini mengandung juga jaminan terhadap hak-hak ekonomi sosial dan budaya.

Dewasa ini deklarasi tersebut mampu memberikan defenisi mengenai kewajiban menghormati HAM yang harus dilaksanakan oleh pemerintah sebelum masuk menjadi anggota PBB, dan banyak dari ketentuannya telah mengikat secara hukum sebagai hukum internasional yag baku. Meskipun piagam PBB belum mengakui pentingnya sikap tidak boleh ikut mencampuri urusan domestik negara lain namun piagam ini juga menganggap bahwa HAM adalah masalah yang menjadi perhatian dan keperihatinan internasional. Oleh karena itu PBB terus memajukan dan mengembangkan pengkodifikasian HAM ke dalam sebuah Bill of Rights dan berusaha mengimplementasikan dan menguniversalisasikan HAM serta memanusiawikan Hukum Internasional.

Tidak jauh dengan gagasan HAM di masa lalu, DUHAM-pun telah memberikan acuan yang universal mengenai hak warga negara yang dituduh melakukan pelanggaran. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB Tahun 1948 menjadi tolok ukur bagi pengaturan hukum dan Hak Asasi Manusia yang diadopsi oleh konstitusi negara-negara di dunia. Terkait perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa, pasal-pasal relevan yang diatur dalam DUHAM yaitu : hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam, dihukum secara tidak manusiawi atau dihina (Pasal 5); hak untuk diperlakukan sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa diskriminasi (Pasal 7); hak untuk tidak ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang (Pasal 9); hak atas pengadilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya (Pasal 10); hak untuk dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya (Pasal 11 ayat 1); Hak untuk tidak boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran hukum menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih berat daripada hukuman yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran hukum itu dilakukan (Pasal 11 ayat 2); Hak untuk tidak diganggu dengan sewenang-wenang urusan pribadinya, keluarganya, rumah-tangganya atau hubungan surat-menyuratnya, juga tak diperkenankan pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti itu (Pasal 12).

Menyusul disetujuinya DUHAM, komisi HAM PBB telah membuat draft Internasional Bill of Human Rights berikutnya yaitu :

1.      The International Covenan on Civil and Political Right (ICCPR), yaitu sebuah perjanjian atau kovenan internasional yang mengatur tentang hak-hak sipil dan politik;

2.      The International Covenan on Economic Sosial and Cultural Right (ICESCR), yaitu perjanjian yang mengatur mengenai hak-hak ekonomi sosial dan budaya;

3.      Protokol fakultatif pada perjanjian hak-hak sipil dan politik.

Akibat hukum dari kovenan tersebut, menjadikan ketentuan-ketentuan atau norma-norma yang ada dalam deklarasi universal HAM 1948 mengikat secara hukum. Karena telah memberi penjabaran lebih rinci mengenai hak-hak yang dilindungi, serta memberikan tata cara pelaksanaan yang harus diikuti oleh negara-negara anggota.

Di samping kedua kovenan dan satu protokol opsionalnya, PBB juga telah berhasil membuat draft dan mengudangkannya bahkan kini membantu dalam pengimplementasian lebih dari 50 peraturan HAM misalnya yang berkenaan dengan masalah-masalah apartheid, genosida, diskriminasi rasial, diskriminasi terhadap wanita, pencegahan dan perlakuan tidak manusiawi dan masih banyak lainnya. PBB juga telah menggalakkan perlindungan terhadap HAM melalui metoda-metoda yang ditambahkan pada pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut sesuai dengan ketentuan resolusi yang telah disetujuinya, PBB telah mengembangkan norma-norma yang menjabarkan dari tujuan yang dinyatakan dalam Pasal 55 dan 56 Piagam PBB. Pasal 55 piagam meminta PBB untuk meningkatkan kemajuan dan perkembangan ekonomi sosial yakni menyelesaikan masalah-masalah ekonomi sosial kesehatan internasional, kerjasama kebudayaan dan pendidikan, penghormatan HAM tanpa adanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Sedangkan Pasal 56 piagam meminta semua negara-negara anggota untuk mengambil tindakan baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri untuk mencapai tujuan-tujuan dalam Pasal 55 tersebut.

Dilihat dari sudut ketatanegaraan bangsa-bangsa, pada prinsipnya ada dua kecenderungan dasar sosial politik dalam sejarah ketatanegaraan HAM yaitu :

1.      Kecenderungan yang lebih bersifat sosiologis dan berdimensi horizontal.

      Yaitu berkenaan dengan hubungan antara orang-perorangan dan kelompok-perkelompok di dalam masyarakat. Suatu fenomena yang menonjol dalam hal ini adalah semakin meluasnya cakupan hidup kebersamaan manusia, yang semula dari paguyuban yang bersifat primordial dan autarkis, telah berkembang menjadi suatu bangsa yang mampu mengakomodasikan kemajemukan penduduk untuk akhirnya menuju pada suatu kehidupan global yang merupakan forum besar untuk berlangsungnya mobilitas penduduk dengan intensitas dan ekstensitas yang semakin lama semakin tinggi;

 

2.      Kecenderungan yang lebih bersifat politis dan berdimensi vertikal.

      Yaitu berkenaan dengan pengorganisasian komunitas politik, khususnya terkait dengan bagaimana caranya suatu kolektifitas manusia dipimpin oleh lapisan elitnya. Fenomena yang menonjol dalam hal ini adalah terlihatnya pergeseran kekuasaan yang berlanjut dari pemerintahan kepada rakyat, juga pada awalnya format politik negara-negara lebih bersifat imperium, maka secara perlahan berkembang dan berubah arah menuju format nation state yang bertumpu pada konsep kedaulatan negara. Namun karena berbagai faktor format ini juga dibatasi kedaulatannya oleh norma-norma hukum dan kebiasaan internasional, yang berjalan dalam pergaulan masyarakat bangsa-bangsa dengan berbagai fora transnasional dan supranasional lainnya, yang memfasilitasi komunikasi intensif dari dunia kemanusiaan itu baik dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya.

 

Seluruh perkembangan dunia kemanusiaan tersebut sangat mempengaruhi konsep negara modern, yang secara historis pertama kalinya dipandang lahir pada saat ditandatanganinya perjanjian Westphalia di tahun 1648 setelah mengakhiri perang tiga puluh tahun di Eropa Barat (1618–1648). Jika dalam kurun sebelumnya dianut paham bahwa kekuasaan imperium bertumpu pada kekuatan militerisme, maka ke dalam negara modern ini, kesatuan wawasan antara pemerintah dan rakyatnya menjadi hal yang teramat penting. Negara model Westphalia ini kemudian berubah dan diganti oleh negara nation yang di dasarkan pada paham nasionalisme. Negara nation ini dipandang lahir pada tahun 1776 yaitu sejak didirikannya negara Amerika Serikat dan kemudian menyusul Republik Perancis pada tahun 1789. Adalah menarik perhatian bahwa negara nation lahir melalui pemberontakan terhadap 57 rezim yang menindas rakyatnya sendiri dan lebih akomodatif terhadap aspirasi dan kepentingannya. Disinilah embrio nasionalisme dan demokrasi modern lahir dan tumbuh hampir bersamaan. Tidak salah kiranya bila dikatakan bahwa demokrasi adalah esensi nasionalisme, sedangkan negara nation adalah format politiknya.

            Tanpa demokrasi, negara nation akan merosot menjadi negara Fasis, negara Nazi atau negara militeristik, yang dalam bentuknya paling buruk terlihat pada negara Fasis Italia di bawah Benito Musolini, negara Nazi Jerman di bawah Adolf Hitler, atau kerajaan Jepang di bawah Jenderal Hidekitojo. Negara-negara inilah yang melancarkan PD II (1939-1945) baik yang berlangsung di Eropa Barat maupun di Asia Timur. Karena sama sekali tidak menghargai manusia dan HAM, dan didukung oleh teknologi perang modern, ketiga rezim ini telah menimbulkan traumatis dan korban yang luar biasa di kalangan umat manusia. Langsung atau tidak langsung, reaksi kemanusiaan inilah yang merupakan dorongan utama untuk menghancurkan ketiga negara yang merupakan abrasi negara nation itu dan mendorong munculnya momentum gerakan HAM internasional sampai saat ini.

            Konsep HAM mempunyai arti penting yang sangat luas, karena tidak hanya menyangkut hak-hak yang ada dan melekat pada setiap individu itu sendiri, tetapi menyangkut juga hak-hak bernegara, hak hukum, hak sosial, hak ekonomi, hak beragama, hak meminta suaka politik dan hak-hak lainnya. HAM yang secara universal diartikan sebagai “Those rights which are inherent in our nature and without which, we can not live as human beings”, merupakan suatu konsep HAM yang pada pasca PD II telah dicantumkan dalam DUHAM PBB tahun 1948. Sejak kelahiran deklarasi ini telah banyak model perjanjian (treaty), pedoman (guidelines) yang dibuat untuk menegakkan HAM.

            Tradisi barat menciptakan konsep HAM dan kebebasan fundamental yang inalianable merupakan bagian alami dari semua umat manusia. HAM dalam konsep barat pada umumnya dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok hak-hak sipil dan politik seperti kebebasan berkumpul dan berekspresi; kelompok kedua adalah hak-hak individual seperti hak-hak sosial ekonomi, hak mendapat pendidikan, bekerja secara sehat dan pelayanan sosial; kelompok ketiga adalah hak-hak kolektif yaitu hak suatu kelompok untuk menentukan nasibnya sendiri atau hak untuk menikmati kebebasan dan persamaan menikmati kekayaan dan sumber daya alam, termasuk hak untuk menikmati pembangunan. Hak pada kelompok satu dan dua dalam negara berkembang disebut directive principles of state policy yang non justiciable, sedangkan hak pada kelompok ketiga adalah semua orang yakni hak atas kepuasan pembangunan.

            Dalam African Charter on Human and Peoples Rights (Piagam Afrika) ditetapkan bahwa semua orang otomatis memiliki hak yang sama terhadap pembangunan ekonomi, sosial dan budayanya dengan penghargaan atas kebebasan dan identitas mereka serta dalam menikmati apa yang diwariskan oleh manusia lainnya secara individualistik. Oleh karena itu negara dapat memiliki kewajiban baik secara individu maupun secara kolektif untuk melindungi pelaksanaan hak-hak di atas.

Dalam Viena World Conference on Human Rights, negara-negara Asia menyetujui bahwa HAM harus dipertimbangkan dalam sebuah proses yang berevolusi dengan mengingat signifikasi kekhususan regional dan nasional serta berbagai latar belakang sejarah, budaya dan agama.

            Pada prinsipnya konsep HAM dapat dikelompokkan kedalam empat pandangan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

1.      Mereka yang berpandangan universal absolut, kelompok ini melihat HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan di dalam The International Bill of Rights, mereka tidak menghargai sama sekali profil budaya yang melekat pada masing-masing bangsa;

2.      Mereka yang berpandangan universal relatif, kelompok ini melihat persoalan HAM sebagai persoalan universal, namun demikian pengecualian-pengecualian (exception) yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional tetap diakui keberadaannya;

3.      Mereka yang berpandangan partikularistik absolut, kelompok ini melihat persoalan HAM sebagai persoalan masing-masing negara, tanpa memberikan alasan kuat khususnya dalam melakukan penolakan terhadap keberlakuannya dokumen-dokumen internasional;

4.      Mereka yang berpandangan partikularistik relatif, kelompok ini melihat HAM disamping sebagai persoalan universal juga merupakan masalah nasional masing-masing bangsa. Bahwa berlakunya dokumen-dokumen internasional harus diselaraskan, diserasikan dan diseimbangkan, serta memperoleh dukungan dan tertanam (embedded) dalam budaya bangsa.

Indonesia sebagaimana dipaparkan oleh Muladi, jelas menganut konsep yang keempat yaitu yang berpandangan partikularistik relatif dengan tetap memperhatikan dan mengembangkan konsep yang kedua yaitu universal relatif dengan berusaha menemukan titik dialogis terhadap konsep-konsep yang lainnya atas dasar Pancasila dan UUD 1945 serta dokumen-dokumen HAM internasional. Tinggal persoalannya adalah bagaimana konsep di atas mampu diimplementasikan ke dalam hukum positif nasional kita serta konsistensi penegakannya.

            Menilik pada sejarah HAM domestik Indonesia, ada yang berargumen bahwa sesungguhnya akar kultural HAM-nya tidak begitu kuat dalam menumbuhkan pengakuan hak. Namun demikian tetap harus disadari bahwa dalam konteks kultural atau khasanah budaya kita masih memiliki elemen-elemen pro Hak Asasi Manusia walaupun tampak lemah. Embrio dari pengakuan HAM di Indonesia sudah ada ketika perjuangan R.A. Kartini yang terkenal dengan konsep Emansipasi Wanita, konsep HAM Dauwes Dekker, konsep HAM Soekarno dan lain-lainnya. Hanya saja konsep HAM tersebut memang tidak tampak secara eksplisit. Ada tiga periode perdebatan konsep HAM yang penting dalam sejarah kemanusiaan di Indonesia, yaitu :

1.      Perdebatan Periode Pertama (1945).

      Perdebatan HAM pada periode ini terjadi pada saat perumusan UUD yang akan dijadikan dasar hukum di negara ini. Pada tahap formulasi inilah perdebatan konsep HAM terjadi terutama konsep HAM dari Hatta dan Yamin, dengan konsep HAM dari Soepomo dan Soekarno di pihak lain. Sejak awal penyusunan UUD 1945, Soekarno menolak dimasukkannya perlindungan HAM serupa Bill of Rights Amerika Serikat, dengan alasan bahwa negara kita adalah negara berdasarkan kekeluargaan yang mendahulukan prinsip kebersamaan di atas kepentingan pribadi (dalam risalah sidang BPUPKI dan PPKI, Sekretariat Negara Republik Indonesia). Konsep HAM yang dikembangkan oleh Soepomo menekankan pada komunitas atau kolektifitas, karena lebih dapat dipengaruhi oleh alam kultural kita. Teori inilah yang tidak mengakui pemisahan antara state dengan society, karena dalam pandangan teori ini negara merupakan penjelmaan dari masyarakat. Dalam pandangan Soepomo negara sebetulnya tidak perlu berbentuk republik, sebab bisa pula berbentuk monarki sejauh dipimpin oleh “enlighten young leaders benevolen fathers”. Maka dengan sendirinya negara itu akan memperhatikan hak-hak warga negara. Jadi tidak relevan lagi membicarakan hak-hak warga negara karena pada akhirnya hanya akan menimbulkan situasi konflik. Menurutnya, HAM sangat identik dengan ideologi liberal-individual, dengan demikian sangat tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Soepomo tidak pernah membayangkan kalau negara yang berasaskan kekeluargaan akan terjadi konflik atau penindasan negara kepada rakyatnya, karena negara atau pemerintahan merupakan satu kesatuan, antara pemerintah dengan rakyat adalah tubuh yang sama. Sedangkan Yamin menolak pandangan Soepomo, menurutnya tidak ada dasar apapun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD yang mereka rancang. Dalam terminologi Hatta disebut sebagai hak warga negara yang sedikitnya dipengaruhi atas pengakuan Jepang dan Nazi. Konsep Hatta mengenai hak warga negara yang pada saat itu konsepsinya mengandaikan bahwa negaralah yang mempunyai hak. Dengan demikian konsepsinya juga mengandung bahaya tersendiri karena konsepsi HAM secara umum mengasumsikan bahwa setiap individu memiliki hak terlepas dari apakah negara mengakuinya atau tidak atas hak tersebut. Penolakan Soepomo memasukkan norma-norma HAM ke dalam UUD 1945 bukan berarti ia anti HAM. Perubahan sikap Soepomo terhadap HAM dapat dilihat dengan dimasukkannya hak-hak dasar warga negara dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 di mana Soepomo terlibat secara langsung dalam perancangannya. Dalam UUDS 1950, sekitar 36 pasal prinsip-prinsip HAM dimuat dibawah payung hak-hak kebebasan-kebebasan dasar manusia yang dijabarkan dari Pasal 7 sampai Pasal 43. Di samping itu konsep Soepomo pada prinsipnya menolak terhadap ide uji hak materil. Alasannya karena hak uji materil dilandasi oleh sikap kecurigaan antara satu dengan lainnya, sementara itu dalam negara integralistik tidak ada alasan untuk saling curiga. Namun demikian jika dilihat dari kacamata teori hukum modern terutama dalam konteks HAM, Judicial Review merupakan senjata yuridis negara untuk lebih melindungi HAM, sebab disanalah produk-produk legislasi yang anti HAM dapat diuji dan dibatalkan. Inilah yang hilang dari sejarah hukum dan politik kita karena begitu banyak produk legislasi yang anti HAM atau yang tidak ramah terhadap HAM dapat dilahirkan, tanpa dapat diuji materil dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Kondisi seperti ini adalah konsekuensi logis dari penganutan atas konsep integralistik.

 

2.      Perdebatan Periode Kedua (1957-1959).

      Periode ini disebut dengan periode konstituante dimana perdebatan HAM pada periode ini sangat kaya dengan khasanah HAM itu sendiri, sebab sedikit banyak dipengaruhi oleh deklarasi HAM PBB 1948, maka intensitas dan kekayaan perdebatan HAM dapat dilihat dan dibuktikan dari risalah konstituante yang secara eksplisit telah mengakui bahwa hak-hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum positif kita. Sebenarnya sikap pro HAM pada periode ini sangat kuat dan berakar, namun sayang periode konstituante hanya tinggal sejarah yang dianggap sebagai suatu malapetaka bagi rezim yang berkuasa pada saat itu. Dalam perdebatan di konstituante pemikiran-pemikiran HAM yang bersifat universal sangat diadoptif sehingga meskipun dalam beberapa hal kita masih menganut konsep hak warga negara dalam arti sempit, namun pada tahun 1950-an secara umum telah ada kemajuan yang cukup berarti dalam konteks HAM. Perdebatan internasional HAM yang menyatakan konsepsi hak-hak sipil dan politik di satu pihak dengan hak-hak ekonomi sosial dan budaya di pihak lain, mengimbas kuat pada perdebatan dewan konstituante. Semua kategori hak diatur dalam rumusan panitia saat itu secara rinci, bahkan boleh dibilang rumusan HAM pada era ini sangat kaya dengan khasanah HAM terutama tidak lagi mempersoalkan dikotomi hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi sosial budaya. Kontribusi pemikiran Islampun sangat besar pada era ini, oleh karena itu jika ada yang mengatakan bahwa Islam tidak simpatik pada HAM, itu salah besar karena cukup banyak kalangan progresif Islam yang cenderung setuju dengan konsep keuniversalan HAM.

 

3.      Perdebatan Periode Ketiga (1966-1998).

      Pada periode ini sering disebut rezim orde baru. Perdebatan HAM pada masa ini karena ada pengaruh dari sikap reaktif masyarakat atas penindasan yang terjadi pada masa demokrasi terpimpin. Periode ini oleh Ismail Sunny dianggap sebagai “Golden Years of Human Rights”, karena pada masa inilah ide-ide HAM yang sempat padam diangkat kembali, bahkan rumusan piagam HAM dan hak serta kewajiban warga negara merupakan pengulangan kembali atas rumusan HAM di konstituante. Namun lagi-lagi sangat disayangkan karena piagam seindah itu harus dikubur kembali oleh fraksi Golkar dan fraksi ABRI dengan alasan yang cukup formalistik, bahwa status MPRS dinilai masih sementara sehingga tidak memiliki otoritas untuk membuat suatu piagam yang memiliki beyond in effect yang sama dengan konstitusi, padahal pada waktu itu sebenarnya terdapat politik dagang sapi dalam lintas fraksi yang pada akhirnya piagam tersebut tidak jadi dibawa ke sidang MPRS. Pasca penguburan piagam tersebut, persoalan HAM bukan tidak ada lagi dalam diskursus pada saat itu, hanya saja komitmen terhadap pengakuan dan pengembangan HAM menjadi sangat nominal. Keadaan status quo ini terus berlangsung sampai pada puncaknya kekalahan dalam diskursus HAM terjadi pada tahun 1974 dengan ditandai oleh peristiwa Malari dan pemberangusan terhadap 11 media massa dan setelah itu baru dimulai politik regularisasi yang sangat ketat. Bila kita kaitkan dengan konsep hak-hak warga negara yang diperdebatkan oleh Hatta dan Soepomo, maka bahaya terminologi hak-hak warga negara bisa dilihat secara jelas karena negara sudah mulai mengatur HAM. Celakanya pengaturan HAM oleh negara pada saat itu bukan untuk memajukan dan mengembangkan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental tetapi justru membatasinya bahkan mengebiri seolah-olah pemerintah atau negara phoby atau anti terhadap HAM, sehingga lengkap sudah Indonesia menjadi sebuah otoriter, represif dan sangat ketinggalan dalam pemajuan bidang HAM dari negara-negara berkembang lainnya, apalagi dengan negara-negara maju. Namun demikian pada dasawarsa pertengahan 1990-an sebagai akibat masuknya Indonesia dalam komite HAM PBB, juga seiring dengan lahirnya Komnas HAM, ide tentang diskursus ini muncul kembali dan selalu menjadi topik utama bahkan sampai sekarang. Oleh karenanya gerakan-gerakan HAM-pun kemudian menjadi bagian dari politik pemerintah. Darisinilah mulai muncul kesadaran bahwa HAM menjadi part of the game dalam dunia internasional, sehingga negara tidak lagi menatap sebelah mata atau dapat mengenyampingkan HAM.

 

Kini pada orde reformasi, pentingnya penghormatan dan penegakan HAM semakin digalakkan. Perundangan yang bersifat pro HAM semakin banyak terlahir pada periode ini. Selain itu melalui Amandemen beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah memasukkan konsep HAM yang setaraf dengan konsep-konsep HAM secara internasional.        

Perdebatan HAM pada periode awal yang mengakibatkan hilangnya sejarah hukum dan politik kita karena begitu banyak produk legislasi yang anti HAM dilahirkan tanpa dapat diuji materil dan dibatalkan oleh Mahkamah Agung, pada saat sekarang Indonesia sudah mempunyai counter-nya. Sebab berdasarkan amandemen keempat UUD 194 telah mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia selambat-lambatnya pada Agustus 2003 harus sudah mempunyai institusi yang bertugas dan berwenang melakukan hak uji materil terhadap segala peraturan perundang-undangan terutama pada level undang-undang. Institusi ini dikenal dengan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan amanat tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003, diikuti dengan terbentuknya sembilan orang hakim konstitusi yang dilantik pada tanggal 16 Agustus 2003. Tugasnya berbeda dengan Mahkamah Agung yang hanya memiliki hak uji materil pada level peraturan di bawah undang-undang.

Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, diharapkan menjadi pengawal konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara, dan sebagai pelindung (protector) konstitusi dalam artian melindungi Hak Asasi Manusia. 

 

B.       HAM dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Sistem hukum yang baik, berusaha untuk membatasi tindakan yang merugikan masyarakat demi rasa aman masyarakat itu sendiri. Ketika masyarakat merasa tidak aman, terjadilah tindakan-tindakan main hakim sendiri atau take the law into their own hands. Tindakan main hakim sendiri adalah perwujudan gagalnya pemerintah dalam memberikan perlindungan dan jaminan rasa aman kepada masyarakat, baik terhadap keamanan jiwa maupun harta bendanya. Kondisi ini diakibatkan oleh :

1.      Pengabaian hukum (disregarding the laws);

2.      Ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law);

3.      Ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law);

4.      Penyalahgunaan hukum (misuse of the law).

 

Oleh karena itu, untuk mencegah tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat, tugas menciptakan keamanan masyarakat itu diserahkan kepada negara melalui Sistem Peradilan Pidana.

Sistem Peradilan Pidana Mempunyai tujuan jangka pendek untuk resosialisasi, tujuan jangka menengah untuk pemberantasan kejahatan dan tujuan jangka panjang untuk kesejahteraan masyarakat. Perkembangan Sistem Peradilan Pidana dapat dilihat dari bentuk-bentuk hukuman, tambahan jenis hak untuk pelaku dan korban, dan reformasi penegakan hukum. Perkembangan ini dapat dilihat dari berubahnya kebiasaan, ide politik dan kondisi ekonomi.

Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi di sini berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Sistem ini dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan maupun  keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dapat diselesaikan, dengan diajukannya pelaku kejahatan ke sidang pengadilan dan diputuskan bersalah serta mendapatkan pidana.

Sedangkan Sistem Peradilan Pidana menurut Andi Hamzah, bukan hanya meliputi hukum, tetapi termasuk juga berbagai unsur non-hukum. Sistem Peradilan Pidana dimulai dari pembentukan undang-undang hukum pidana di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sampai kepada pembinaan narapidana hingga keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.

Konsepsi Sistem Peradilan Pidana adalah teori yang berkenaan dengan upaya pengendalian kejahatan melalui kerjasama dan koordinasi antara lembaga penegak hukum, yang oleh undang-undang diberi tugas untuk itu. Seperti kepolisian dalam penyidikan, kejaksaan dalam penuntutan, Mahkamah Agung (pengadilan) dalam peradilan, Lembaga Pemasyarakatan (Kementerian Hukum dan HAM) dalam pemasyarakatan, dan Advokat dalam pemberian bantuan hukum. Namun, koordinasi antara lembaga penegak hukum sering terjadi tidak sebagaimana yang diharapkan. Kita mengetahui bahwa lembaga-lembaga tersebut masing-masing secara administratif berdiri sendiri.

Dalam kenyataanya semua komponen ini seharusnya bekerja secara terpadu (integrated). Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, maka ada tiga kerugian yang dapat diperkirakan :

1.      Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;

2.      Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana);

3.      Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana.

 

Romli Atmasasmita mengatakan bahwa unsur mutlak dalam hukum adalah asas dan kaidah. Kekuatan jiwa hukum terletak pada dua unsur tersebut, bahwa unsur asas hukum merupakan jantung pertahanan hidup hukum dalam masyarakat. Semakin dipertahankan asas hukum, semakin kuat dan bermakna kehidupan dan pelaksanaan hukum dalam masyarakat. Sistem Peradilan Pidana tidak dapat lepas dari sistem hukum dalam suatu negara secara keseluruhan, khususnya sistem hukum pidana. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sistem hukum pidana menganut asas persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Dalam proses peradilan pidana, ekspresi “equality“ tersebut digambarkan oleh M. Trapman sebagai berikut :

“Bahwa (dalam peradilan pidana) terdakwa mempunyai pertimbangan yang subjektif dalam posisi yang subyektif; penasihat hukum mempunyai pertimbangan yang obyektif dalam posisi yang subyektif; penuntut umum mempunyai pertimbangan yang subyektif dalam posisi yang objektif, sedangkan hakim mempunyai pertimbangan yang objektif dalam posisi yang objektif pula.”

 

Perlindungan dan perlakuan yang sama di depan hukum merupakan bentuk hak asasi yang paling sulit dijalankan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Seorang tersangka, terdakwa atau terpidana, merupakan pihak yang rentan atas pelanggaran HAM. Pemerintah, yang berdasarkan undang-undang wajib memenuhi HAM tersebut, seringkali tidak mampu melakukan perlindungan apapun ketika dituntut untuk memenuhi kewajibannya.

Hukum acara pidana merupakan ketentuan mengenai proses peradilan pidana. Oleh karena itu, kewajiban untuk memberikan jaminan atas perlindungan hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana selama menjalani proses peradilan pidana sampai menjalani hukumannya, diatur juga dalam hukum acara pidana. Kewajiban tersebut harus dipenuhi oleh pemerintah dalam rangka melindungi HAM. Melalui sejumlah prosedur hukum itulah, hakim dapat tiba pada kesimpulan apakah seseorang secara faktual dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana yang telah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang hukum pidana materil. Sementara itu, hak untuk menuntut tanggung jawab terhadap pelanggaran atas hak asasi seorang tersangka, terdakwa maupun terpidana, dijamin melalui lembaga seperti Habeas Corpus di Australia dan Inggris, lembaga Praperadilan di Indonesia, atau lembaga Rechter-Commisaris di Belanda.

Dari pengertian Sistem Peradilan Pidana, dapat dikatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana erat kaitannya dengan hak tersangka dan terdakwa yang harus dilindungi berkenaan dengan adanya perlakuan dari penegak hukum dalam melakukan tindakan upaya paksa, mulai dari tahap pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan dan penyidikan), penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan hakim, upaya hukum, sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Oleh karena Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu sistem, Sistem Peradilan Pidana harus memiliki struktur yang berfungsi secara koheren, koordinatif dan integratif untuk mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal.

Sebagaimana pendapat Muladi, Sistem Peradilan Pidana terpadu adalah sinkronisasi atau keselarasan struktural, substansial dan kultural. Ketiga hal tersebut di atas saling berkait dan mempengaruhi. Berfungsinya Sistem Peradilan Pidana terpadu dengan baik dan benar ditentukan sejauh mana ketiga sinkronisasi (keselarasan) tersebut bekerja. Jika terdapat kelemahan pada salah satu sistem kerja komponennya akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi itu. Dengan demikian, kegagalan pada salah satu sub-sistem saja, akan mengurangi efektivitas sistem tersebut, bahkan dapat menyebabkan tidak berfungsinya sistem tersebut secara keseluruhan. Ciri-ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana ialah:

1.      Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan penasihat hukum);

2.      Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;

3.      Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara;

4.      Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan administrasi keadilan.

 

Tujuan pokok gabungan fungsi Sistem Peradilan Pidana adalah untuk menegakkan, melaksanakan (menjalankan) dan memutuskan hukum pidana. Dengan demikian, kegiatan Sistem Peradilan Pidana didukung dan dilaksanakan oleh 4 (empat) fungsi utama :

1.       Fungsi pembuatan undang-undang (law making function).

Fungsi ini dilaksanakan oleh DPR dan pemerintah atau badan lain berdasarkan delegated legislation. Sedapat mungkin, hukum yang diatur dalam undang-undang, tidak kaku (not rigid), fleksibel, dan akomodatif terhadap kondisi-kondisi perubahan sosial (enough to accomodate changing social conditions).

 

2.      Fungsi penegakan hukum (law enforcement function).

Tujuan objektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan tata tertib sosial (social order) :

a.   Penegakan hukum secara aktual (the actual law enforcement) meliputi tindakan :

1)      Penyelidikan-penyidikan (investigation);

2)      Penangkapan (arrest)-penahanan (detention);

3)      Persidangan pengadilan (trial);

4)      Pemidanaan (punishment) guna memperbaiki tingkah laku individu terpidana (correcting the behavior of individual offender).

b.      Efek preventif (preventive effect)

Fungsi penegakan hukum diharapkan mencegah orang (anggota masyarakat) melakukan tindak pidana. Kehadiran dan eksistensi polisi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, dimaksudkan sebagai upaya pencegahan. Dengan demikan, kehadiran dan keberadaan polisi dianggap mengandung preventive effect yang memiliki daya cegah (detterent effort) anggota masyarakat melakukan tindak kriminal.

 

3.      Fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan (Function of Adjudication).

Fungsi ini merupakan subfungsi dari kerangka penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim serta pejabat pengadilan yang terkait. Melalui fungsi inilah ditentukan :

a.       Kesalahan terdakwa (the determination of guilty);

b.      Penjatuhan hukuman (the imposition of punishment).

 

4.      Fungsi memperbaiki terpidana (The Function of Punishment).

Fungsi ini meliputi aktivitas Lembaga Pemasyarakatan, Pelayanan Sosial terkait, dan Lembaga Kesehatan Mental. Tujuan umum semua lembaga-lembaga yang berhubungan dengan penghukuman dan pemenjaraan terpidana : merehabilitasi pelaku pidana (to rehabilitate the offender) agar dapat menjalani kehidupan normal dan produktif (return to a normal and productive life).

 

Selain adanya kebutuhan akan keterpaduan Sistem Peradilan Pidana, suatu sistem berupaya menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Hal ini sejalan dengan tujuan akhir dari politik kriminal yaitu perlindungan masyarakat dalam kerangka kebijaksanaan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat atau politik sosial. Manfaat lain yang terutama dari kebutuhan akan keterpaduan Sistem Peradilan Pidana adalah terciptanya perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia dalam proses pidana. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan negara hukum kesejahteraan (welfare state) harus didukung oleh kebijaksanaan penegakan hukum pidana melalui Sistem Peradilan Pidana, terutama melalui hukum acara pidana (hukum pidana formal).

 

 

 

C.       Perlindungan Hak Asasi Tersangka/Terdakwa dalam Hukum Nasional

1.       Perlindungan Hak Asasi Tersangka/Terdakwa dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang sering disebut KUHAP, diberlakukan mulai tahun 1981 untuk menggantikan hukum acara pidana yang terdapat dalam HIR 1941 (het Herziene Inlandsh Reglement diterjemahkan sebagai Reglemen Indonesia yang dibaharui, disingkat RIB). Apa yang ingin diganti oleh bangsa Indonesia dari HIR melalui KUHAP dalam proses pembentukan KUHAP (1969-1981) menunjukkan bahwa yang ingin diperjuangkan adalah pemahaman untuk melihat proses peradilan pidana itu sebagai berlandaskan proses hukum yang adil (due process of law), dimana hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana dilindungi serta dianggap sebagai bagian dari hak-hak warga negara (civil rights) dan karena itu bagian dari hak asasi manusia.

Ada sepuluh asas yang ditegaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Kesepuluh asas ini dapat dibedakan menjadi 7 (tujuh) asas umum dan 3 (tiga) asas khusus, yaitu :

Asas-asas umum :

 

a.       Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun;

b.      Praduga tidak bersalah;

c.       Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;

d.      Hak untuk mendapatkan bantuan hukum;

e.       Hak pengadilan terdakwa di muka pengadilan;

f.        Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana;

g.      peradilan yang terbuka untuk umum.

 

Asas-asas khusus :

 

h.      Pelanggaran atas hak-hak individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);

i.        hak seorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;

j.        Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya.

 

Asas pertama tentang “perlakuan sama di muka hukum tanpa diskriminasi”, tidak saja terdapat dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi juga tercantum dalam bagian menimbang dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Asas ini serupa dengan yang terdapat dalam Pasal 6 dan 7 UDHR dan Pasal 16 ICCPR. Baik tersangka, terdakwa dan aparat penegak hukum adalah sama-sama warga negara yang mempunyai hak, kedudukan dan kewajiban yang sama di hadapan hukum, yakni sama-sama bertujuan mencari dan mewujudkan kebenaran dan keadilan. Setiap orang, apakah ia tersangka atau terdakwa, berhak mendapatkan perlindungan hukum tanpa adanya diskriminasi.

            Asas kedua tentang “praduga tak bersalah”, Unsur-unsur dalam asas ini adalah prinsip utama perlindungan hak warga negara melalui proses hukum yang adil (due process of law), yang mencakup  :

a.       Bahwa kesalahan seseorang harus dibuktikan dalam sidang pengadilan yang jujur atau fair trail , berimbang dan tidak memihak (impartiality);

b.      Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara;

c.       Bahwa sidang pengadilan harus terbuka untuk umum;

d.      Bahwa tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuhnya, tanpa campur tangan pemerintah atau kekuasaan sosial politik manapun.

 

            Asas ketiga, adalah tentang “hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi”. Hak ini sebenarnya mengandung dua asas, yaitu :

a.       Hak waga negara untuk memperoleh kompensasi (yang berbentuk uang) dan rehabilitasi (yang berupa pemulihan nama baiknya).

b.      Kewajiban pejabat penegak hukum mempertanggungjawabkan (accountability) perilakunya selama tahap pra-ajudikasi.

 

            Prinsip yang terkandung pula dalam asas ini adalah bahwa negara dapat pula meminta mempertanggungjawabkan segala tindakan yang dilakukan terhadap warga negaranya.

             Asas keempat adalah tentang “hak untuk mendapat bantuan hukum”. Apabila seorang warga negara berhak untuk diperlakukan sama di muka hukum dan para pejabat hukum harus memberlakukannya dengan praduga bahwa ia tidak bersalah, dengan akibat bahwa apabila terjadi kesewenangan ia akan memperoleh kompensasi dan atau rehabilitasi, maka doktrin “equality of arms” juga harus ditaati. Negara, melalui aparat kepolisian dan kejaksaan, selalu mempunyai kesempatan yang lebih besar dibanding dengan kesempatan yang dimiliki tersangka dan terdakwa (yang kemungkinan besar berada dalam tahanan). Hak untuk membela diri telah diperoleh melalui asas praduga tidak bersalah, akan tetapi doktrin “equality of arms” ini didasarkan pada keadaan tersangka dan terdakwa yang sangat tidak seimbang (disadvantage) menghadapi negara. Asas inipun menuntut adanya profesi advokat yang bebas (an independent legal profession). Kebebasan profesi advokat ini harus diartikan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti seorang advokat apabila ia membela seorang klien yang “tidak disukai” masyarakat atau negara.

            Asas kelima, merupakan “hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan”, yang harus diperhatikan bahwa pengadilan tidak dapat memeriksa suatu perkara tindak pidana apabila terdakwa tidak dapat dihadirkan oleh jaksa. Dengan berpedoman pada proses hukum yang adil, bagaimanapun kuatnya bukti-bukti yang dimiliki polisi atau penuntut umum, akan tetapi “sudut pandang” tersangka atau terdakwa selalu masih harus didengar dan dipertimbangkan. Apabila tersangka atau terdakwa tidak dapat hadir atau dihadirkan, maka suatu proses peradilan pidana yang tetap juga dijalankan, telah melanggar “hak untuk membela diri” dan “praduga tidak bersalah” seorang warga negara. Meskipun KUHAP tidak memuat asas ini secara jelas dalam ketentuan-ketentuannya, tetapi penafsiran bahwa peradilan “in absentia” tidak dimungkinkan dalam KUHAP dapat terbaca dari beberapa pasal (misalnya pasal-pasal 145 (5), 154 (5), 155 (1), 203 dan 205). Pengecualian hanya terdapat dalam perkara pelanggaran lalu-lintas (Pasal 214 (1)). Apa yang tidak boleh ditafsirkan dari asas kehadiran ini, adalah bahwa kehadiran terdakwa pada sidang pengadilan dimaksudkan untuk “mempermalukan” terdakwa di muka umum. Tujuannya hanyalah untuk memberi kesempatan terdakwa mengajukan pembelaan, dengan diperlakukan sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia.

            Asas keenam menegaskan adanya “peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana”. Di sini kita lihat ada dua asas, yaitu : i. Peradilan yang bebas dari pengaruh siapapun; ii. Bahwa cara proses peradilan pidana haruslah cepat dengan sederhana. Kebebasan peradilan (independent judiciary) adalah titik pusat dari konsep negara hukum yang menganut paham “rule of law”, di mana hukum ditegakkan secara tidak berpihak (impartial). Peradilan yang bebas tidak akan mengijinkan adanya “show trials” di mana terdakwa tidak diberikan kesempatan yang layak untuk membela diri dan di mana orang sudah dapat menduga bahwa putusan hakim akan mempersalahkan terdakwa tanpa menghiraukan pembuktian ataupun pembelaan. Keinginan mempunyai proses peradilan pidana yang cepat dan sederhana, merupakan tuntutan yang logis dari setiap tersangka dan terdakwa. Asas ini dimaksudkan untuk mengurangi sampai seminimal mungkin penderitaan tersangka maupun terdakwa. Apalagi bilamana tersangka atau terdakwa berada dalam tahanan, maka ia berhak menuntut diadili dalam jangka waktu yang wajar. Tidak boleh ada kelambatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh penegak hukum (Pasal 50 KUHAP).

            Asas ketujuh adalah tentang “peradilan yang terbuka untuk umum” disini adalah adanya “public hearing” dan dimaksudkan untuk mencegah adanya “secret hearing”, dimana masyarakat tidak dapat mengawasi apakah pengadilan secara seksama telah melindungi hak-hak terdakwa. Tidak pernah asas ini boleh diartikan untuk menjadikan peradilan itu suatu “show case” atau dimaksudkan sebagai “instrument of deterrence”, baik dengan cara mempermalukan terdakwa (prevensi khusus) ataupun menakut-nakuti masyarakat atau “potential offenders” (prevensi umum). Perkecualian dari asas ini haruslah dilakukan dengan undang-undang dan dengan syarat bahwa dasarnya adalah kepentingan umum yang berlaku dalam negara demokrasi.

            Asas kedelapan tentang “dasar undang-undang dan kewajiban adanya surat perintah dalam pelanggaran atas hak-hak individu warga negara”. Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak-hak individu warga negara” adalah pelanggaran atas hak kemerdekaan (individual freedom of the citizen) yang dijamin oleh UUD 1945. Jaminan kontitusional ini hanya boleh dilanggar berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan oleh pejabat negara yang diberi wewenang oleh undang-undang pula. Pelanggaran yang berupa: penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan itu, hanya boleh dilakukan sesuai dengan ketentuan KUHAP. Hak individu warga negara ini dapat kita lihat dalam Pasal 3 UDHC, yaitu “the right to life, liberty and security”. Tidak akan ada artinya hak-hak warga negara ini, bilamana secara sewenang-wenang negara dapat (melalui aparatnya): membunuh (extrajudicial execution), menangkap, menahan, menyiksa, menggeledah dan menyita barang seorang warga negara. Ini jelas bukan perbuatan yang sah dalam suatu negara hukum.

            Asas kesembilan tentang “hak seorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya”, asas ini merupakan salah satu unsur dasar dalam hak warga negara atas “liberty and security”. Kelima unsur dasar ini menurut Paul Sieghart adalah :

a.       no one shall be arrested or detained except on grounds, and by procedures, established by law” (asas kedelapan);

b.      when anyone is arrested, he must be told why” (asas kesembilan);

c.       he must then be brought promptly before a judicial officer” (asas keenam dan lembaga praperadilan dalam KUHAP);

d.      “and either released or tried within a reasonable time” (asas keenam);

e.       he must always be entitled to test the legality of his detention by proceedings before a court” (praperadilan dan asas keenam).

 

Kelima unsur dasar yang dikemukakan Paul Sieghart di atas hanyalah suatu kerangka dari mana berbagai hak tersangka dapat dikembangkan, baik melalui undang-undang, putusan pengadilan (yurisprudensi tentang hukum acara pidana) maupun cara-cara yang baik dalam penegakan hukum (behoorlijk rechtshandhaving, decent law enforcement). Asas kesembilan di atas adalah bagian dari pemahaman yang benar tentang “due process of law” (proses hukum yang adil) dimana salah satu unsurnya (lihat asas kedua) adalah: “tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela diri sepenuh-penuhnya”. Bagaimana seorang tersangka dapat dengan baik “membela” dirinya dalam interogasi oleh penyidik bilamana dia tidak diberitahu dengan jelas alasan penangkapannya. Asas kesembilan ini juga menjelaskan mengapa penasihat hukum sejak saat penangkapan berhak untuk melihat berkas perkara yang disusun oleh penyidik sebagai dasar pengajuan perkara kepada jaksa/penuntut umum.

Asas kesepuluh membawa kita kepada tahap purna-ajudikasi (post-adjudication) dan tidak lagi menyangkut seorang tersangka atau terdakwa, tetapi seorang terpidana. Asas bahwa pengadilan berkewajiban mengendalikan pelaksanaan putusannya, dapat hanyalah dilihat sejauh kewajiban pengawasan. Pada umumnya hakim (pengadilan) mengambil sikap bahwa tanggungjawabnya berakhir dengan diberikannya putusan. Sikap semacam ini tidaklah benar, karena khususnya dalam hal pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) ketepatan putusan pengadilan tersebut masih perlu diuji.

Mempelajari asas-asas di atas tidak dapat dilepaskan dari “desain prosedur” (procedural design) sistem peradilan pidana yang ditata melalui KUHAP. Sistem ini dapat dibagi dalam tiga tahap :

a.       Tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication);

b.      Tahap ajudikasi (adjudication);

c.       Tahap purna ajudikasi (post-adjudication).

 

Urutan di atas adalah jelas, tetapi yang sering tidak terlihat jelas (tidak transparan) adalah tahap mana dari ketiga tahap tersebut yang dominan. Suatu desain prosedur yang memberikan dominasi kepada tahap pra-ajudikasi tidak menguntungkan perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Karena apabila sidang pengadilan (tahap ajudikasi) mendasarkan diri terutama pada data dan bukti yang dikumpulkan dalam tahap penyidikan (tahap pra-ajudikasi), maka pengadilan akan sangat tergantung pada apa yang disampaikan oleh polisi dan jaksa tentang perkara pidana tersebut. Terdakwa dan pembelanya akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Bukti-bukti baru, kesaksian a de charge dan setiap pendapat terdakwa terhadap setiap peristiwa atau fakta dalam perkaranya, selalu akan dinilai oleh hakim dengan memperbandingkannya terhadap pandangan jaksa atau penuntut umum (berdasarkan pemeriksaan oleh kepolisian).

Suatu penafsiran melalui Pasal 191 dan Pasal 197 KUHAP dapat dilakukan. Dari ayat (1) masing-masing pasal tersebut haruslah ditafsirkan bahwa tahap ajudikasi (sidang pengadilan) yang harus “dominan” dalam seluruh proses, karena baik dalam hal putusan bebas maupun putusan bersalah, hal ini harus didasarkan pada fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan.

Meskipun rumusan pasal-pasal KUHAP tidak secara jelas merupakan rumusan HAM untuk tersangka dan terdakwa, namun sikap batin (spirit) peraturan perundang-undangan ini menolak pelanggaran HAM dalam setiap tahap dari sistem peradilan pidana  (criminal justice system) kita. Desain prosedur (procedural design) sistem peradilan pidana kita yang ditata melalui KUHAP harus memberikan kedudukan “pusat” (dominan) kepada tahap ajudikasi sidang pengadilan. Hanya dalam tahap ajudikasi ini terdakwa dengan pembelanya dapat berdiri tegak sebagai pihak yang bersamaan derajatnya berhadapan dengan jaksa/penuntut umum. Pengadilan wajib menjamin sepenuhnya hak-hak kedua belah pihak, hak penuntut umum adalah mendakwa dan hak terdakwa adalah membela dirinya terhadap dakwaan. Suatu proses hukum yang adil (fair trial) dengan majelis hakim yang bebas dan tidak memihak (independent  and impartial tribunal) adalah sangat penting untuk rasa aman masyarakat, tidak kalah penting dari usaha menanggulangi kejahatan itu sendiri. Perlu selalu diingat, bahwa adalah dalam kemampuan kita masing-masing untuk mencegah diri kita melakukan kejahatan, tetapi kita tidak mungkin dapat melepaskan diri kita dari risiko diajukan sebagai tersangka dan terdakwa.

Kesepuluh asas di atas, haruslah dilaksanakan dengan baik oleh pihak pemerintah baik oleh aparat maupun pejabat pemerintahan agar terwujudnya perlindungan HAM dan proses penegakan hukum yang adil bagi setiap warga negara Indonesia. Proses pelaksanaannya berawal dari pihak kepolisian, kejaksaan, kehakiman, lembaga swadaya masyarakat serta dibantu pula oleh pengacara atau advokat di dalam mendampingi tersangka/terdakwa, dari tahap penangkapan, penahanan, penuntutan, putusan pengadilan dan sampai pelaksanaan putusan pengadilan.

 

2. Perlindungan Hak Asasi Tersangka/Terdakwa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia

            Pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia sudah sejak lama terjadi, khususnya di zaman orde baru. Pada saat Presiden Soeharto memerintah dengan “tangan besinya”, banyak sekali warga negara yang menjadi korban akibat kesewenang-wenangan aparat dalam cara penyelesaian suatu masalah, terutama yang berkaitan dengan bidang politik dan keamanan negara. Dalam hal ini pemerintah pada saat itu selalu menjaga status quo dengan cara “menghabisi” lawan-lawan politiknya.

Dwi fungsi ABRI mengakibatkan campur tangan aparat begitu besar dalam kehidupan bernegara hingga sampai mengatur urusan rumah tangga rakyat dalam segala bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Penyelesaian konflik seringkali tidak mengindahkan hukum yang ada, mempergunakan cara-cara penculikan, penghilangan orang dan penyiksaan sewenang-wenang terhadap warga yang terlibat maupun diduga terlibat dalam kasus-kasus tertentu. Kebijakan pemerintah yang seringkali “mem-peti-es-kan” suatu kasus dengan alasan untuk menjaga kestabilan, ketertiban, dan keamanan negara, mengakibatkan sampai saat ini banyak kasus pelanggaran HAM yang belum terungkap dan terselesaikan secara tuntas. Seperti kasus pembunuhan seorang buruh pabrik yang bernama Marsinah, wartawan Udin Bernas, penculikan atau penghilangan secara paksa para aktivis mahasiswa atau organisasi masyarakat, penembakan mahasiswa Trisakti, dan lain-lain.

Setelah pemerintah negara Republik Indonesia meratifikasi undang-undang tentang anti penyiksaan barulah warga negara Indonesia sedikit lega karena dengan adanya undang-undang ini diharapkan aparat atau pejabat pemerintah tidak lagi berbuat sewenang-wenang terhadap warga negaranya.

            Perlindungan HAM agar warga negara terhindar dari segala bentuk penyiksaan dan kekerasan baik berupa fisik maupun psikis adalah dengan melaksanakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 Tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Merendahkan Martabat Manusia dengan secara serius dan konsekuen. Beberapa pasal dalam kaitannya untuk melindungi hak asasi tersangka/terdakwa antara lain :

a.       Kewajiban negara untuk mencegah penyiksaan dengan langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya (Pasal 2);

b.      Kewajiban negara untuk menjamin bahwa pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan seluruhnya dimasukkan dalam pelatihan bagi para petugas penegak hukum, sipil atau militer, petugas kesehatan, pejabat publik, dan orang-orang lain yang ada kaitannya dengan penahanan, interogasi, atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara (Pasal 10 ayat (1));

c.        Kewajiban negara untuk senantiasa mengawasi secara sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan untuk melakukan penahanan serta perlakuan terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenangan hukumnya, dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan (Pasal 11);

d.      Kewajiban negara untuk menjamin agar instansi-instansi yang berwenang harus melakukan suatu penyelidikan dengan cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di dalam wilayah kewenangan hukumnya (Pasal 12);

e.       Kewajiban negara untuk menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah kewenangan hukumnya mempunyai hak untuk mengadu, dan agar kasusnya diperiksa dengan segera dan tidak memihak oleh pihak-pihak berwenang. Langkah-langkah harus diambil untuk menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksi dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduannya atau setiap kesaksian yang mereka berikan (Pasal 13);

f.        Kewajiban negara untuk menjamin agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam hal korban meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapatkan kompesasi (Pasal 14).

 

3. Perlindungan Hak Asasi Tersangka/Terdakwa dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Suatu terobosan sejak jatuhnya pemerintahan orde baru pada tahun 1998 berkaitan dengan penghormatan dan penegakan Hak Asasi Manusia adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hal ini mendorong dimasukkannya beberapa pasal mengenai HAM tersebut ke dalam Amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2002, yang mana perdebatan mengenai perlu tidaknya dimasukkannya pasal-pasal tentang HAM tersebut ke dalam kostitusi sudah berlangsung sejak jaman kemerdekaan Republik Indonesia.

Perlindungan HAM dibuat oleh negara dalam bentuk undang-undang untuk melindungi warga negaranya dari setiap pelanggaran HAM. Oleh karena itu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diharapkan agar negara melaksanakan fungsi pemenuhan dan penegakan HAM bagi warga negara. Khusus terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa, yakni agar dapat membatasi penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan aparat maupun pejabat pemerintah. Beberapa ketentuan dalam undang-undang terkait perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa antara lain :

a.       Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum (Pasal 3 ayat 2);

b.      Hak atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi (Pasal 3 ayat 3);

c.       Hak untuk hidup, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, persamaan di muka hukum, dan tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (Pasal 4);

d.      Hak untuk menuntut dan memperoleh perlindungan hukum (Pasal 5 ayat 1);

e.       Hak untuk  mendapat bantuan hukum dan proses pengadilan yang adil, objektif dan tidak berpihak (Pasal 5 ayat 2);

f.        Hak untuk hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin (Pasal 9 ayat 2);

g.      Hak mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan baik perkara perdata, pidana, maupun administrasi melalui proses peradilan yang bebas, tidak memihak dan objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar (Pasal 17);

h.      Hak untuk dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan kesalahannya melalui sidang pengadilan yang sah dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya (Pasal 18 ayat 1);

i.        Hak tidak dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya (Pasal 18 ayat 2);

j.        Hak setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka (Pasal 18 ayat 2);

k.      Hak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 18 ayat 4);

l.        Hak tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Pasal 18 ayat 5);

m.    Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya (Pasal 29 ayat 1);

n.      Hak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada (Pasal 29 ayat 2);

o.      Hak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 30);

p.      Hak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya (Pasal 33 ayat 1);

q.      Hak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa (Pasal 33 ayat 2);

r.       Setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM (Pasal 90);

 

4. Perlindungan Hak Asasi Tersangka/Terdakwa dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas-asas peradilan dan pedoman bagi semua lingkungan peradilan.

Undang-Undang ini mengatur pula perihal perlindungan HAM tersangka/terdakwa, antara lain :

a.       Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat 2);

b.      Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 ayat 1);

c.       Hak setiap orang untuk tidak dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 7);

d.      Hak untuk dianggap tidak bersalah bagi setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 8)

e.       Hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi bagi setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya (Pasal 9 ayat 1)

f.        Hak untuk memperoleh bantuan hukum terhadap setiap orang yang tersangkut perkara (Pasal 37);

g.      Hak tersangka menghubungi dan meminta bantuan advokat sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan (Pasal 38).

BAB III

PENGERTIAN DAN BENTUK KEJAHATAN TERORISME

 

A.     Sejarah Terorisme

Terorisme lahir sejak ribuan tahun silam dan telah menjadi legenda dunia. Dalam sejarah Yunani kuno, Xenophon (430-349 SM) menggunakan psychological warfare, sebagai usaha untuk memperlemah lawan. Kautilya (India) menulis Arthashastra (303 SM), menyatakan bahwa Tunim Yuddha atau perang secara diam-diam dilakukan untuk mengalahkan lawan-lawannya. Pada dekade ini sudah dikenal salah satu cara membunuh dengan jalan menebarkan racun, melakukan pemberontakan yang tidak disadari lawan untuk memperoleh kemenangan. Kaisar Roma, Tiberius dan Caligula, melakukan pembuangan, pengusiran, pengasingan, penyitaan hak milik dan eksekusi untuk memperlemah penantangnya. Perlakuan sewenang-wenang, penyiksaan dan eksekusi juga pernah terjadi di Spanyol untuk para pembangkang (oposisi), termasuk orang yang menyebar desas-desus menentang penguasa.

Teror digunakan oleh suatu kelompok untuk melawan rezim, yang lahir sejak adanya kekuasaan atau wewenang dalam peradaban manusia. Abad pertama, Sicarii (Yahudi) dan gerakan Zealot, melakukan salah satu taktik untuk memperpanjang perang gerilya melawan penguasa Roma dengan teror. Setelah perang saudara di Amerika, Civil War (1861-1865), kelompok pembangkang di kawasan selatan membentuk organisasi teroris Klu Klux Klan, untuk mengintimidasi pendukung pemerintah. Tahun 1793–1794, pemerintahan teror terjadi dalam revolusi Perancis. Dalam rezim teror itu 300.000 orang ditangkap, dan 17.000 dieksekusi tanpa pengadilan. Rezim ini dirancang untuk mengkonsolidasi kekuasaan pemerintahan baru dengan cara mengintimidasi gerakan kontra-revolusioner, subversif dan semua pembangkang lain yang oleh rezim tersebut dicap sebagai musuh rakyat.

Pertengahan Abad ke-19, terorisme muncul dari penganut anarkhi di Eropa Barat, Rusia dan Amerika Serikat. Mereka percaya bahwa jalan terbaik untuk memberikan efek gerakan politik revolusioner dan perubahan sosial adalah menyusupkan seseorang ke dalam pemerintahan. Tahun 1865-1905, beberapa raja, presiden, perdana menteri dan pejabat pemerintah telah menjadi korban pembunuhan kaum anarkhi dengan senjata api atau bom.

Abad ke-20 terjadi perubahan besar-besaran dalam motivasi yang mendasari dunia terorisme. Terorisme telah menjadi bagian dari ciri pergerakan politik dari kelompok ekstrem kanan-kiri, dalam spektrum ideologi politik suatu negara. Kemajuan teknologi, seperti lahirnya senjata serba otomatis dan canggih, alat peledak dengan remote-control, merupakan alat pembunuh baru yang memberikan keleluasaan serta kemudahan bagi teroris untuk melakukan mobilitasnya.

Menurut David C. Rapoport, terorisme yang menonjol saat ini merupakan bagian terorisme gelombang keempat, yang berbeda dari gelombang terorisme terdahulu. Dalam periode tahun 1880-an hingga tahun 1920-an, kelompok teroris gelombang pertama berusaha memenangkan reformasi politik sipil dari pemerintahan otoriter, seperti pemerintahan Tsar di Rusia. Pada periode 1920-an sampai tahun 1960-an, kelompok teroris muncul dalam wajah upaya national self determination, seperti IRA di Irlandia Utara, Red Army di Jepang, Palestina di daerah pendudukan Israel, gerilyawan NPA di Philipina, Harakat Al Anshar (dikenal sebagai Harakat Al Mujahidin) di Pakistan, Gerilyawan Laskar Jhangvi di Khasmir, Jamaat Ulema I-Islami dan Sepha-I Sahaba di Pakistan, Macan Tamil di Srilangka, Aum Shinrikyo di Jepang. Kelompok teroris ini menganggap dirinya sebagai pembela kepentingan negara dunia ketiga menghadapi kekuatan kapitalisme global.

Pada pasca Perang Dunia II, terorisme kembali mengalami perubahan makna dan mengandung konotasi revolusioner. Terorisme dipakai untuk menyebut revolusi dengan kekerasan oleh kelompok nasionalis anti-kolonialis di Asia, Afrika dan Timur Tengah selama kurun 1940-an dan 1950-an. Istilah “pejuang kemerdekaan” yang secara politis dapat dibenarkan muncul pada era ini. Negara-negara dunia ketiga mengadopsi istilah tersebut dan bersepakat bahwa setiap perjuangan melawan kolonial bukanlah terorisme melainkan pejuang kemerdekaan.

Di Aljazair pada tahun 1950-an, terorisme di lakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka (Algerian Nationalist) sebut sebagai “terorisme negara”. Menurut mereka pembunuhan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan bukanlah soal yang harus dirisaukan, bahkan sasaran mereka adalah orang yang tidak berdosa.

Pada akhir 1960-an dan 1970-an, terorisme masih terus dipandang dalam konteks revolusioner. Namun cakupannya diperluas hingga meliputi kelompok separatis etnis dan organisasi ideologis radikal.

Begitu pula dengan kelompok generasi keempat yang muncul pada periode tahun 1980-an digerakkan oleh sebuah keyakinan ideologi tertentu misalnya ideologi revolusioner atau dorongan religius. Hal utama yang membedakan kelompok teroris generasi keempat dengan generasi-generasi sebelumnya adalah bahwa kelompok generasi keempat tidak ragu menjadikan warga sipil (non combatant) sebagai target aksi kekerasan.

Apabila dikaitkan dengan sejarah teorisme, aksi terorisme di Indonesia mulai mengemuka pada tahun 1980-an, tergolong generasi keempat dimana kelompok teroris digerakkan oleh sebuah keyakinan ideologi. Akar masalahnya dari aksi terorisme di Indonesia sejak tahun 1980-an hingga dekade pertama abad 21 sesungguhnya tidak berubah, yaitu ketidakpuasan politik segelintir sempalan dari agama tertentu terhadap berbagai kebijakan negara yang dilaksanakan pemerintah. Selain dipicu oleh ketidakpuasan domestik, terorisme di Indonesia dipicu pula oleh ketidakpuasan pada perubahan lingkungan strategis internasional. Khususnya pada isu Palestina-Israel dimana masyarakat Palestina berada dalam kondisi teraniaya akibat kebijakan Israel yang didukung oleh Amerika Serikat sebagai adidaya tunggal. Apabila ditarik lebih jauh, isu terorisme di Indonesia tidak lepas pula dari sejarah perbedaan pandangan antara Islam dengan Barat.

Secara politik, di masa lalu pemerintah Orde Baru mengambil jarak dengan kelompok Muslim radikal karena trauma dengan pemberontakan DI/TII. Selain itu, kelompok-kelompok Muslim radikal mendapat pengawasan yang sangat ketat dalam setiap kegiatannya dari aparat pemerintah. Pada saat yang sama pencanangan ideologi tunggal Pancasila oleh pemerintah mendapat oposisi keras dari kelompok-kelompok itu, yang berakibat pada tindakan represif dari aparat keamanan.

Selain kelompok yang berbasis pada agama tertentu, aksi terorisme di Indonesia dilancarkan pula oleh kelompok separatis. Masalah separatis bagaikan api dalam sekam dalam kehidupan dan bernegara di Indonesia. Sama halnya seperti kelompok Muslim fundamentalis, kelompok separatis melancarkan aksi terornya karena dilandasi oleh rasa ketidakpuasan dan kekecewaaan terhadap pemerintah yang dinilai mengambil kebijakan yang tidak tepat terhadap pembangunan di daerahnya.

 

B.    Pengertian Terorisme

Kata “teroris” (pelaku) dan “terorisme” (aksi) berasal dari kata latin ”terrere” yang berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata “teror” juga bisa berarti menimbulkan kengerian.

Doktrin membedakan terorisme ke dalam dua macam defenisi, yaitu defenisi tindakan teroris (terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong ke dalam tindakan terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen kekerasan, tujuan politik dan terror/intended audience.

Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes against State menjadi Crimes against Humanity. Crimes against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana teror. Dalam kaitan HAM, Crimes against Humanity termasuk kategori gross violation of human rights yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan pada jiwa-jiwa yang tidak bersalah (public by innocent).

Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam, kiranya perlu dikaji telebih dahulu pengertian atau defenisi terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa lembaga maupun beberapa penulis/pakar atau ahli, yaitu :

1.      US Central Inteligence Agency (CIA)

 

Terorisme Internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing.

 

2.      US Federal Bureau of Investigation (FBI)

 

Teorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta, untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik.

 

3.      US Departments of State and Defense

 

Terorisme adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk mempengaruhi audiens. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.

 

4.      TNI AD

 

Berdasarkan Bujuknik (buku petunjuk teknik) tentang Anti Teror Tahun 2000. Terorisme adalah cara berpikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai teknik untuk mencapai tujuan.

 

5.      Organization of African Unity (OAU), 1999

 

Tindakan teroris merupakan tindakan pelanggaran terhadap hukum pidana “negara anggota” dan bisa membahayakan kehidupan, integritas fisik atau kebebasan, atau menyebabkan luka serius atau kematian bagi seseorang, sejumlah orang atau sekelompok orang atau menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian bagi harta, sumber alam atau lingkungan atau warisan budaya seseorang atau publik dan diperhitungkan atau dimaksudkan untuk : (i) mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menekan atau mempengaruhi pemerintah, badan, institusi, publik secara umum atau lapisan masyarakat, untuk melakukan atau abstain dari melakukan sebuah tindakan, atau untuk mengadopsi atau meninggalkan pendirian tertentu, atau untuk bertindak menurut prinsip-prinsip tertentu; (ii) mengganggu pelayanan publik, pemberian pelayanan esensial kepada publik atau untuk menciptakan darurat publik; (iii) menciptakan pemberontakan umum di sebuah negara; (iv) promosi, sponsor, kontribusi, pengorganisasian, atau perekrutan seseorang, dengan niat untuk melakukan tindakan yang disebutkan dalam poin (i) sampai (iii).

 

6.      Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, 1999

Terorisme adalah tindakan ilegal yang diancaman hukuman di bawah hukuman pidana yang dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau moneter penduduk, dan mengambil bentuk :

a.       Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi hukum;

b.      Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek materil lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain;

c.       Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau tejadinya akibat yang membahayakan bagi masyarakat;

d.      Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut;

e.       Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi internasional yang dilindungi secara internasional, begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan orang-orang yang dilindungi secara internasional;

f.        Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris di bawah perundang-undangan nasional atau instrumen legal yang diakui secara internasional yang bertujuan memerangi terorisme.

 

 

7.      Konvensi PBB Tahun 1937

 

Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.

 

8.      The Arab Convention on the Suppresion of Terrorism (1998)

 

Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut, dengan melukai mereka, atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi, atau menguasai atau merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional.

 

Disebut juga bahwa tindak kejahatan terorisme adalah tindak kejahatan dalam rangka mencapai tujuan teroris di negara-negara yang menjalin kontak, atau melawan warga negara, harta milik atau kepentingannya, yang diancam hukuman dengan hukuman domestik.

 

Tindak kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi berikut, kecuali yang belum diratifikasi oleh negara-negara yang menjalin kontak atau dimana kejahatan-kejahatan tersebut dikecualikan oleh perundang-undangan mereka, juga dianggap sebagai tindak kejahatan teroris :

a.       Konvensi Tokyo tentang tindak kejahatan dan tindakan-tindakan tertentu lain yang dilakukan di kabin pesawat, September 1963;

b.      Konvensi Hague untuk pembasmian perampasan pesawat tidak sah, pada 16 September 1970;

c.       Konvensi Montreal untuk pembasmian tindakan-tindakan tidak sah atas keselamatan penerbangan sipil, pada tanggal 23 September 1971, dan protokolnya pada tanggal 10 Mei 1984;

d.      Konvensi internasional tentang penyanderaan, pada Desember 1979;

e.       Ketetapan-ketetapan konvensi PBB tentang hukum laut, tahun 1982, yang berhubungan dengan pembajakan di atas laut;

f.        Pembunuhan atau pencurian yang direncanakan yang diikuti dengan penggunaan kekerasan yang ditujukan kepada individu, otoritas atau alat-alat transportasi dan komunikasi;

g.      Tindakan sabotase dan perusakan harta publik dan harta yang diperuntukkan bagi pelayanan publik, bahkan jika dimiliki oleh negara yang menjalin kontrak;

h.      Pembuatan, penjualan ilegal atau kepemilikan senjata, amunisi atau bahan peledak, atau bahan-bahan lain yang bisa digunakan untuk melakukan tindak kejahatan terorisme.

 

9.      State of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) Regional Convention on Suppression of Terrorism

a.       Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Hague pada 16 Desember 1970;

b.      Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Montreal pada tanggal 23 September 1971;

c.       Kejahatan dalam lingkup “Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman atas Tindak Pidana terhadap Orang-Orang yang Secara Internasional dilindungi, Termasuk Agen-Agen Diplomatik”, ditandatangi di New York, 14 desember 1973;

d.      Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun di mana negara-negara anggota SAARC adalah pihak-pihak yang mengharuskan anggotanya untuk menuntut atau melakukan ekstradisi;

e.       Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan, penculikan, kejahatan yang berhubungan dengan senjata api, senjata, bahan peledak dan bahan-bahan lain yang jika digunakan untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian atau luka yang serius atau kerusakan berat pada harta milik;

f.        Usaha untuk melakukan kejahatan, atau turut sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan atau berusaha melakukan kejahatan tersebut;

g.      Usaha atau konspirasi untuk melakukan kejahatan, membantu, memudahkan atau menganjurkan kejahatan tersebut atau berpartisipasi sebagai kaki tangan dalam kejahatan yang digambarkan.

 

 

10.  Convention of the Organization of Islamic Conference on Combating International Terorism, 1999

Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman tindakan kekerasan terlepas dari motif atau niat yang ada untuk menjalankan rencana tindak kejahatan individu atau kolektif dengan tujuan menteror orang lain atau mengancam untuk mencelakakan mereka atau mengancam kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan hak mereka atau mengeksploitasi lingkungan atau fasilitas atau harta benda pribadi atau publik, atau menguasainya tau merampasnya, membahayakan sumber nasional, atau fasilitas internasional, atau mengancam stabilitas, integritas terirotial, kesatuan politis atau kedaulatan negara-negara yang merdeka.

 

Kejahatan-kejahatan sebagai berikut juga dikategorikan sebagai kejahatan terorisme kecuali yang dikeluarkan oleh undang-undang negara yang bersangkutan atau yang belum diratifikasi :

a.       Konvensi tentang Kejahatan dan Tindakan lain yang dilakukan di Kabin Pesawat Terbang (Tokyo, 14 September 1963);

b.      Konvensi tentang Pembasmian Perampasan Pesawat Terbang yang menyalahi hukum (The Hague, 16 Desember 1970);

c.       Konvensi tentang Pembasmian Tindakan Menyalahi Hukum terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil, yang ditandatangani di Montreal pada 23 September 1971 dan protokolnya 10 Desember 1984;

d.      Konvensi Internasional terhadap Penyanderaan (New York, 1979);

e.       Hukum konvensi laut PBB tahun 1988 dan pasal-pasalnya yang berkaitan dengan pembajakan di laut;

f.        Prorokol pembasmian tindak kekerasan menyalahi hukum di bandara yang melayani penerbangan sipil internasional suplemen bagi konvensi untuk pembasmian tindakan menyalahi hukum terhadap keselamatan penerbangan sipil (Montreal 1988);

g.      Konvensi Internasional untuk pembasmian pemboman teroris (New York, 1997);

h.      Tindakan Sabotase dan perusakan harta publik dan harta yang diperuntukkan bagi pelayanan publik, bahkan meskipun milik negara-negara yang menandatangani kontrak;

i.        Tindak kejahatan pembuatan, penyelundupan atau pemilikan senjata dan amunisi atau bahan-bahan peledak atau benda-benda lain yang disiapkan untuk tindak kejahatan teoris;

j.        Semua bentuk tindak kejahatan internasional, termasuk perdagangan illegal narkotika dan manusia serta pencucian uang yang bertujuan membiayai tujuan-tujuan teroris harus dianggap sebagai tindak kejahatan teroris.

 

(catatan : i. Perjuangan bersenjata melawan penduduk, agresi, kolonialisme dan hegemoni asing dengan tujuan kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip internasional tidak dianggap sebagai kejahatan terorisme; ii. Pelbagai tindak pidana terorisme di atas tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik.)

 

11.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

 

Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan terutama tujuan politik.

 

12.  Black’s Law Dictionary

 

Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk; (i) mengintimidasi penduduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.

 

13.  Terrorism Act 2000, UK

 

Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri : i. Aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat terhadap harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan tindakan, menciptakan resiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau bagi tertentu yang didesain secara serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik; ii. Penggunaan atau ancaman didesain untuk mempengaruhi pemerintah atau untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu dari publik; iii. Penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan politik, agama atau ideologi; iv. Penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi yang melibatkan senjata api dan bahan peledak. Dari beberapa hal tersebut ada catatan yang perlu diperhatikan bahwasanya di UK mereka yang dalam aktivitas organisasi terlarang dapat dipidana, keterlibatan bisa dalam bentuk keanggotaan, membantu dalam bentuk uang atau kekayaan atau mempersiapkan rapat organisasi terlarang, memakai seragam organisasi terlarang di muka umum dan membantu pengumpulan dana. Suatu organisasi dianggap terlibat apabila berpartisipasi dalam terorisme, mempersiapkan terorisme, menggalakkan dan mempromosikan terorisme.

 

14.  Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Dalam Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Perpu ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam tindak pidana terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III, Pasal 6 dan 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, jika :

 

Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional;

 

Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.

 

Seseorang juga dianggap melakukan tindak pidana terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

 

 

 

15.  Menurut Fauzan Al-Anshari

 

Terorisme adalah tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintah negara.

 

16.  Menurut Evans dan Murphy

 

Terorisme adalah penggunaan kekerasan yang disengaja, atau ancaman penggunaan keekrasan oleh sekelompok pelaku yang diarahkan pada sasaran-sasaran yang dimiliki atau di bawah tanggung jawab pihak yang diserang. Hal ini dimaksud untuk mengkomunikasikan kepada pidahk yang diserang, adanya ancaman atau tindakan yang lebih kejam lagi di masa mendatang.

 

17.  Menurut Hadi al-Makdkhaly

 

Dalam bukunya “Terorisme dalam Tinjuan Islam”, bahwasanya terorisme/al-irhab adalah sebuah kalimat yang terbangun di atasnya makna yang mempunyai bentuk (modus) beranekaragam yang intinya adalah gerakan intimidasi atau teror atau gerakan yang menebarkan rasa ketakutan kepada individu atau kelompok masyarakat.

 

18.  Menurut Hafid Abbas

 

Terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau properti untuk mengintimidasi atau menekan pemerintah masyarakat sipil. Atau bagian-bagiannya, untuk memaksa tujuan sosial dan politik.

 

19.  Menurut Syed Hussein Alatas

 

Teroris adalah mereka yang merancang ketakutan sebagai senjata persengketaan terhadap lawan dengan serangan pada manusia yang tidak terlibat, atau harta benda tanpa menimbang salah atau benar dari segi agama atau moral, berdasarkan atas perhitungan bahwa segalanya itu boleh dilakukan bagi tujuan matlamat persengketaan.

 

 

 

20.  Menurut Laqueur (1999)

 

Setelah mengkaji lebih dari seratus defenisi terorisme adanya unsur yang paling menonjol dari defenisi-defenisi tersebut yaitu bahwa ciri utama dari terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman kekerasan. Sementara motivasi politis dalam terorisme sangat bervariasi, karena selain bermotif politis, terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme agama.

 

21.  Menurut Muladi

 

Dalam catatan Muladi bahwa hakekat perbuatan terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik, dengan berbagai bentuk perbuatan, seperti berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku terorisme dapat merupakan individu, kelompok, atau negara, yang melakukan tindak pidana tersebut dengan tujuan menimbulkan munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain.

 

Hingga saat ini, defenisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun banyak ahli yang merumuskan. Deklarasi yang digalang kalangan internasional perihal “perang melawan terorisme”, belum memberikan defenisi yang gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memahami makna sesungguhnya tanpa keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta dimarjinalkan.

Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli hukum pidana internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna terorisme tersebut. Oleh karena itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., terorisme merupakan pandangan yang subjektif. Tidak mudahnya merumuskan defenisi terorisme, tampak dari usaha PBB dengan membentuk Ad Hoc Committee on Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan rumusan defenisi.

Dari berbagai pendapat dan pandangan mengenai pengertian yang berkaitan dengan terorisme di atas, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwasanya terorisme adalah kejahatan yang direncanakan, terorganisasi, mengambil korban dari masyarakat sipil dengan maksud mengintimidasi pemerintah, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, metode berpikir, sekaligus alat pencapaian tujuan yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

 

C.    Bentuk dan Karakteristik Kejahatan Terorisme

Ada beberapa bentuk terorisme yang bila dikenal dari bentuknya antara lain teror kriminal dan teror politik. Teror kriminal biasanya hanya untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri. Teroris kriminal menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Mereka menggunakan kata-kata yang dapat menimbulkan ketakutan atau teror psikis. Lain halnya dengan teror politik, bahwasanya teror politik tidak memilih-milih korban. Teroris politik selalu siap melakukan pembunuhan terhadap orang-orang sipil laki-laki, perempuan, dewasa maupun anak-anak, dengan tanpa mempertimbangkan penilaian moral atau politis. Teror politik merupakan suatu fenomena sosial yang penting untuk dicermati.

Terorisme politik memiliki karakteristik sebagai berikut :

1.      Merupakan intimidasi koersif;

2.      Memakai pembunuhan dan destruksi secara sistematis sebagai sarana untuk tujuan tertentu;

3.      Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni “bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang”;

4.      Target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas;

5.      Pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal;

6.      Para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, misalnya “berjuang demi agama dan kemanusiaan”, maka hard-core kelompok teroris adalah fanatikus yang siap mati.

 

Dengan demikian, teror merupakan suatu kesatuan aksi tak langsung dan terarah untuk mencapai hasil politik tertentu melalui dampak yang ditimbulkannya. Dari kacamata strategi politik, teror merupakan aksi sekunder dan bukan yang utama. Artinya teror jarang sekali merupakan aksi atau tujuan utamanya atau aksi yang independen.

Tipologi terorisme yang dirumuskan oleh National Advisory Committee (Komisi Kejahatan Nasional Amerika) dalam Report of the Task Force of the on Disorders and Terrorism (1996), mengemukakan beberapa bentuk terorisme, yakni:

1.      Terorisme politik. Yaitu perilaku kekerasan kriminal yang dirancang guna menumbuhkan rasa ketakutan dikalangan masyarakat demi kepentingan politik;

2.      Terorisme non politis. Yakni mencoba menumbuhkan rasa ketakutan dengan cara kekerasan, demi kepentingan pribadi, misalnya kejahatan terorganisasi;

3.      Quasi terorisme. Digambarkan dengan dilakukan secara insidental, namun tidak memiliki muatan ideologi tertentu, lebih untuk tujuan pembayaran. Contohnya dalam kasus pembajakan pesawat udara atau penyanderaan di mana para pelaku lebih tertarik kepada uang tebusan daripada motivasi politik;

4.      Terorisme politik terbatas. Diartikan sebagai teroris, yang memiliki motif politik dan ideologi, namun lebih ditujukan dalam mengendalikan keadaan (negara). Contohnya adalah perbuatan teroris yang bersifat pembunuhan balas dendam (vadetta-type executions);

5.      Terorisme negara atau pemerintahan. Yakni suatu negara atau pemerintahan, yang mendasarkan kekuasaannya dengan ketakutan dan penindasan dalam mengendalikan masyarakatnya.

Dalam sebuah laporannya yang berjudul The Sociology and Psycology of Terrorism: Who become a Terrorist and Why?, Divisi Riset Federal Kongres AS disebutkan ada lima ciri dari kelompok teroris, yakni : separatis-nasionalis, fundamentalis-religius, religius baru, revolusioner sosial dan teroris sayap kanan. Klasifikasi kelompok ini didasarkan pada asumsi bahwa kelompok-kelompok teroris dapat dikategorikan menurut latar belakang politik dan ideologi.

Menurut Loudewijk F. Paulus, berdasarkan matriks perbandingan karakteristik kelompok pengguna tindak kekerasan guna mencapai tujuannya, dapat disimpulkan ciri-ciri terorisme adalah sebagai berikut:

1.      Organsisasi yang baik, berdisiplin tinggi, militan.Organisasinya merupakan kelompok-kelompok kecil, disiplin dan militansi ditanamkan melalui indoktrinasi dan latihan yang bertahun-tahun;

2.      Mempunyai tujuan politik, tetapi melakukan perbuatan kriminal untuk mencapai tujuan;

3.      Tidak mengindahkan norma-norma yang berlaku, seperti agama, hukum, dan lain-lain;

4.      Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologis yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.

 

Ditinjau dari empat macam pengelompokan yang terdiri dari :

 

1.      Karakteristik organisasi. Meliputi: organisasi, rekrutmen, pendanaan dan hubungan intenasional;

2.      Karakteristik operasi. Meliputi: perencanaan, waktu, taktik dan kolusi;

3.      Karakteristik perilaku. Meliputi: motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup;

4.      Karakteristik sumber daya. Meliputi: latihan/kemampuan, pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi.

 

Teroris terinspirasi oleh motif yang berbeda. Motif terorisme dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yakni: rasional, psikologi dan budaya. Yang kemudian dapat dijabarkan lebih luas menjadi :

1.      Membebaskan Tanah Air.

      Pejuang-pejuang Palestina pada 15 Nopember 1988 memproklamasikan kemerdekaan-nya di Aljazair. Dalam mencapai tujuan tersebut pada akhirnya PLO terbagi atas dua front yaitu front Intifada dan gerakan radikal garis keras (HAMAS). Bagi negara Israel, PLO bagaimanapun bentuknya digolongkan ke dalam kelompok teroris.

2.      Memisahkan diri dari pemerintah yang sah (separatis).

      IRA (Irish Republica Army) dengan segala bentuk kegiatannya dicap sebagai teroris oleh pemerintah Inggris.

3.      Sebagai protes sistem sosial yang berlaku.

      Brigade Merah Italia, yang bertujuan untuk membebaskan Italia dari kaum kapitalis multinasionalis, oleh pemerintah Italia dimasukkan ke dalam kelompok teroris.

4.      Menyingkirkan musuh-musuh politik.

      Banyak digunakan Kadafi untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya dengan cara mengirirnkan Dead Squad untuk membunuh . Yang paling menonjol usaha membunuh bekas PM Libya A. Hamid Bakhoush di Mesir yang menggunakan pembunuh-pembunuh bayarandari Eropa.

 

Sifat internasional dari terorisme menurut Loudewijk :

 

1.      Melaksanakan tindakan kekerasan dengan melibatkan lebih dari satu negara. Kasus pembajakan pesawat komersil tidak dapat ditangani oleh satu negara saja;           

2.      Kekerasan yang menarik perhatian dunia.

      Aksi-aksi yang dilakukan oleh gerakan teroris senantiasa akan mengundang publikasi yang luas;

3.      Tidak memperdulikan kepentingan negara dimana aksi teror itu dilaksanakan.

 

Menurut Loudewijk ada jenis terorisme yang disebut dengan “terorisme gaya baru”. Memliki karakteristik sebagai berikut :   

1.      Ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan;

2.      Keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin;

3.      Tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah dilakukan;

4.      Serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.

 

Menurut Wilkinson, tipologi terorisme ada beberapa macam antara lain :

 

1.      Terorisme epifenomenal, dengan ciri-ciri tak terencana rapi, terjadi dalam konteks perjuangan yang sengit;

2.      Terorisme revolusioner, yang bertujuan revolusi atau perubahan radikal atas sistem yang ada dengan ciri-ciri selalu merupakan fenomena kelompok, struktur kepemimpinan, program, ideologi, konspirasi, elemen paramiliter;

3.      Teorisme sybrevolusioner, yang bermotifkan politis, menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan atau hukum, perang politis dengan kelompok rival, menyingkirkan pejabat tertentu yang mempunyai ciri-ciri dilakukan oleh kelompok kecil, bisa juga individu, sulit diprediksi, kadang sulit dibedakan apakah psikopatologis atau kriminal;

4.       Terorisme represif, bermotifkan menindas individu atau kelompok (oposisi) yang tidak dikehendaki oleh penindas (rezim otoriter/totaliter) dengan ciri-ciri berkembang menjadi teror massa, ada aparat terror, polisi rahasia, teknik penganiayaan, penyebaran rasa kecurigaan di kalangan rakyat, wahana untuk paranoia pemimpin.

 

Menurut Zuhairi Misrawi, terorisme diartikulasikan dalam tiga bentuk, yakni:

1.      Terorisme yang bersifat personal. Biasanya pengeboman di bus merupakan sebuah aksi personal;

2.      Terorisme yang bersifat kolektif. Para teroris melakukannya secara terencana. Bisanya teroris semacam ini dilembagakan dalam sebuah jaringan yang rapi. Sasaran terorisme dalam kaegori ini adalah simbol-simbol kekuasaan dan pusat-pusat perekonomian;

3.      Terorisme yang dilakukan negara. Istilah ini tergolong baru, yang biasa disebut dengan “terorisme oleh negara” (state terrorism). Penggagasnya adalah Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Muhammad dalam “hajatan” OKI terakhir. Menurutnya, terorisme yang dikerahkan negara, tidak kalah dahsyatnya dari terorisme personal maupun kolektif. Kalau kedua bentuk terdahulu dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, sedangkan terorisme yang dilakukan oleh negara secara terang-terangan dan dapat dilihat dengan kasat mata.

 

Terorisme yang dilakukan oleh negara merupakan salah satu bentuk kejahatan yang tergolong sangat istimewa. Sebab negara adalah suatu organisasi besar yang dipilari oleh kekuatan rakyat, namun di sisi lain punya kewajiban mengatur, melindungi, dan menyejahterakan kehidupan rakyat secara material maupun non material. Tatkala negara itu, melalui pejabat pemerintahannya terlibat dalam tindakan kriminal secara vertikal, horizontal, regional, nasional maupun internasional, maka otomatis rakyatlah yang dikorbankan.

            Ciri pengidentifikasian terorisme akan dapat memberikan pengenalan yang tunggal dan solid mengenai terorisme, agar dapat mudah dikenal dalam konteks operasinya. Dalam sudut pandang seperti tersebut, maka paling tidak beberapa ciri identifikasi terorisme :

Pertama, terorisme, apapun metode yang digunakan ia merupakan suatu bentuk penggunaan kekerasan (oleh suatu kelompok), untuk menekan pemerintah dan/atau masyarakat, agar menerima tuntutan perubahan sosial maupun politik yang secara umum bernuansa dan/atau menggunakan cara-cara yang bersifat radikal. Setiap langkah aksi terorisme pasti memiliki efek yang diharapkan yaitu: usaha untuk mengalihkan perhatian, membuat suasana ketakutan dan kekacauan, terjadi aksi balas dendam antar kelompok dengan nuansa SARA, dan terjadi saling tuding di antara elit politik yang saling bertentangan, oleh karena itu secara realistis terorisme merupakan potensi ancaman bagi negara kaya maupun miskin.

Kedua, motivasi yang melatarbelakangi gerakan dan aksinya memiliki spektrum yang beragam.

Ketiga, merupakan komunitas yang sangat spesifik dalam artian ada semacam komunitas manusia yang terus menerus dicaci maki, ditekan atau dirong-rong wibawanya. Akibat perlakuan-perlakuan tersebut akhirnya menyebabkan ketahanan mentalnya melemah dan kesabarannya sudah habis. Dalam keadaan yang demikian komunitas tersebut sangat mungkin untuk melakukan tindakan balasan sebagai menifestasi mempertahankan diri. Bentuk pertahanan diri tidak harus dengan menyerang secara terbuka, tetapi dapat dilakukan dengan melakukan aksi terorisme secara langsung dilakukan sendiri atau dengan menyewa orang-orang profesional.

Keempat, pada umumnya sangat profesional dalam tugasnya dan mendapat perlindungan yang ketat dari organisasi dan sebaliknya organisasi dibangun mengikuti sistem sel, bila terjadi kesalahan dan/atau tertangkap otomatis akan lepas dari organisasi induknya.

Kelima, sangat sulit dilacak dan dibuktikan secara legal, sehingga vonis terhadap terorisme, lebih banyak mendasarkan diri pada informasi yang diperoleh dari investigasi tertutup.

Keenam, upaya memerangi terorisme multidimensi dan multidisipliner. Dapat diselesaikan secara hukum, politik, administrasi dan sebagainya.

Ketujuh, secara organisatoris baik dalam pembinaan, pengembangan, dan operasinya memiliki sayap politik, ekonomi, sosial dan sayap militer. Dimana sayap militer adalah sayap operasional yang melaksanakan aksi teror di lapangan.

Kedelapan, selalu mengadakan kerjasama yang melampaui batas wilayah negara. Baik pertukaran intelejen, latihan, perlengkapan, juga termasuk melakukan operasi bersama.

Kesembilan, penampilan para teroris sering mengecoh aparat keamanan dan masyarakat luas, karena penampilan secara alamiah di mana dia berada dan sering merubah-ubah identitas diri.

Kesepuluh, biasanya sepak terjang teroris lebih lincah, licik, dan licin dibandingkan dengan aparat yang bertanggungjawab menginvestigasi dan menanganinya.

Kesebelas, doktrin operasi terorisme yang merupakan petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis dan petunjuk taktis di lapangan antara lain disebutkan bahwa : i. Sebelum melaksanakan penyerangan menggunakan alat perusak massal, misalnya bom dan tempat yang favorit biasanya pada alat transportasi massal, tempat kerumunan seperti pusat-pusat perbelanjaan, tempat-tempat vital publik. ii. Seorang teroris harus hidup dengan nama palsu dan sering dilakukan perubahan untuk penyamaran dan kerahasiaan gerakannya. iii. Pada hari, waktu yang ditentukan dalam pelaksanaan operasinya si pelaku harus melakukan kamuflase atau penyamaran secara sempuna untuk menghilangkan identitas aslinya. iv. Setelah melakukan operasinya, bila kamuflase dirasa tidak aman harus meracuni diri atau menghilang dari pelacakan.

 

1.       Terorisme Sebagai Extra Odinary Crime

Banyak pihak menyatakan bahwa tindak pidana terorisme adalah extra ordinary crime. Derajat “keluarbiasaan” ini pula yang menjadi salah satu alasan dikeluarkannya Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan pemberlakuaannya secara retroaktif untuk kasus bom Bali.

Selama ini, sesuai dengan Statuta Roma, yang telah diakui sebagian extra ordinary crime adalah pelanggaran HAM berat yang meliputi crime against humanity, genocide, war crimes dan Agressions. Apakah tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai extra ordinary crime, menimbulkan perdebatan di kalangan praktisi, akademisi hukum maupun pejabat negara.

Untuk bisa menentukan kejahatan mana yang termasuk dalam kategori extra ordinary crime, harus ditentukan karakteristiknya. Namun saat ini karakteristik extra ordinary crime masih kabur. Penentuan pelanggaran HAM berat sebagai extra ordinary crime didasarkan pada dokumen hukum internasional yaitu Statuta Roma. Apabila kita bersandar kepada teori hirarki Hans Kelsen, maka penentuan tindak pidana terorisme sebagai extra ordinary crime pun harus di dasarkan pada dokumen hukum yang lebih tinggi dari sebuah undang-undang, dengan mengingat bahwa penentuan suatu kejahatan sebagai extra ordinary crime akan menyimpangi bahkan bertentangan dengan beberapa prinsip hukum, misalnya asas legalitas.

Berdasarkan konvensi dan praktik hukum internasional, kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) diatur dan dikualifikasikan kepada pelaku negara. Misalnya Resolusi PBB tentang pelanggaran HAM zionisme Israel kepada bangsa Palestina; sidang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap penguasa Serbia, Slobodan Milosevic, atas tindakan pemusnahan etnis Bosnia. Terorisme negara ini menurut Statuta Roma yang dimaksudkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Sedangkan terorisme oleh warga hanyalah kejahatan bersifat sporadis. Sebab kejahatan perang, agresi, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida adalah kejahatan sistemik. Negara yang mampu dan mempunyai “keabsahan” tindakan itu dalam arti sebenarnya.

Pelanggaran HAM berat masuk kategori sebagai extra ordinary crime berdasarkan dua alasan, yaitu pola tindak pidana yang sistematis dan biasanya dilakukan oleh pihak pemegang kekuasaan sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh, dan alasan bahwa kejahatan tersebut sangat bertentangan dan mencederai rasa kemanusiaan secara mendalam dan dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan.

Tindak pidana terorisme dimasukkan dalam “extra ordinary crime “ dengan alasan sulitnya pengungkapan karena merupakan kejahatan transboundary“dan melibatkan jaringan internasional. Fakta menunjukkan bahwa memang tindak pidana terorisme lebih banyak merupakan tindak pidana yang melibatkan jaringan internasional, namun kesulitan pengungkapan bukan karena perbuatannya ataupun sifat internasionalnya. Kemampuan pengungkapan suatu tindak pidana lebih ditentukan oleh kemampuan dan profesionalisme aparat kepolisian yang bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban. Kejahatan lintas batas tentu bukan merupakan alasan yang valid untuk menentukannya sebagai “extra ordinary crime”, karena di jaman ini banyak tindak pidana yang memiliki jaringan internasional (misalnya pencucian uang, perdagangan orang, dan penyelundupan).

Menurut Indriyanto Seno Aji, terorisme sudah menjadi bagian dari “extra ordinary crime“ yang berarti suatu kejahatan kekerasan yang berdimensi khusus atau berbeda dengan kejahatan kekerasan lainnya yang sering disebut kejahatan kebiadaban dalam era keberadaban karena kejahatan itu mengorbankan manusia atau orang-orang yang tidak berdosa. Sesuai dengan karakteristik kejahatan terorisme yang mana menggunakan kekerasan dalam operandinya. Dan akibat dari kejahatannya dapat merusak sistem perekonomian, integritas negara, penduduk sipil yang tidak berdosa, serta fasilitas umum lain dalam konteks melawan hukum yang signifikan sekali. Karena itu, pelaku teror yang berlindung sebagai pelaku delik politik atau “political purpose“ yang dilakukan dengan “purpose of violence“ di mana tindakan dimaksudkan untuk membuat shock atau intimidasi kepada “governmental authority“ atau yang berakibat pada ”public by innocent“, berlakulah prinsip ekstradibilitas. Hal ini sejalan dengan Pasal 1 ECST bahwa delik yang dikategorikan sebagai ”acts of terror“ bukanlah sebagai pelaku delik politik, dan karenanya dapat dilakukan tindakan ekstradisi.

Dalam perjalanannya, perdebatan masalah penerapan prinsip retroaktif dan pengkategorian tindak pidana terorisme sebagai extra ordinary crimes, Mahkamah Kontitusi (MK) mengabulkan permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 yang diajukan kuasa hukum Masykur Abdul Kadir, salah seorang tersangka dalam kasus bom Bali. Dari sembilan hakim kostitusi, terdapat empat hakim yang kontra putusan, pendapatnya termuat dalam dissenting opinion. Dasar pertimbangan (konsiderans) putusan MK menyebutkan bahwa :

“Menimbang bahwa pemberlakuan prinsip retroaktif dalam hukum pidana hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) sebagai kejahatan yang serius, yang merupakan jaminan terhadap hak-hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights). Sementara itu, yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat menurut Statuta Roma Tahun 1998 adalah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agesi; sedangkan menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat adalah hanya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, baik merujuk kepada Statuta Roma Tahun 1998, maupun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 belumlah dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) yang dapat dikenai prinsip hukum retroaktif, melainkan masih dapat dikategorikan kejahatan biasa (ordinary crime) yang sangat kejam, tetapi masih dapat ditangkal dengan ketentuan hukum pidana yang ada. Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 mendapat banyak tantangan, karena secara legal formal digunakannya asas retroaktif sebenarnya tidak dapat diterapkan, sebab terorisme tidak termasuk kategori kejahatan yang bisa diterapkan asas retroaktif (Position Paper YLBHI, No. 1, Desember 2002). Apabila terorisme dipandang telah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM), namun ketentuan dan tindakan hukum untuk memberantasnya juga tidak dapat mengesampingkan HAM, sebab di Amerika Serikat sendiri terdapat penilaian bahwa Terrorism Law is major setback for civil liberties.”

 

 

2.      Terorisme dalam Pengkategorian Kelompok Non Tempur (Non-Combatants)

Bila dilihat dari kacamata bahwa aksi terorisme oleh pelaku merupakan satu pilihan strategi pihak yang lebih lemah untuk menghadapi pihak yang lebih kuat dalam suatu “asymmetric conflict”. Menurut Analisa yang dilakukan oleh Arreguin Toft menunjukkan bahwa bagi pihak yang lebih lemah “the only way to win is indirect strategy”. Pilihan untuk menggunakan “indirect strategy“ dapat juga dilihat sebagai indikasi terjadinya pengikisan norma-norma internasional terutama yang berkaitan dengan prinsip “jus ad bellum”. Fondasi terakhir dari doktrin ”jus ad bellum“ ini berkaitan dengan strategi yang digunakan saat berperang. Prinsip utama dari fondasi ini adalah semua cara yang diaplikasikan dalam medan pertempuran tidak boleh melanggar standar-standar moral termasuk Hak Asasi Manusia yang ada. Salah satu standar moral tersebut adalah persyaratan diskriminasi. Syarat diskriminasi mengharuskan prajurit untuk tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap kelompok non-tempur (non-combatants) seperti masyarakat sipil, pengungsi, pasukan kesehatan, pasukan yang terluka dan atau tidak dapat bertempur, dan pasukan yang telah menyerahkan diri. Kelompok non tempur ini mendapat imunitas khusus yang membebaskan mereka dari segala bentuk kekerasan yang terjadi selama pertempuran berlangsung.

Thomas Ward melihat bahwa prinsip “jus ad bellum” semakin sulit untuk ditegakkan terutama karena adanya perangkap tradisi “bellum romanum” atau “guerre mortelle” di kalangan militer barat. Pengaruh dari tradisi ini yang seringkali membuat aktor militer barat untuk menafikan prinsip-prinsip humanitarian budaya lain, sering terlihat dari aksi kekerasan militer brutal yang dilakukan oleh AS dan NATO dalam tugas-tugas perdamaian global mereka.

Revitalisasi dan penegakan kembali prinsip “jus ad bellum” merupakan usulan praktis yang perlu dipertimbangkan secara serius. Sebagaimana oleh Schmid dan Crelisten yang mengangkat ide “delegitimation of terror” sebagai ide dasar untuk menghentikan lingkaran kekerasan global.

 

3.      Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Dalam merumuskan ataupun mengkategorikan tindak pidana terorisme menjadi penting apabila tindak pidana terorisme dikaitkan dengan pandangan politik atau motif para pelakunya, yang pada gilirannya dalam hukum pidana memiliki hubungan dengan delik politik dalam bentuk kekerasan atau ancaman kekerasan oleh pelaku teror. Sebab pengertian tentang delik politik dan delik kekerasan, berkorelasi dengan pengertian terorisme yang mempergunakan bentuk kekerasan (violence) dalam tujuan untuk menciptakan suatu keadaan ketakutan dan agar korban (victim) menyerah pada usaha yang menakutinya tersebut. Yang paling sulit adalah bagaimana membedakan dan mengkategorikan suatu perbuatan yang dianggap sebagai suasana teror, kemudian menetapkan mana perbuatan yang politis sifatnya, mana yang dapat dipandang sebagai delik biasa, perlu dikaji motif dan peyebabnya secara mendalam.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa teror merupakan bentuk dari delik kekerasan, walaupun didorong oleh motif politik dan dilakukan dilakukan dengan latar belakang politik yang dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok tertentu. Delik politik dalam perundang-undangan Indonesia bersumber pada KUHP. Namun demikian, menurut Oemar Seno Adjie, dalam perundang-undangan kita khususnya dalam KUHP Buku II, Bab I, tidak ditemukan secara eksplisit pengertian tentang delik politik. Karena pengertian-pengertian delik politik tersebut digariskan oleh yurisprudensi maupun oleh ilmu pengetahuan.

Pada akhirnya suatu rumusan yang jelas dan tegas mengenai apa yang dimaksud dengan delik politik itu harus ditemukan dalam suatu bentuk baku yang defenitif. Selama ini kita hanya menemukan “istilah” kejahatan politik, bukan rumusan atau pengertiannya. Misalnya sebagaimana yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1979 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi dengan pemerintah Thailand, dikatakan bahwa “pelaku kejahatan politik tidak diekstradisi”. Sedangkan apa yang dimaksud dengan delik politik itu sendiri tidak dijelaskan. Oleh karena itu apabila akan mengkategorikan tindak pidana terorisme dalam delik politik dan kejahatan terhadap keamanan negara, hal ini perlu pengkajian khusus secara lebih mendalam. Karena dimensi delik politik yang terkandung di dalam perumusan sebagaimana delik-delik yang diatur dalam KUHAP menyangkut kebijakan tertentu dengan menggunakan sarana politik itu sendiri, seperti sarana militer, sosial, ekonomi, keuangan, kebudayaan dan sebagainya.

Bila kita lihat defenisi tindak pidana terorisme dari beberapa pendapat para ahli maupun lembaga, banyak yang menyatakan bahwa tindak pidana terorisme bermotifkan politik. Hal ini akan menimbulkan perdebatan dan kontradiktif terhadap kejelasan unsur-unsur tindak pidananya yang harus dituangkan dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan. 

Sebagaimana yang dikatakan oleh Loebby Loqman :

“Kejahatan terhadap keamanan negara hampir selalu dilatar belakangi serta/atau dengan tujuan-tujuan politik dan setiap pemerintahan suatu negara mempunyai pengertian serta batasan tersendiri tentang perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai mempunyai latar belakang serta tujuan politik, dan bahkan terdapat perbedaan penafsiran terhadap pengertian “politik” baik di kalangan sarjana, para hakim maupun penguasa suatu negara. Kesimpangsiuran pengertian terhadap perbuatan yang dianggap sebagai kejahatan terhadap keamanan negara sering menimbulkan keresahan di dalam suatu masyarakat terutama apabila dihubungkan dengan hak-hak asasi manusia yakni hak untuk mengeluarkan pendapat dari warga, terlebih lagi apabila dihubungkan dengan sistem demokrasi suatu negara. Banyak pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa akan tetapi juga terhadap hak asasi manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror. Juga karena sifatnya yang darurat itu, aturan-aturan tersebut telah dianggap inkonstitusional.”

 

Di Indonesia, mengenai pemahaman delik politik dalam kasus tindak pidana terorisme, secara tegas Pasal 5 Perpu No. 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan bahwa :

“Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.”

 

Penjelasan :

 

Ketentuan ini dimaksudkan agar tindak pidana terorisme tidak dapat berlindung di balik latar belakang, motivasi, dan tujuan politik untuk menghindarkan diri dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di siding pengadilan dan penghukuman terhadap pelakunya. Ketentuan ini juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas perjanjian ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain.

 

Menurut Hazewinkel Soeringa, terdapat empat kategori yang menentukan apakah suatu perbuatan termasuk delik politik. Pertama, teori objektif/absolut yang mengemukakan bahwa kejahatan politik ditujukan terhadap negara dan berfungsinya lembaga-lembaga negara. Kedua, teori subjektif/relatif menganggap bahwa pada dasarnya semua yang dilakukan dengan tujuan dan latar belakang politik merupakan kejahatan politik. Sedangkan yang ketiga, adalah teori Predominan yang membatasi pengertian yang luas dari kejahatan politik, terutama terhadap teori subjektif/relatif. Teori ini sangat memperihatinkan apa yang dianggap “dominan” dari suatu perbuatan. Apabila yang dianggap dominan adalah kejahatan biasa maka perbuatan tersebut tidak disebut sebagai delik politik. Yang keempat, adalah teori political Incidence yang memfokuskan diri pada pertanyaan apakah perbuatan tersebut dianggap sebagai bagian dari suatu kegiatan politik dalam konteks relasi “karakter politik” yang menjadi daya penggerak politik tersebut. Apakah yang berupa gerakan sosial atau suatu letupan dipermukaan saja yang bersifat sporadik belaka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA

TERORISME  DI INDONESIA

 

A.     Kebijakan Negara dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme

Kebijakan hukum pidana (penal policy or criminal law policy) terhadap tindak pidana terorisme merupakan masalah sentral, bukan saja merupakan isu domestik suatu negara, tetapi juga merupakan isu universal atau global. Sehubungan dengan isu tersebut, Barda Nawawi Arief dengan mengutip pendapat Marc Ancel menjelaskan bahwa kebijakan hukum pidana adalah suatu ilmu sekaligus seni  yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara baik, dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada aparatur pelaksana atau penegaknya seperti kepolisian, kejaksaan sampai pada pengadilan yang menerapkan undang-undang serta kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan. Sedangkan Sudarto menegaskan bahwa kebijakan hukum pidana berarti menandakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.

Karena itu pendayagunaan sarana penal atau hukum pidana guna menanggulangi kejahatan termasuk terorisme, memerlukan perencanaan yang matang agar bisa berlaku efektif, sehingga pembaharuan hukum pidana (criminal law reform) atau penciptaan hukum pidana (criminal law making) yang terdiri dari kebijakan formulasi atau legislasi, kebijakan penerapan atau yudisial, serta kebijakan pelaksanaan atau eksekusi, tidak dianggap tambal sulam dan berdiri sendiri.

 

1.       Pembentukan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

            Dalam perjalanannya, perdebatan tentang adanya bahaya terorisme di Indonesia berlangsung teramat politis. Sebagian kalangan meyakini di Indonesia tidak ada terorisme, sebagian lagi menyatakan terorisme telah menjadi ancaman serius. Perdebatan itu hampir menyita keharusan adanya perhatian terhadap realitas berbagai kasus pemboman yang berlangsung di berbagai wilayah di Indonesia sejak tahun 1998. Bahkan pengeboman natal tahun 2000 di berbagai kota secara bersamaan, tidak mengakibatkan adanya kesadaran akan pentingnya memberikan perhatian yang serius terhadap persoalan ini.

            Peristiwa bom Bali akhirnya membantah itu semua. Jatuhnya korban warga negara asing menempatkan Indonesia pada situasi tanpa tidak memiliki pilihan kecuali secara serius menanggulangi terorisme. Pemerintah atas desakan berbagai pihak akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, yang kemudian disahkan DPR dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003.

            Mengenai hal ihwal kegentingan yang memicu lahirnya Perpu adalah karena adanya rasa takut masyarakat serta dampak yang ditimbulkan oleh tragedi bom Bali, yang mempengaruhi tidak hanya terhadap perasaan aman masyarakat tetapi juga ekonomi dan sosial. Kedua Perpu diterbitkan karena pemerintah menilai bahwa norma-norma hukum yang ada seperti termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api, hanya memuat tindak pidana biasa (ordinary crime) dan tidak memadai untuk tindak pidana terorisme yang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) serta tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).

            Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dari penyusunan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme ini adalah:

a.       Memberikan landasan hukum yang kuat dan komprehensif guna mencapai kepastian hukum dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan terhadap perkara tindak pidana terorisme;

b.      Menciptakan suasana aman, tertib dan damai yang mendorong terwujudnya kehidupan yang sejahtera bagi bangsa Indonesia;

c.       Untuk mencegah dampak negatif terorisme yang meluas di dalam kehidupan masyarakat dan sekaligus untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh aparatur negara yang diberi tugas dalam pencegahan dan pemberantasan terorisme;

d.      Untuk menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum terhadap kegiatan terorisme;

e.       Untuk melindungi kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan seluruh isinya dari kegiatan terorisme yang berlatar belakang isu atau masalah lokal, nasional maupun internasional dan mencegah cengkeraman serta tekanan dari negara kuat dengan dalih memerangi terorisme.

 

            Menurut konsiderans Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, urgensi pembentukan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menunjukkan komitmen Indonesia terhadap kerjasama internasional sesuai dengan tekad bangsa Indonesia yang tertuang dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945, yaitu untuk:

“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”.

           

            Pelaksanaan tekad tersebut, dilaksanakan antara lain dengan merujuk pada Resolusi Anti Terorisme dari Dewan Keamanan PBB tanggal 28 September 2001. Resolusi tersebut meminta semua negara untuk segera bekerjasama dalam mencegah dan menekan tindakan teroris melalui peningkatan kerjasama dan pelaksanaan penuh konvensi internasional yang berkaitan dengan terorisme.    

            Terbentuknya Perpu ternyata menjadi perdebatan politik dan catatan tersendiri bagi gerakan pro demokrasi karena ada indikasi bahwa Perpu akan menjadi ancaman dan hambatan besar dalam proses transisi demokrasi. Perpu anti terorisme ini berpotensi mengembalikan format politik darurat Orde Baru yang telah terbukti merampas kedaulatan rakyat dan melanggar prinsip negara hukum. Padahal, transisi demokrasi justru memerlukan perubahan pola pikir, orientasi, dan mentalis darurat ke arah pendekatan yang lebih sitematik.

 

2.      Pemberlakuan Asas Retroaktif dalam Perundangan Anti Terorisme

Asas berlaku surut (retroaktif) yang diberlakukan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Udang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pada Peristiwa Bom Bali, menimbulkan perdebatan di beberapa kalangan baik aparat penegak hukum, praktisi hukum, maupun di kalangan akademisi, karena dianggap menyimpang dari ketentuan yang diatur dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Terlebih lagi pemberlakuan asas retroaktif bertentangan dengan makna “non derogable principle“ Pasal 28 huruf I angka (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa :

Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

 

Jadi kondisi darurat apapun tidak memberikan justifikasi untuk memberlakukan produk undang-undang untuk berlaku surut. Selain itu, pemberlakuan asas retroaktif ini juga bertentangan dengan ketentuan asas legalitas yang tekandung dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, yang dalam bahasa Latin dirumuskan sebagai “nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”, yang artinya “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya”, dimana tidak ditentukan pengecualian terhadap asas ini. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan kepastian hukum bagi seluruh justisiabel (aparat penegak hukum).

Pada tanggal 23 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan suatu keputusan dengan mengabulkan judicial review atau uji materil atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003. Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berlakunya asas retroaktif dengan mencabut berlakunya Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 jo. Perpu No. 2 Tahun 2002. Dasar putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa pemberlakuan asas retroaktif telah melanggar ketentuan Pasal 28I Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

 

3.      Pemberian Kewenangan Kepada Badan Intelejen Nasional (BIN)

            Pemerintah memberikan kewenangan yang amat luas kepada Badan Intelejen Nasional (BIN) untuk melakukan berbagai langkah mendukung operasi memberantas kelompok yang diidentifikasi sebagai pelaku terorisme. Empat hari setelah Perpu No. 1 Tahun 2002 dikeluarkan, Pada tanggal 22 Oktober 2002 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Penunjukan Instansi Pemerintah yang Berwenang Untuk Mengkoordinasikan Tindakan Memerangi Terorisme. Isinya menetapkan Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai koordinator bagi operasi intelijen. Inpres tersebut disusun dengan menghasilkan kerancuan serius dalam mendefenisikan peran dan kewenangan badan intelijen non-yudisial, yang sebenarnya berbeda dan terpisah dari penyelidikan dalam kerangka penegakan hukum (judicial investigation).

            Upaya menguatkan institusi intelijen juga terlihat pada usulan-usulan BIN yang meminta wewenang untuk menangkap dan menahan seseorang yang dicurigai selama 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, membentuk satuan sendiri, membeli senjata sendiri dan berhak menculik orang tanpa perlu mengungkapkan aksi penculikan yang mereka lakukan. Selain itu BIN mengajukan draft RUU Intelijen Negara yang menyebutkan BIN memiliki kewenangan yudisial untuk menangkap orang tanpa ada tuduhan sebelumnya, menahannya selama total 180 (seratus delapan puluh) hari di sebuah tempat yang dirahasiakan, tidak memiliki hak untuk diam, dan tidak memiliki hak untuk dikunjungi serta didampingi pengacara di dalam proses interogasi.

            Penyelidikan dalam kerangka yudisial adalah monopoli dari aparat pengak hukum (law enforcement official). Untuk kepentingan itu, polisi dan jaksa sebenarnya telah memiliki organ-organ intelijennya masing-masing. Peran dan kewenangan BIN seharusnya terbatas di dalam pengumpulan informasi dan penyusunan rekomendasi belaka bagi pengambilan kebijakan negara dalam sektor-sektor strategis. BIN bukan bagian dari aparatur penegakan hukum. Karena itu, BIN tidak boleh memiliki kewenangan yudisial yang merupakan monopoli aparat hukum khususnya Polisi dan Jaksa.

 

4.      Pencantuman Pasal Hukuman Mati

            Disamping itu, di tengah arus penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, terutama hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights), Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mencantumkan ancaman hukuman mati.

            Salah satu tujuan diambilnya  langkah ini adalah untuk menimbulkan efek jera terhadap para pelaku terorisme. Akan tetapi, kenyataan justru berbicara lain. Dalam perkara-perkara terorisme, terdakwa justru semakin bersemangat dan tidak gentar ketika hakim menjatuhkan putusan hukuman mati. Putusan ini dilihat sebagai bagian dari tujuan ideologi yang hendak dicapai.

            Menurut teori pemidanaan, konsep penghukuman terdiri dari tiga macam berdasarkan tujuan diterapkannya hukuman yaitu pembalasan, penjeraan, dan pemasyarakatan. Konsep pembalasan bertujuan untuk memberikan perlakuan yang setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Konsep ini merupakan konsep primitif yang tidak seharusnya dipakai lagi karena tidak akan memenuhi tujuan hukum sebagai sarana kontrol sosial dan pemenuhan rasa keadilan. Apabila pencantuman ancaman hukuman mati merupakan alat penjeraan dengan tujuan untuk memberi contoh bagi masyarakat agar tidak melakukan tindakan yang sama (deterrence effect), maka harus disadari bahwa konsep penjeraan hanya berpengaruh pada jenis dan pelaku kejahatan tertentu saja. Hukuman mati mulai diragukan efektivitasnya sebagai alat pencegahan tindak pidana.

 

5.      Kerjasama Internasional dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme

PBB telah mengeluarkan Resolusi No. 1373 pada tanggal 28 September 2001, yang dianggap resolusi paling komprehensif sebagai batu pijakan dalam menghadapi aksi terorisme global. Resolusi yang mengikat 189 negara itu meletakkan titik berat pada masalah kontrol atas aset-aset finansial; Resolusijuga menggarisbawahi pentingnya pengawasan perbatasan dan kontrol atas kartu identitas dan dokumen-dokumen perjalanan untuk mencegah gerakan internal dan lintas perbatasan oleh teroris-teroris atau kelompok-kelompok teroris; Resolusi berisi serangkaian rekomendasi tentang cara-cara untuk menumpas rekrutmen anggota kelompok teroris dan persediaan senjata dan bahan-bahan sensitif kepada teroris, maupun cara-cara untuk mengembangkan tindakan preventif, termasuk melalui kerjasama antar negara; Resolusi mengajak agar mereka yang ikut serta dalam membiayai, merencanakan, mempersiapkan atau melakukan aksi-aksi teror atau mendukung aksi-aksi teror diajukan ke pengadilan dan bahwa, selain setiap tindakan-tindakan lain terhadap mereka, aksi-aksi teror ditetapkan sebagai kejahatan pidana yang serius dalam hukum-hukum dan peraturan-peraturan domestik, dan dihukum dengan setimpal; Resolusi menyerukan pertukaran informasi sesuai dengan hukum internasional dan domestik dan kerjasama dalam masalah-masalah administratif dan yuridis untuk mencegah aksi teroris; Lebih lanjut resolusi itu membentuk suatu Komite Dewan Keamanan, yang terdiri atas semua anggota Dewan, untuk memantau pelaksanaannya dengan bantuan ahli yang sesuai.

Dalam upaya membangun kerjasama internasional untuk menghadapi kejahatan transnasional, pemerintah Indonesia telah membuat komunike bersama negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Diantaranya adalah komunike bersama untuk kejahatan transnasional (ASEAN Ministers Meeting on Transnational Crime-AMMTC) yang dibuat pada pertemuan menteri-menteri ASEAN di Bangkok, Januari 2004. Pada tingkat lebih luas, dalam kesempatan tersebut juga dilakukan pembuatan memorandum kesepahaman antara ASEAN dan China mengenai kerjasama di bidang Isu Keamanan Non-Tradisional (Cooperation in the Field of Non-Traditional Security Issues). MoU ini menyediakan upaya-upaya konkrit dalam upaya kontra-terorisme.

Secara khusus dalam upaya menangani aksi terorisme, pemerintah Indonesia juga telah membuat komunike bersama dengan negara-negara anggota ASEAN. Misalnya dalam hal kemungkinan dilakukannya penangkapan terhadap seseorang yang terlibat dalam aktifitas terorisme dan pencegahan terorisme. Bahkan Indonesia sempat menjajaki peluang kerjasama antara ASEAN dan Amerika Serikat, ASEAN dengan India, ASEAN dengan Australia serta ASEAN dengan Uni Eropa. Termasuk menjajaki pembentukan semacam pusat kerjasama di Jakarta (Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation-JCLEC) untuk kemudian menjalin hubungan dengan pusat regional lain seperti The International Law Enforcement Academy (ILEA) di Bangkok dan The Southeast Asia Regional Center for Counter Terrorism (SEARCCT) di Kuala Lumpur, dengan tetap mengacu pada prinsip komplementer dan non duplikasi. Semua kerja sama ini juga dijajaki guna mendapatkan bantuan pelatihan untuk pejabat negara utamanya penegak hukum yang terlibat dalam upaya kontra terorisme.

 

B.    Pelanggaran-Pelanggaran Hak Asasi Tersangka/Terdakwa dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia

Meskipun kita telah memiliki banyak regulasi yang terkait dengan perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa, namun abuse of power atau  pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang masih kerap dilakukan oleh aparat kita. Dari instrumen-instrumen hukum yang berkaitan dengan penegakan HAM, terutama hak asasi tersangka/terdakwa, serangkaian hak dan kebebasan asasi yang terancam penghormatan dan pemenuhannya dalam kaitan dengan upaya pemberantasan terorisme adalah rentan pelanggaran terhadap hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan dan penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahakan martabat; hak untuk bebas dari penahanan sewenang-wenang; hak bagi terciptanya peradilan yang fair termasuk hak didampingi penasihat hukum; kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama; kebebasan berekspresi dan bersidang; kebebasan dari diskriminasi; dan penghormatan untuk hak-hak yang dilindungi dalam situasi darurat.

Contoh kasus dapat kita lihat dari kinerja aparat kita yang represif dalam memberantas terorisme tanpa memperhatikan prinsip-prinsip HAM. Meskipun usul BIN agar bisa menangkap seseorang yang dicurigai terlibat terorisme tidak mendapat dukungan, BIN diketahui menangkap dan menahan seseorang tanpa landasan hukum. Contohnya, penangkapan Umar Al Farouk pada 5 Juni 2003 dan penyerahan dirinya kepada Amerika Serikat. Umar Al Farouk alias Mahmoud Assegaf dituduh terlibat dalam peledakan bom di Istiqlal serta peledakan bom di sejumlah daerah di Indonesia. Melalui konfirmasi, Kepala BIN menyatakan tertangkapnya Umar Al Farouk merupakan salah satu bukti BIN telah bekerja optimal. Apalagi, penangkapan itu telah memberikan pencerahan bagi BIN untuk melakukan pengembangan lebih jauh tentang jaringan terorisme di Indonesia.

            Tindakan menangkap Al Farouk mengabaikan standar minimum hukum acara pidana mengenai perlindungan hak-hak tersangka. Al Farouk ditangkap bukan oleh lembaga penegak hukum yang berwenang menurut undang-undang. Penangkapan dilakukan tanpa pemberitahuan kepada keluarga, lokasi penahanan tidak diketahui, tidak didampingi oleh pengacara, dan tidak dihadapkan pada pengadilan yang fair. Tindakan ini jelas melanggar serangkaian Hak Asasi Manusia.

            Sebagaimana yang dilansir oleh Usman Hamid (Koordinator Kontras), bahwa tindakan seperti itu sama saja dengan merampas kemerdekaan seseorang secara ilegal. Tindakan yang dikenal sebagai “incommunicado detention“ adalah bentuk campur tangan yang fatal dari BIN terhadap sistem penegakan hukum nasional, yakni dengan mengambil wewenang aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

            Penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, sering diistilahkan “penculikan”. Istilah penculikan ini muncul karena prosedur pengangkapan terhadap para tersangka tindak pidana terorisme tersebut tidak sesuai sebagaimana dalam Pasal 18 KUHAP yang menyebutkan bahwa :

(1)   Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah pennangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.

(2)  Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.

(3)  Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

 

            Selain itu, dari data yang dikumpulkan Fauzan Al-Anshory selama tiga tahun pasca tragedi WTC 11 September 2001, tersangka teroris di Indonesia yang ditangkap sudah mencapai sekitar 150 orang. Diantaranya hasil penculikan terhadap aktifis Islam kloter pertama (juli-September 2003), dari korban penculikan ini yang sangat menyedihkan, sebagaimana menimpa Syaifudin Umar (alumni Gontor dan Ummul Quro Makkah). Dia diculik dan ditemukan dalam keadaan depresi berat dan luka-luka yang mengenaskan pada tanggal 11 Agustus 2004. Pada tubuhnya terdapat tiga bekas sundutan rokok di pipi, dua di kanan dan satu di kiri; benjolan besar di dahi; luka memar memanjang di punggung jumlahnya lebih dari lima; dua bekas sundutan rokok di tangan, satu di kanan dan satu di kiri; kuku jari kelingking kanan pecah; kuku ibu jari kaki kiri lepas; bibir kiri lebam; luka memar di pangkal paha hingga atas mata kaki kanan; luka memar di atas mata kaki hingga tulang kering kaki kiri; dan depresi, gejalanya sering bergumam dan takut pada orang yang tidak dikenalnya. Setelah penangkapan tersebut, Densus 88 mengakui telah menangkap Syaifudin Umar, tetapi membantah melakukan penyiksaan.

            Dalam persidangan kasus Abu Bakar Ba’asyr di BNG Kemayoran, terpidana pelaku bom Bali (Imam Samudra, Ali Gufron, Ali Imron dan Amrozi), saat menjadi saksi menyatakan bahwa sering terjadi penangkapan dan penculikan disertai penyiksaan terhadap tersangka teroris pasca bom Bali.  Imam Samudra menyebutkan dua nama pelaku penyiksaan itu, yakni Beni Mamoto dan Carlo Tewu. Keduanya dituduh telah melakukan penelanjangan terhadap mereka.

            Pada kloter pertama penculikan, contoh kasus misalnya menimpa sembilan orang yang ditangkap di Jakarta, serta dua orang ditangkap di Solo, mereka menjadi tersangka dan ditangkap karena diduga terlibat dengan aksi teror bom yang pernah terjadi di Indonesia, sebagian lagi karena mengetahui akan dilakukan peledakan bom namun tidak melaporkan hal tersebut kepada Polisi. Dijerat berdasarkan ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yakni dianggap dengan sengaja memberi bantuan dan kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Selebihnya, mereka yang menghadiri rapat-rapat sehubungan dengan evaluasi pelaksanaan Bom Bali, serta merencanakan peledakan bom berikutnya.

            Penangkapan yang dilakukan Polri terhadap tiga orang di Semarang pada bulan Juli 2002, hanya berdasarkan 16 buah dokumen berbahasa Arab yang ditemukan oleh Polisi saat penggerebekan sebuah rumah, bersama dengan penemuan buku-buku tentang perakitan bom dan ranjau, serta buku berisi ajaran destruktif. Dokumen berbahasa Arab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Polri melalui pihak yang berkompeten. Dokumen berdasar pada ajaran Islam garis keras dan dilarang beredar di Arab dan Mesir.

            Penangkapan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Ada yang menganggap bahwa penangkapan berkesan sebagai penculikan karena telah menyalahi prosedur. Untuk membahas masalah tersebut, diadakan Rapat Komisi I DPR pada hari Senin tanggal 15 September 2003, menghadirkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Pada kesempatan tersebut dijelaskan bahwa penangkapan dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, namun terdapat penyimpangan prosedur, yaitu mengenai pemberitahuan kepada pihak keluarga para tersangka yang ditangkap oleh pihak Polri, terlambat. Hal itu diakui oleh Kapolri.

            Selain masalah pemberitahuan kepada pihak keluarga, penangkapan tersebut dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 karena data dan laporan yang dipakai sebagai dasar penangkapan belum melalui proses hearing di pengadilan negeri seperti ketentuan Pasal 26. Mengenai hal ini, Polri menyatakan bahwa yang harus mendapat penetapan dari pengadilan adalah produk intelijen dari luar lembaga Polri seperti BIN, produk intelijen Polisi termasuk dalam rangka penyidikan perkara, tidak memerlukan penetapan pengadilan untuk menjadikan dasar untuk melakukan penahanan dan penangkapan.

            Menurut Denny Kailimang (Praktisi Hukum/Advokat), Polisi dengan kewenangan yang ada padanya dan perintah undang-undang, berwenang menangkap orang yang diduga mempunyai keterkaitan dengan aksi teror. Dalam perspektif undang-undang tentang tindak pidana terorisme, bukti yang diperoleh Polisi terdiri atas 2 (dua), yaitu bersumber dari sumber intelijen, serta dari hasil pemeriksaan Polisi terhadap para tersangka dan saksi. Untuk sumber pertama, yaitu dari sumber intelijen, diperlukan pelaksanaan mekanisme hearing seperti disyaratkan Pasal 26, namun bagi sumber kedua, yaitu jika Polisi melakukan sendiri penyelidikan kasus atau menemukan sendiri tersangkanya, maka Polisi langsung memiliki hak untuk melakukan penangkapan selama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam, tanpa melalui proses hearing terlebih dahulu.

            Padahal, baik dalam ketentuan Pasal 26 maupun penjelasan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tidak dibedakan laporan intelijen dari instansi mana yang harus melalui mekanisme hearing dan mana yang tidak harus melalui mekanisme hearing. Artinya, mekanisme hearing harus dilalui oleh semua laporan intelijen, tanpa ada pengecualian, untuk dapat dinyatakan sebagai bukti permulaan.

            Kasus lain pelanggaran hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemberantasan terorisme, misalnya yang menimpa 16 tahanan teroris di Ambon. Keenambelas tersangka terorisme ini dipindahkan dari rumah tahanan di Ambon ke Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan di Yogyakarta tanpa adanya pemberitahuan kepada pihak keluarga para tersangka. Hal ini tentu saja melanggar aturan di dalam KUHAP sebagaimana dalam Pasal  59 yang menyebutkan :

 

“Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan penangguhannya.”

 

             

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB V

UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA/TERDAKWA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

TERORISME DI INDONESIA

 

A.     Perumusan Defenisi Tindak Pidana Terorisme dalam Perundang-undangan Indonesia

Kajian akademis tentang terorisme selalu berhadapan dengan kesulitan untuk mencari suatu defenisi universal tentang tindak pidana terorisme. Masalah ini terungkap dengan baik dalam ungkapan “one person’s terrorist being another’s freedom fighter”. Higgins dan Flory telah mengumpulkan berbagai pendapat para ahli hukum internasional tentang terorisme dan berkesimpulan bahwa tidak terlalu diperlukan pembentukan hukum positif baru untuk menangani kasus-kasus terorisme. Higgins melihat bahwa pembentukan hukum positif baru akan mengundang perdebatan panjang tentang defenisi dan tipologi terorisme. Perdebatan ini tidak terlalu diperlukan karena terdapat cukup banyak klausul-klausul hukum internasional yang dapat dipergunakan untuk menindak pelaku kekerasan bersenjata yang tidak diskriminatif.

Di Indonesia sendiri, hingga akhirnya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dikeluarkan, sampai saat ini masih menjadi perdebatan dan belum bisa memuaskan semua pihak tentang defenisi terorisme. Kejelasan defenisi ini sangat penting, karena darisanalah dapat ditentukan jenis, karakteristik, bentuk dan unsur-unsur tindak pidana terorisme agar tidak kabur dalam penerapan maupun pelaksanaan undang-undang tersebut oleh para penegak hukum. Pemahaman tentang defenisi terorisme adalah hal mendasar dan sangat penting yang perlu dikuasai terlebih dulu sebelum melakukan berbagai tindakan penanggulangan terorisme.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Juergensmeyer, bahwa terorisme menjadi istilah yang sangat rentan untuk disalahtafsirkan atau dikontaminasi secara interpretatif sesuai kepentingan pihak-pihak yang memandangnya. Sebuah kejadian mungkin dapat disebut sebuah tindakan terorisme oleh pihak lain, namun mungkin juga dianggap sebagai tindakan mempertahankan diri, memperjuangkan hak, memperjuangkan ketidakadilan global, perlakuan dehumanisasi global negara-negara besar dan kuat kepada negara-negara lemah, atau bahkan yang sangat popular sebagai sebuah misi suci (jihad) sebagaimana “teror atas nama tuhan”.

Frans Magnis Suseno juga pernah mengungkapkan hal yang sama bahwa aparat penegak hukum di Indonesia ternyata masih perlu memahami perbedaaan pengertian antara teroris, fundamentalis dan radikalis. Seorang teroris bisa jadi adalah seorang fundamentalis dan radikalis. Akan tetapi belum tentu seorang fundamentalis dan radikalis adalah seorang teroris. Ketidakpahaman akan pengertian terorisme kadang bisa menjadi sebab dilakukannya “labeling” oleh pemerintah terhadap orang atau kelompok tertentu.

Ketiadaan defenisi hukum mengenai tindak pidana terorisme yang telah baku secara universal tidak serta merta berarti meniadakan defenisi hukum tentang terorisme itu. Menurut hukum nasional masing-masing negara, di samping bukan berarti meniadakan sifat jahat perbuatan itu dan dengan demikian lantas bisa diartikan bahwa pelaku terorisme bebas dari tuntutan hukum. Nullum crimen sine poena, begitu bunyi asas hukum yang bermakna bahwa tiada kejahatan yang boleh dibiarkan berlalu begitu saja tanpa hukuman, tetapi karena faktanya kini terorisme sudah bukan lagi sekedar international crime dan sudah menjadi internationally organized crime maka sangatlah sulit untuk memberantas kejahatan jenis ini tanpa adanya kerjasama dan pemahaman yang sama di kalangan negara-negara.

Menurut hukum pidana, secara dogmatis masalah pokok yang berhubungan dengan hukum pidana adalah membicarakan tiga hal, yaitu :

1.      Perbuatan yang dilarang;

2.      Orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu;

3.      Pidana yang diancamkan terhadap pelanggar itu.

 

Dalam penggunaan salinan istilah yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan dalam isi pengertian, yang berakibat pula adanya perbedaan dalam isi pengertian itu. Dengan kata lain, tiap pengertian memiliki esensi atau unsur yang berbeda. Demikian anggapan pada umumnya, tetapi penggunaan istilah yang berbeda tidak menjadi kemutlakan bahwa istilah yang berbeda memiliki isi yang berbeda pula. Misalnya antara “straf” dan “maatregelen” adalah berbeda, sedang antara “beveiligingsmaatregelen” dan “maatregelen” adalah sama, meskipun hal ini ada di lapangan sanksi hukum pidana. Istilah bestandelen dan elemen, disalin dalam bahasa Indonesia dengan unsur-unsur.

Beberapa pakar hukum memberikan defenisi mengenai “strafbaar feit” antara lain:

Simon, mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

 

Roeslan Saleh, mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan.

 

Jonkers, memberikan defenisi strafbaar feit dalam dua pengertian, yakni :

1.      Defenisi pendek : memberikan defenisi strafbaar feit adalah suatu kejadian yang dapat diancam pidana oleh undang-undang;

2.      Defenisi panjang : maka strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

 

Kaitannya dengan ini, menurut Moeljatno :

“Syarat-syarat untuk adanya tindak pidana (strafvoirusset zungen) yang umumnya tanpa dipikirkan sebagai kualitet-kualitet handlung, ibarat suatu merkmalshaufs (tumpukan syarat-syarat), sekarang hendaknya disistematisir menurut hakikat syarat masing-masing, dengan memperhatikan segi tadi, yang satu dengan yang lainnya, merupakan bentuk yang paralel.  Pada segi handlung, yang boleh dinamakan pula segi objektif atau tat, ada tatbestandsmazigkleit (hal mencocoki rumusan wet) dan tidak adanya alasan pembenar (fehlen von rechtsfertingungsgrunden), pada segi handelnde yang dinamakan segi subjektif, sebaliknya ada schuld (kesalahan) dan tidak adanya alasan pemaaf (fehlen von personlichen strafausschleszungs gronden) sebagaimana segi pertama yang mungkin tatbestandmaszig, maka hanya segi yang kedua saja yang mungkin schulding. Sementara segi-segi tersebut jika dipandang sebagai kesatuan, tidak hanya berdampingan semata-mata (paralelverhaltnis) bahkan yang satu merupakan syarat bagi yang lain (bedingungsverhaltnis). Segi yang menjadi syarat adalah tat, yaitu die strafbare handlung dalam makna strafgezetsbuch, yang merupakan das kriminelle unrecht, sedangkan yang disyaratkan adalah segi schuld, oleh karena schuld adanya baru sesudah unrecht atau sifat melawan hukumnya perbuatan dan tidak mungkin ada schuld tanpa adanya unrecht.”

 

Setiap undang-undang tertulis, seperti halnya undang-undang pemberantasan terorisme memerlukan suatu penafsiran. Suatu undang-undang yang baik, tentu haruslah mendekati kebenaran dan kepastian hukum dalam penerapan unsur-unsurnya, sehingga tidak akan “kabur” ataupun “menyimpang” dalam pelaksanaannya. Kiranya tidak ada yang dapat menyangkal kebenaran bahwa  suatu penafsiran yang baik dan tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat dalam sebuah undang-undang, akan membuat undang-undang yang bersangkutan diterapkan secara baik dan dapat memberikan kepuasan bagi para pihak yang tersangkut di dalamnya, dan sebaliknya suatu penafsiran yang buruk dan tidak tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat di dalam undang-undang itu, akan membuat undang-undang yang bersangkutan diterapkan secara buruk dan tidak tepat. Apabila penafsiran semacam itu dilakukan secara terus-menerus, pada akhirnya akan membuat orang menjadi kehilangan kepercayaan terhadap undang-undang itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Pompe :

”Bagi undang-undang pidana, seperti halnya undang-undang lainnya, orang dapat berpegang pada peraturan-peraturan, yakni apabila kata-kata di dalam undang-undang itu sendiri sudahlah jelas, maka orang tidak boleh membuat suatu penafsiran hingga menyimpang dari arti yang sebenarnya, dan apabila kata-kata tersebut dapat ditafsirkan secara berbeda-beda, maka lebih baik jika orang berusaha mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud pembentuk undang-undang dengan kata-kata tersebut daripada terikat secara harafiah pada yang tertulis di dalam undang-undang.”

 

            Menurut pendapat Pompe jenis-jenis metode penafsiran yang dapat dipergunakan orang untuk menafsirkan suatu undang-undang pidana adalah antara lain metode-metode penafsiran secara otentik (authentieke interpretatie), secara terbatas menurut bunyi rumusan undang-undang (strictieve interpretatie), sesuai dengan maksud undang-undang (teleologische interpretatie) dan metode penafsiran menurut sejarah pembentukan suatu undang-undang (wethistorische interpretatie).

Perlu disadari kiranya suatu penafsiran yang baik dan tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat di dalam suatu undang-undang pidana erat hubungannya dengan usaha manusia untuk memberikan penghargaan yang setingi-tingginya kepada hak-hak asasi manusia, justru karena suatu penafsiran yang buruk dan tidak tepat atas rumusan-rumusan yang terdapat di dalam undang-undang pidana tersebut akan membuat hak-hak atas kebebasan pribadi dan atas pemilikan harta milik itu tanpa suatu dasar hukum dapat menjadi dirampas atau dibatasi sewenang-wenang.

Dalam membentuk suatu perundang-undangan yang baik, setidaknya ada tiga landasan yang harus diperhatikan dalam proses pembentukannya. Landasan-landasan tersebut adalah landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis. Ketiga landasan tersebut secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:

1.      Landasan Filosofis (Filosofische Grondslag).

Suatu rumusan peraturan perundang-undangan harus mendapatkan pembenaran (rechtvaardinging) yang dapat diterima jika dikaji secara filosofis. Pembenaran itu harus sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup masyarakat, yaitu cita-cita kebenaran (idée der waarheid), cita-cita keadilan (idée der gerechtugheid), dan cita-cita kesusilaan (idée der zedelijkheid);

 

2.      Landasan Sosiologis (Sosiologische Grondslag).

Suatu peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu, hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living law) di dalam masyarakat;

 

3.      Landasan Yuridis (Rechsgrond).

Suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai landasan hukum atau dasar hukum atau legalitas yang terdapat dalam ketentuan lain yang lebih tinggi. Landasan yuridis dapat dibedakan menjadi dua hal berikut :

a.       Landasan yuridis yang beraspek formal, berupa ketentuan yang memberikan wewenang (bevoegdheid) kepada sesuatu lembaga untuk membentuknya;

b.      Landasan yuridis yang beraspek material, berupa ketentuan tentang masalah atau persoalan yang harus diatur.

 

Oleh karena itu, proses pembentukan undang-undang pemberantasan terorisme hendaknya negara memperhatikan landasan-landasan tersebut di atas. Menurut Alf Ross, penentuan tindak pidana terorisme harus didasarkan pada pencelaan secara moral, sebab pencelaaan tersebut pada hakikatnya merupakan reaksi yang mempunyai fungsi mempengaruhi tingkah laku atau mempunyai fungsi pencegahan (deterrence function) Namun demikian reaksi sosial terhadap kejahatan terorisme pun harus tetap berada dalam jalur legal dan bukan dalam jalur ilegal.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagai “pijakan” hukum dalam memberantas tindak pidana terorisme di Indonesia, Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Artinya defenisi dijabarkan dalam setiap pasal yang mengandung unsur-unsur tindak pidana terorisme.

Rumusan umum tentang defenisi tindak pidana terorisme terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 6 :

 

“Setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

 

Pasal 7 :

 

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa rakut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.”

 

Perbedaan kedua pasal di atas adalah delik dalam Pasal 6 merupakan tindak pidana yang sudah selesai dilakukan, termasuk dalam delik materil, karena delik akan dianggap sempurna dengan adanya akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut. Sehingga unsur yang harus dibuktikan adalah akibat perbuatan berupa munculnya suasana teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal. Sedangkan Pasal 7 merupakan delik formil. Delik formil yaitu delik yang terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, dengan tidak mempersoalkan akibat dari perbuatan-perbuatan itu.

Rumusan Pasal 6 dan Pasal 7 di atas sangat interpretatif, elastis, serta tidak jelas batasan-batasannya, bahkan sebelum melakukan tindak pidana terorisme sudah mendapat ancaman hukuman yang berat. Unsur akibat yang berupa “menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas”, tidak ada ukurannya atau tidak dijelaskan dalam undang-undang ini. Yang perlu diperjelas dari rumusan ini adalah apa yang dimaksud dengan suasana teror? Kalau yang dimaksud adalah ketakutan atau korban secara massal seharusnya “suasana teror” tidak dimasukkan lagi karena bisa ditafsirkan sepihak oleh aparat keamanan. Akibatnya, jika suatu unsur mengandung suatu ketidakjelasan atau ketidakrincian, ukuran terpenuhinya unsur pidana akan sangat ditentukan oleh kehendak pandangan subyektif penyelidik atau penyidik maupun hakim. Pada akhirnya, hal tersebut akan memudahkan terjadinya suatu penyelewengan oleh berbagai pihak, terutama oleh kalangan intelijen yang setiap laporannya dapat menjadi bukti permulaan yang cukup.

Selain itu, terkait dengan kalimat “menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”, rumusan ini dapat ditafsirkan menjadi tindakan sendiri karena sama-sama merupakan akibat yang ditimbulkan seperti ketakutan dan korban massal sehingga kedudukannya sejajar dalam struktur kalimat, dan tidak bisa disejajarkan dengan unsur “dengan cara”. Hal ini sangat berbahaya karena mengandung ketidakjelasan tentang perbuatan kekerasan apa sebagai caranya, serta apa yang dimaksud dengan obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik dan fasilitas internasional. Kalau diperhatikan secara seksama bahwasanya dengan rumusan pasal di atas, dimisalkan aksi demonstrasi yang merusak pagar DPR/MPR atau lembaga negara dan instansi pemerintah atau lembaga internasional, berdasarkan tafsiran ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme tanpa perlu adanya ketakutan dan korban secara massal.

Bila dilihat pada Pasal 7, yang ditekankan adalah motif perbuatan untuk menimbulkan suasana teror atau ketakutan yang meluas atau korban secara massal. Masalah yang akan dihadapi adalah bagaimana membuktikan adanya suatu motif? Yang dapat dipidana adalah penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan, yang hal ini telah diatur dalam hukum pidana Indonesia. Motif perlu diungkap adalah sebagai alat untuk penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut.

Rumusan tindak pidana teror selanjutnya adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 8 huruf a-r . Pasal ini memasukkan 18 macam perbuatan sebagai tindak pidana terorisme dan dipidana sama dengan tindak pidana terorisme dalam Pasal 6. Pasal 8 merupakan “over kriminalisasi” terhadap tindak pidana biasa karena dalam pasal ini tidak ada unsur akibat yang ditimbulkan sebagai ciri khas tindak pidana teror. Coba kita lihat pada huruf e pasal ini yang berbunyi :

“Dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain.”

 

            Berdasarkan rumusan tersebut di atas, setiap orang yang melakukan perusakan terhadap pesawat udara dapat dipidana mati karena tindak pidana terorisme tanpa harus ada akibat munculnya rasa takut yang meluas atau korban secara massal. Pasal ini dapat menimbulkan asumsi bahwa setiap orang yang merusak pesawat terbang adalah untuk menciptakan rasa takut atau menimbulkan korban massal, sehingga nantinya kasus pencurian roda pesawat oleh tukang bengkel misalnya, bisa dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme.

Selanjutnya kelemahan dari Pasal 8 ini adalah dimasukkannya delik kealpaan pada huruf d dan g, bahkan dengan ancaman hukuman yang sama dengan tindak pidana terorisme. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan karakteristik fenomena terorisme dan unsur-unsur tindak pidana terorisme yang mengharuskan adanya kesengajaan. Apabila kealpaan tetap dapat dipidana dengan dakwaan tindak pidana terorisme, maka undang-undang ini akan banyak memakan korban karena kealpaan.

            Undang-Undang ini juga mencantumkan beberapa tindak pidana lain yang dimasukkan sebagai tindak pidana terorisme, yaitu dalam ketentuan Pasal 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan 16. Bila kita cermati terhadap pasal-pasal ini dapat dilihat bahwa merupakan tindak pidana biasa tetapi menjadi luar biasa, padahal tindak pidana tersebut telah di atur dalam KUHP maupun Undang-Undang tentang Senjata Api.

            Selain itu, Pasal 14 yang berbunyi :

“Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.”

 

Penjelasannya :

 

Ketentuan ini ditujukan kepada auctor intelectualis. Yang dimaksud dengan merencanakan termasuk mempersiapkan baik secara fisik, finansial, maupun sumber daya manusia. Yang dimaksud dengan ”menggerakkan” adalah melakukan hasutan dan provokasi, pemberian hadiah atau uang atau janji-janji.

 

Pasal ini bisa menjerat dan membelenggu kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan pers. Kata “menggerakkan” tidak memiliki ukuran jelas. Apa yang dimaksud provokasi? Bisa saja ditafsirkan yang “memotifasi” atau yang “menginspirasi” dari suatu perbuatan yang masuk kategori tindak pidana terorisme. Seorang guru, ulama, pastor, atau pengamat dapat dikenai pasal ini jika kemudian ada seseorang yang melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan ucapan mereka. Belenggu kebebasan akan semakin ketat apabila ketentuan Pasal 14 ini dikaitkan dengan Pasal 20 yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.”

 

Kata “mengintimidasi” bisa ditafsirkan bermacam-macam, mulai tindakan nyata sampai dengan pendapat atau komentar. “Intimidasi” bisa dilakukan oleh siapa saja, baik masyarakat, akademisi, atau LSM. Contoh bahwa pasal ini merupakan pasal “karet”, dimisalkan seseorang yang mengomentari aparat dalam penanganan kasus tindak pidana terorisme maka bisa dituduh “mengintimidasi”. Selain itu, terkait dengan intimidasi tersebut, bisa dijerat dengan Pasal 209, 210, 211, 212, 216, 217, 207, 208, 335 KUHP jo. Pasal 218 KUHAP, dengan ancaman pidana tidak seberat undang-undang pemberantasan terorisme serta memiliki unsur-unsur yang lebih jelas. Hal ini merupakan pengabaian asas “in dubio pro reo”  dalam hukum pidana.

Terkait dengan beberapa defenisi para ahli yang menyatakan bahwa terorisme merupakan “kejahatan terhadap keamanan negara” serta “bermotifkan politik”, maka untuk menentukan apakah termasuk delik politik atau tidak, perlu penelitian yang lebih mendalam. Walaupun secara eksplisit Pasal 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme menyebutkan bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, karena dapat menghambat proses ekstradisi. Pada faktanya, tidak dapat dipungkiri kejahatan terorisme oleh kelompok ataupun orang tertentu memiliki ideologi politik yang merupakan dasar pergerakannya masing-masing.

Dalam kasus penangkapan-penangkapan yang dilakukan Kepolisian terhadap tersangka terorisme, melalui pernyataan resmi pejabat kepolisian selalu mengatakan bahwa tersangka memiliki keterlibatan dalam suatu organisasi atau jaringan teroris tertentu seperti Jamaah Islamiah (JI) dan Al Qaeda. Dasar-dasar penangkapan lebih mengacu pada struktur, jabatan atau keanggotaan si tersangka teroris pada organisasi yang telah dicap atau dilabelisasikan sebagai organisasi teroris, tanpa menelusuri lebih lanjut apakah si tersangka benar-benar terlibat dalam aksi-aksi terorisme seperti pengeboman, pembunuhan, menciptakan suasana teror, dan lain sebagainya yang telah ia lakukan.

Asumsi ini diambil berdasarkan pernyataan bahwa bila suatu organisasi telah dicap sebagai organisasi teroris, maka seluruh anggotanya ikut terkait (unsur peyertaan) karena tindak pidananya melekat bukan pada tindakan atau aksi terorisme tersebut, melainkan melekat pada tujuan dan ideologi organisasi teroris. Timbul pertanyaan apakah dalam merumuskan tindak pidana terorisme dapat dipisahkan antara tujuan atau motif  organisasi tersebut dengan actus reus atau tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku terorisme. Apakah dapat ditarik kesimpulan bahwa  keterlibatan seseorang dalam organisasi yang telah dicap sebagai organisasi terorisme merupakan niat jahat (mens rea) dari orang tersebut, walaupun yang melakukan  actus reus adalah orang lain sesama organisasi. Bagaimana menentukan mens rea  bila di dalam suatu defenisi terorisme yang mengaitkan tujuan, ideologi, politik dari seseorang padahal dia melakukan atas dasar  perjuangan demi menegakkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, yang mana orang tersebut tidak mengetahui bahwa ada orang lain yang melakukan tindakan teror seperti pengeboman dan pembunuhan, tetapi orang tersebut telah dilabelisasikan sebagai pelaku yang sama sebagai teroris? Selain itu, Bagaimana mungkin ada penglabelan terhadap suatu organisasi yang dianggap teroris, seperti  Al Qaeda dan Jamah Islamiyah padahal sampai saat ini sulit dibuktikan eksistensinya apakah organisasi tersebut benar-benar ada. Tetapi dalam implementasinya aparat sudah langsung main tangkap dan menuduh bahwa mereka terlibat dalam organisasi tersebut.

Dalam doktrin ilmu hukum diketahui bahwa mens rea dan actus reus merupakan syarat mutlak untuk menentukan suatu perbuatan pidana. Untuk menentukan seseorang terlibat dalam organisasi teroris haruslah dibuktikan dulu kebenaran dari adanya bahwa organisasi dan orang-orangnya tersebut benar-benar ada, setelah itu barulah dapat ditentukan bahwa bagi siapa saja yang terbukti sebagai anggota organisasi tersebut, maka dikenakan kepadanya akibat turut serta dalam pemidanaan (deelneming), itupun dengan syarat orang tersebut yang melakukan, terlibat sebagai pelaku yang menyuruh lakukan (aktor intelektual), yang turut serta melakukan ataupun penganjur dalam kejahatan terorisme tersebut.

Menurut penulis, kalau organisasi tersebut tidak dapat dibuktikan keberadaannya, maka untuk dapat dikenakan pidana terorisme terhadap pelaku difokuskan pada keterlibatan pelaku dalam aksi-aksi kejahatan-nya.  Perlu penelusuran dan pembuktian yang lebih mendalam perihal actus reus maupun mens rea-nya. Jadi jangan hanya dilihat dan penglabelan bahwa ia sebagai anggota teroris. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa jika dalam pendefenisian tindak pidana terorisme sulit untuk menentukan unsur-unsur tindak pidananya secara tepat, dan karakteristiknya memuat dimensi politis/kepentingan/subjektifitas tertentu, maka pendekatan atau cara terbaik dalam mendapatkan sebuah defenisi yang objektif salah satu kemungkinannya adalah mendefenisikan tindak pidana terorisme bukan dari identitas pelaku atau alasan, motif dan tujuan mereka, melainkan haruslah dilihat dari aksi dan perbuatan mereka. Karena pendefenisian dari tujuan atau motif pelaku dapat bertolak dari stigmatisasi, labelisasi dan subjektif, disamping itu unsur mens rea dapat tidak terpenuhi. Dalam defenisi ini kaitan antara korban dan target terorisme dapat dieliminasi, karena siapa korban tidaklah penting. Korban hanyalah sarana simbolis teknis untuk alasan-alasan aksi mereka. Semua aksi teroris memuat tindak kekerasan atau ancaman kekerasan, kadang dengan tuntutan yang eksplisit. Kekerasan itu diarahkan kepada orang-orang yang tidak melakukan perlawanan. Tujuannya politis dan dilaksanakan demi publisitas yang maksimal.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Budi F. Hardiman bahwa pendekatan dengan melihat aksi atau peristiwa itu menguntungkan karena:

1.      Dapat mengidentifikasi pola-pola yang luas dari aksi;

2.      Dapat mengenali kecenderungan di masa depan;

3.      Dapat mengetahui pertumbuhan terorisme itu;

4.      Dapat menemukan penyebarannya di dunia.

 

Atas begitu banyaknya multitafsir terhadap pasal-pasal yang bersifat “karet” pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penulis menyimpulkan bahwa undang-udang tersebut dalam penerapannya masih harus dipilah dan dipilih terhadap kasus tertentu oleh para penegak hukum. Hal ini tentunya dapat menimbulkan subjektifitas dan rentan  terhadap stigmatisasi seseorang atau sekelompok orang yang diduga sebagai tersangka teroris. Dan yang paling penting untuk digarisbawahi adalah akibat ketidakjelasan unsur-unsur dalam rumusan defenisi tindak pidana terorisme, membuka peluang terjadinya abuse of power serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu undang-undang ini perlu segera direvisi.

 

B.    Implikasi Kebijakan Legislasi Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Telah banyak negara-negara di dunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan ke dalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Undang-undang pemberantasan terorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk melegitimasi kesewenang-wenangan (arbitrary detention) yang merupakan pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan dari Amnesty International menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Padahal dari berbagai pendapat para ahli berkesimpulan bahwa tidak terlalu diperlukan hukum positif dalam pemberantasan terorisme karena terdapat cukup banyak klausul-klausul hukum internasional yang dapat dipergunakan untuk menindak pelaku kekerasan bersenjata yang tidak diskriminatif.

Bila kita lihat di Indonesia, perjalanan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 dan Nomor 2 Tahun 2002 hingga kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 dan Nomor 16 Tahun 2003 terkesan sangat mendadak. Hal ini dinilai karena kurangnya aturan hukum yang mampu merespon dan menindak dengan cepat pelaku terorisme agar dapat diberantas hingga ke akar-akarnya. Selain itu, adanya korban dari warga negara asing dalam peristiwa pengeboman di Bali, menimbulkan adanya tekanan dari negara-negara luar. Namun apapun alasannya, setiap aturan hukum yang dikeluarkan betapapun pentingnya untuk pemberantasan kejahatan, harus pula memperhatikan nilai-nilai HAM yang melekat dalam masyarakat, karena tujuan dari hukum itu sendiri adalah demi terciptanya ketertiban dan keadilan bagi masyarakat.

Terwujudnya suatu perundangan di bidang terorisme, bukanlah berarti penanggulangan kejahatan tersebut dikatakan telah berhasil. Terbentuknya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 sebagai instrumen pemberantasan atau penanggulangan tindak pidana terorisme masih ditentukan oleh beberapa faktor dalam penegakannya. Sebagaimana menurut Soerjono Soekanto, bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum, termasuk penegakan undang-undang anti terorisme, yaitu faktor hukumnya itu sendiri (undang-undang), faktor penegak hukumnya (aparatur struktural), faktor sarana dan prasarana yang mendukung penegak hukum, dan faktor masyarakat dan kultur yang menyertainya.

Di kalangan masyarakat dalam menyikapi undang-undang anti-terorisme masih banyak terjadi pro dan kontra. Bagi mereka yang kontra pada dasarnya melihat esensi dari undang-undang anti-terorisme selain banyak mengandung kelemahan-kelemahan dari sisi kebijakan legislasi/formulasinya, juga mengandung bentuk otoriter negara dalam penanganan gerakan terorisme dalam negeri. Kondisi yang demikian tidak mustahil akan dijadikan atau merupakan celah hukum bagi rezim yang berkuasa untuk melakukan bentuk tindakan yang represif dan kesewenang-wenangan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap berseberangan secara politik dengan kebijakannya, sedangkan pada sisi yang lain terdapat materi muatan pasal-pasal yang bertentangan dengan materi yang ada dalam KUHAP. Dimana KUHAP memberikan pedoman, bahwa setiap bentuk tindak kriminal harus didukung oleh bukti-bukti material yang cukup. Adapun dalam undang-undang anti terorisme tersebut aspek-aspek hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP tidak terpenuhi, karena nyata-nyata terdapat pasal yang secara eksplisit memberikan ruang gerak kepada penyidik untuk bertindak represif terhadap setiap orang atau kelompok yang dicurigai melakukan tindak pidana terorisme hanya dengan bukti informasi atau laporan intelijen, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26. Memperhatikan rumusan Pasal 26 tersebut, bagi yang kontra tentu berpegang pada pengalaman masa lalu ketika rezim orde baru berkuasa, dimana setiap produk hukum selalu terselip kepentingan politik pemerintah, dengan tujuan untuk melegitimasi apa yang menjadi tujuan politiknya.

Situasi yang sangat kontra produktif di tengah-tengah kehidupan demokrasi yang baru tumbuh pada orde reformasi, dalam konteks yang demikian Schmid dan Jongman menyebutkan :

“Ketika negara (state) tidak menindak mereka yang melanggar hukum, namun menghukum sekelompok orang (baik yang bersalah maupun tidak) sehingga orang lain mundur dari perlawanan terhadap hukum yang represif, maka kita akan memasuki wilayah terorisme…jelas-jelas kita tidak lagi berurusan dengan penggunaan monopoli kekuasaan yang sah, melainkan dengan terorisme negara.”

Dengan demikian teror tidak hanya dilakukan oleh orang atau sekelompok orang tetapi juga dilakukan oleh negara dengan kekuasaan yang sah yang ada padanya melalui instrumen hukum yang represif baik material maupun formal.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memiliki kelemahan-kelemahan. Beberapa hal mendasar yang merupakan kritik terhadap undang-undang ini adalah :

1.      Undang-undang tersebut lahir dari “histeria” (kepanikan) negara dalam menghadapi peristiwa bom Bali. Padahal yang diperlukan hanyalah investigasi sungguh-sungguh dan adanya pelaporan yang transparan kepada masyarakat sebagai bentuk kontrol terhadap kinerja penyelidikan. Secara logika, yang diperlukan masyarakat adalah penjelasan terhadap peristiwa, bukan undang-undang, dan itu cukup dapat dipenuhi dengan mekanisme penyelidikan kriminal yang terintegrasi dengan melibatkan institusi-institusi hukum yang ada;

2.      Undang-Undang tersebut tidak didasarkan pada koreksi komprehensif terhadap peraturan-peraturan lain yang ada dalam kerangka penyelesesaian kejahatan serupa. Kelemahan pada sistem dan kultur hukum sengaja diabaikan dengan membuat peraturan baru, padahal peraturan baru dapat berjalan jika sistem hukum dan kultur hukumnya siap;

3.      Undang-Undang tersebut rawan terhadap penyalahgunaan, terutama berkaitan dengan mekanisme yang diatur dan memberikan otoritas yang berlebihan terhadap intelijen dimana bukti-bukti intelijen dapat menjadi dasar bagi operasi anti-terorisme. Yang terjadi kemudian adalah bukan perang terhadap terorisme, tapi menunggangi isu terorisme untuk tujuan politik. Saat ini mungkin yang menjadi sasaran dan kambing hitam adalah kelompok-kelompok Islam radikal, namun ke depan undang-undang tersebut juga bisa dikenakan kepada kelompok-kelompok masyarakat sipil lainnya;

4.      Undang-undang tersebut dapat mengancam kebebasan pers dan kebebasan mengemukakan pendapat. Tanpa pembatasan yang ketat terhadap apa yang dimaksud dengan “intimidasi”, rumusan pasal ini dapat digunakan sebagai alasan untuk membatasi kebebasan pers atau kemerdekaan berpendapat yang ditujukan untuk mengkritik atau komentar terhadap proses hukum atas tindak pidana terorisme;

5.      Undang-undang tersebut dapat mengancam hak-hak individual melalui tindakan penyadapan telepon, pengawasan buku bank dan seterusnya yang semata-mata berdasarkan laporan intelejen (Pasal 26 Ayat 2, jo. Pasal 30);

6.      Undang-undang tersebut dapat mengancam “the independency of judiciary” dengan memberi kewenangan kepada badan intelejen non-yudisial untuk mempengaruhi penegakan hukum;

7.      Undang-undang tersebut dikhawatirkan dapat mengarah pada otoriterisme baru, di mana negara mulai membatasi otoritas-otoritas sipil, melakukan kontrol terhadap aktifitas kelompok-kelompok masyarakat, menganggu privatisasi dengan melakukan kegiatan intelijen, penyadapan, dan penangkapan terhadap siapapun dengan isu terorisme, membentuk lembaga-lembaga ekstra yudisial semacam satuan anti-teror yang justru melakukan teror, dan lain sebagainya. Pemerintah bukan melakukan pemberantasan terorisme namun ikut-ikutan menimbulkan teror baru bagi masyarakat;

8.      Undang-undang tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai perlindungan tersangka, terdakwa dan terpidana. Tetapi hanya mengatur perlindungan terhadap saksi, jaksa dan hakim. Padahal tersangka/terdakwa merupakan pihak yang paling rentan mendapat kesewenang-wenangan aparat.

9.      Pada akhirnya undang-undang ini hanya digunakan untuk kepentingan menguasai dan mengontrol secara berlebihan ruang publik dan membatasi ruang gerak kelompok-kelompok masyarakat. Fungsi-fungsi konsultasi dan partisipasi publik terhadap kebijakan negara digantikan oleh fungsi-fungsi intelijen.

            Penolakan terhadap rezim anti-terorisme represif, sampai saat ini masih terus disuarakan, baik dari segi substansi maupun struktural terutama terkait dengan integritas aparatur penegak hukumnya dalam menangani kejahatan terorisme. Oleh karena itulah dalam rangka penanggulangan tindak pidana atau kejahatan terorisme dengan sarana penal, kebijakan legislatif (legislative policy) atau kebijakan formulatif (formulative policy) dalam arti perangkat perundang-undangan serta penggunaannya atau fungsionalisasinya harus tepat sasaran. Sehingga diharapkan penggunaan sarana penal atau hukum pidana tersebut tidak malah menjadi faktor kriminogen dan viktimogen.

Sehubungan dengan hukum yang menyangkut kejahatan terorisme dan bekerjanya penegakan hukum ada beberapa hal yang harus dilakukan diantaranya pembaharuan hukum pidana. Pada dasarnya pembaharuan hukum pidana, khususnya menyangkut tindak pidana terorisme bisa dilakukan dengan tiga cara. Pertama, yaitu dengan pendekatan global yang menghendaki adanya peraturan perundangan yang berada di luar jalur KUHP. Kedua, melalui pendekatan evolusioner menghendaki pembaharuan lewat jalur amandemen, dapat berupa penambahan tetapi masih dalam satu kodifikasi KUHP. Adapun cara ketiga dapat dilakukan dengan pendekatan kompromistis. Dari ketiga pendekatan tersebut, pemerintah lebih memilih pendekatan yang pertama, sehingga undang-undang anti terorisme yang sekarang dimiliki berada di luar jalur KUHP yang berdiri sendiri. Namun anehnya perumusan masalah yang mejadi sokoguru hukum pidana tidak diformulasikan secara jelas dan lengkap, sehingga pada tahap implementasi undang-undang tersebut di lapangan akan banyak mengalami persoalan serius yang bisa menjadi faktor penghambat bagi penegakan hukumnya, dan notabene kendala serius itu datang dari kebijakan legislasi yang tidak mengindahkan asas “lex certa” bahwa perumusan suatu tindak pidana (actus reus), pertanggungjawaban pidana (mens rea), dan pidana itu sendiri harus diformulasikan sejelas mungkin dan setepat mungkin, sehingga tidak ambiguitas yang berdampak pada multitafsir.

Kebijakan legislasi atau formulasi sebagai kebijakan tahap pertama dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat bersifat kriminogen, apabila tidak direncanakan secara matang dan rasional, timpang, atau tidak seimbang, bahkan mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral, apalagi tidak mengindahkan nilai-nilai hak-hak dan kebebasan asasi manusia, serta tidak mencakup strategi perlindungan sosial yang terintegral.

Tidak dindahkannya nilai-nilai yang terkait dengan hak-hak dan kebebasan asasi manusia dalam perumusan undang-undang anti-terorisme, dapat menyebabkan peraturan perundangan tersebut dikategorikan atau diklasifikasikan ke dalam regulasi yang tidak ramah dengan perlindungan dan pengormatan HAM, terutama menyangkut hak dan kebebasan asasi tersangka/terdakwa terorisme. Hal senada juga dikatakan oleh Midendorf, bahwa keberhasilan bekerjanya atas suatu mekanisme sistem peradilan pidana yang terintegrasi (integrated criminal justice system) sangat tergantung pada baiknya peraturan perundang-undangan itu sendiri (good legislation). Disamping itu, ketiadaan konsistensi antara kebijakan legislasi dengan kenyataan merupakan faktor kriminogen juga. Semakin jauh kebijakan legislasi bergeser dari kenyataan, perasaan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka semakin besar pula tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap efektifitas penegakan sistem hukum. Ketidaksesuaian itu tidak hanya berarti tidak sesuai dengan nilai-nilai dan aspirasi mayarakat, tetapi juga ketidak sesuaian dengan hak-hak dan kebebasan asasi manusia, yang berarti kebijakan legislasi tersebut termasuk pada kebijakan yang tidak responsif terhadap persoalan-persoalan sosial yang kini sedang digalakkan dalam pembangunan nasional, yaitu pembangunan hukum yang ramah terhadap hak dan kebebasan asasi manusia, apalagi yang menyangkut “non derogable rights” yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 amandemen kedua terutama dalam Pasal 28D ayat (1) dan 28I ayat (1-5).

Ketidak sesuaian atau diskrepansi yang terjadi antara kebijakan legislasi, termasuk kebijakan legislasi tentang anti terorisme yang tidak ramah dengan hak dan kebebasan asasi manusia di satu sisi dengan kenyataan-kenyataan atau kebutuhan masyarakat di sisi lainnya itulah yang justru menurut hemat penulis merupakan kondisi-kondisi yang bisa menjadi faktor kriminogen dan viktomogen. Artinya, bahwa badan pembuat undang-undang ketika hendak memilih, mengadopsi, ataupun membuat suatu peraturan perundangan, termasuk undang-undang anti terorisme, seyogyanya memperhatikan betul keseimbangan atau kesesuaian antara prinsip keamanan (liberties principle) dengan prinsip-prinsip perlindungan dan penghormatan hak dan kebebasan asasi manusia di satu sisi dan dengan prinsip kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat di sisi lainnya, sehingga kebijakan legislasi dan penegakannya yang dihasilkan tidak menjadi faktor kriminogen dan viktimogen yang potensial.

Oleh karena itulah yang sangat perlu diperhatikan adalah bahwa hukum itu tidak hanya terdiri dari aturan-aturan saja, melainkan juga harus mencakup prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan. Maka aturan hukum itu hanya dapat dimengerti apabila dilihat dari segi tujuan kebijakan tersebut/yang bersangkutan. Bahkan dalam suatu kesempatan, Barda Nawawi Arief menegaskan bahwa kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) seyogyanya dilihat dari pendekatan kebijakan (policy approach) itu sendiri serta pendekatan nilai (values approach).

Dengan memakai istilah Friedmann tentang sistem hukum yang terdiri dari  struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum, maka dari sudut struktur hukum yang meliputi institusi penegak hukum, bahwa dalam rangka pengimplementasian atau fungsionalisasi perundangan anti-terorisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003, selain diperlukan aparatur penegak hukum yang mumpuni dalam bidang kajian terorisme, juga harus ditangani oleh aparatur penegak hukum yang mempunyai kredibilitas, kapabilitas dan integritas moral yang tinggi, disamping ke-profesionalisme-an dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu disini diperlukan spirit penegakan hukum yang berlandaskan doktrin “supremacy of moral’” dan doktrin “interest of justice”.

Penegakan hukum pidana, termasuk penegakan undang-undang anti terorisme dalam pendekatan doktrin “supremacy of moral” dan doktrin “interest of justice” erat sekali dengan tujuan dari hukum pidana yang akan dicapai, yaitu “protection of the public and the promotion of justice for victim, offender and community. Jadi dalam pengimplementasian atau fungsionalisasi penegakan hukum pidana, termasuk di dalamnya undang-undang anti-terorisme, tujuan akhirnya adalah selain perlindungan sosial untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, juga “to bring justice to the peoples.

Hukum Acara Pidana mengharapkan terlaksananya prinsip “due process of law, Tobias dan Petersen, mengatakan bahwa “due process of law merupakan constitutional guaranty…..that no person will be deprived of life, liberty of property for reasons that are arbitrary,….protect the citizen against arbitrary actions of the government.” Oleh karena itu unsur proses hukum yang baik adalah hearing, councel, evidence, fair and impartial court.       Kemudian yang harus menjadi catatan penting dalam penegakan undang-undang anti terorisme, terutama dalam rangka due process of law serta penghormatan dan pemenuhan hak dan kebebasan asasi manusia (tersangka/terdakwa), maka mutlak bantuan hukum harus menjadi prioritas utama, mengingat bantuan hukum ini merupakan hak yang fundamental bagi tersangka/terdakwa, baik dalam KUHAP maupun dalam pertemuan-pertemuan internasional selalu direkomendasikan agar setiap negara menghargai hak bantuan hukum ini.

Oleh karena itu adanya perbaikan dari sudut substansi perundangan anti-terorisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003, harus segera dilakukan, mengingat kebutuhan dalam melakukan perbaikan sudah cukup beralasan.  Sehingga ke depan seyogyanya diperhatikan beberapa kelemahan sebagaimana dikemukakan di atas. Kemudian dalam melakukan perbaikan itu juga harus diperhatikan persoalan-persoalan sebagaimana dikatakan oleh Muladi, bahwa dalam membuat suatu undang-undang yang baik dituntut pula untuk memenuhi pelbagai persyaratan seperti : memperhatikan atau menyerap aspirasi suprastruktural, dapat mengartikulasikan aspirasi infrastruktural, mengikut sertakan pandangan-pandangan kepakaran, memperhatikan atau mengadopsi kecenderungan-kecenderungan internasional yang diakui oleh masyarakat beradab serta cocok dengan budaya dan kepribadian bangsa, dapat menjaga sinkronisasi baik vertikal mapun horizontal, serta dapat menjaga keselarasan keserasian dan keseimbangan antara pemikiran penertiban dengan pemikiran pengaturan di satu sisi dan antara prinsip kebebasan dengan prinsip keamanan di sisi lainnya.

Apabila kita telaah lebih jauh perihal perundangan anti-terorisme yang saat ini berlaku, terutama dari segi substansinya, maka akan membawa kita pada kesimpulan bahwa kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan terorisme, selain akan ditemui banyaknya kelemahan, kebijakan penanggulangnya dianggap belum cukup, sehingga harus dibarengi dengan kebijakan-kebijakan sosial lainnya yang berupa menghilangkan faktor-faktor yang menimbulkan perilaku kejahatan tersebut, yaitu berupa persamaan derajat, menghormati kedaulatan negara masing-masing, menghilangkan penindasan dan ketimpangan-ketimpangan oleh suatu bangsa kepada bangsa lain. Atau dengan kata lain harus menghilangkan faktor-faktor yang bisa menimbulkan ketidakadilan secara nasional dan global.

Ini berarti untuk efekifitas dalam menanggulangi kejahatan terorisme, selain harus ada perbaikan dari sudut kebijakan penalnya, juga seyogyanya dicari akar persoalan yang menyebabkan maraknya aksi-aksi terorisme, yang berupa perbaikan-perbaikan yang menjadi kondisi kriminogen. Atau dengan kata lain agar penanggulangan aksi-aksi terorisme bisa dikendalikan, maka sarana penal tersebut harus diimbangi dengan sarana-sarana non penal, sebab sarana non penal ini kedudukannya lebih strategis.

Dengan demikian penggunaan sarana penal atau media hukum pidana terhadap kejahatan terorisme, harus dilihat sebagai regulasi atau berupa kebijakan jangka panjang yang mengatur secara komprehensif. Karena itu seyogyanya memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1.      Bahwa deregulasi untuk menanggulangi kejahatan terorisme sebaiknya diintegrasikan ke dalam Rancangan KUHP nasional dan tidak diatur dalam bentuk peraturan perundangan yang berdiri sendiri di luar KUHP nasional;

2.      Perlu pengkajian lebih dalam apakah pengintegrasian ke dalam Rancangan KUHP nasional ini masuk dalam bab tersendiri ataukah dengan cara menambah dan mengubah pasal-pasal dalam sistematika Rancangan KUHP nasional;

3.      Pengaturan ini harus dilakukan dengan cermat, hemat dan tidak mengubah asas-asas yang berlaku secara umum serta dirumuskan secara tepat agar jangkauannya terbatas, hal tersebut dilakukan agar dapat mencegah akibat-akibat sampingan seperti pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan asasi manusia, khususnya hak tersangka/terdakwa terorisme;

4.      Harus dibentuk sebuah wadah atau komite khusus yang bertugas mengkaji dan mempelajari secara sepesifik persoalan-persoalan yang terkait dengan terorisme, serta seberapa jauh sarana hukum pidana dapat dan harus digunakan untuk menghambat kejahatan terorisme, dengan tanpa melakukan diskriminasi dalam penegakan hukumnya yang didasarkan baik karena ras, suku, agama, keyakinan politik.

Namun demikian disamping program kebijakan jangka panjang, tidak kalah pentingnya juga membuat suatu kebijakan jangka pendek berupa rencana aksi nasional dan global (national and global action of plan) dalam rangka menanggulangi kejahatan terorisme yang meliputi :

1.      Kerjasama internasional dalam tahap investigasi, penuntutan, dan proses peradilan;

2.      Penggunaan instrumen internasional termasuk konvensi-konvensi internasional yang pernah dicapai untuk menanggulangi maraknya kejahatan terorisme;

3.      Atau mengupayakan pengaturan perundang-undangan dan penyusunan tindakan lain.

Kompleksitas penyebab aksi terorisme dan resiko besar yang dapat ditimbulkannya bagi kehidupan masyarakat, harus menjadi bahan pertimbangan, sehingga negara harus merumuskan kebijakan penanggulangnnya (Politik Kriminal). Secara komprehensif ada tiga bidang kebijakan yang diperlukan dalam penanggulangan tindak pidana terorisme, yaitu mencakup :

1.      Anti-terorisme, yakni merupakan segenap kebijakan yang dimaksud untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi tumbuhnya akar-akar terorisme. Sebagai kebijakan preventif, anti-terorisme memerlukan komprehensi dimensi-dimensi sosial, ekonomi, kultural, politik, dan hubungan luar negeri. Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan terorisme semestinya merupakan bagian integral dari kebijakan perlindungan masyarakat yang pada dasarnya merupakan kebijakan pembangunan nasional, demi tercapinya kesejahteraan masyarakat

2.      Bahwa dalam membuat suatu kebijakan penanggulangan kejahatan terorisme yang baik, tidak boleh terjadi overkriminalisasi sehingga justru akan mengakibatkan ekses negatif seperti munculnya foktor-foktor kriminogen dan viktimogen yang potensial. 

3.      Kontra-terorisme, yakni merupakan segenap instrumen yang menitikberatkan pada aspek penindakan terhadap terorisme dan aksi-aksi teror. Sebagai kebijakan yang bersifat koersif, kontra-terorisme menuntut profesionalitas dan proporsionalitas instrumen penegak hukum.

Menurut penulis, dalam menjalankan kebijakan hukum (legal policy) guna memerangi atau memberantas tindak pidana terorisme sebagaimana tersebut di atas, harus senantiasa memperhatikan dan berpedoman pada beberapa prinsip penting antara lain :

1.      Perlindungan kebebasan sipil, penghargaan dan perlindungan hak-hak individu. Pembatasan terhadap hak-hak individu hanya dapat dilakukan terhadap hak yang tidak termasuk ke dalam non-derogable rights, itupun harus dalam jangka waktu sementara dan untuk kepentingan publik;

2.      Pembatasan dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan oleh negara (abuse of power). Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan sepenuhnya prinsip cheks and balances dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan, spesialisasi fungsi institusi pelaksana kebijakan, dan tersedianya mekanisme transparansi dan akuntabilitas publik bagi pelaksanaan kebijakan. Negara mempunyai kewajiban untuk tetap mengutamakan kepentingan publik;

3.      Pemberantasan atau penanggulangan tindak pidana terorisme seyogyanya dilakukan dengan mengupayakan prosedur yang layak, yakni yang tidak mengorbankan atau mengabaikan nilai-nilai hak  dan kebebasan asasi manusia di satu sisi, serta menjamin tidak adanya kesewenangan di sisi lainnya, sebab jika itu terjadi pada prinsipnya merupakan bentuk kelaliman yang diorganisir;

4.      Tidak ada satupun instrumen yang membenarkan atau membolehkan penegakan hukum atas suatu undang-undang dengan cara melanggar hak dan kebebasan asasi manusia. Dalam hal ini aparatur penegak hukum seyogyanya memperhatikan betul asas keseimbangan, antara penegakan hukum berdasarkan prinsip keamanan (securities principle) disatu sisi dan prinsip penghormatan hak dan kebebasan asasi (liberties principle) di sisi lainnya.

 

Dengan adanya undang-undang anti-terorisme sebenarnya merupakan kerugian bagi bangsa Indonesia. Maraknya aksi-aksi terorisme yang merupakan kejahatan bersifat ”menimbulkan teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas” sehingga tidak dapat di-cover oleh perundang-undangan yang ada, hal ini tidaklah dapat dijadikan alasan sehingga harus dikeluarkannya undang-undang secara khusus tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Hal ini dikarenakan jenis-jenis tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pemberantasan terorisme sudah ter-cover dalam KUHP, tinggallah kewenangan hakim untuk memberikan hukuman pelaku secara maksimal melalui dasar pertimbangan yang ”memberatkan” akibat ”menimbulkan teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas” tersebut. Oleh karena itu, selain undang-undang anti-terorisme mengabaikan prinsip ”in dubio proreo” dalam hukum pidana, satu hal yang merugikan adalah bahwa sebelumnya kita tidak memiliki teroris, tetapi dengan adanya undang-undang anti-terorisme dengan mempidana beberapa pelaku terorisme, kita telah memiliki teroris.

 

C.    Kualifikasi Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan yang Cukup dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Terorisme

Dalam tahap investigasi atau penyelidikan tindak pidana terorisme, salah satu bukti permulaan yang cukup dapat berasal dari laporan intelijen. Padahal laporan intelijen dibuat “tidak berdasarkan fakta” melainkan hasil analisa dari dinas intelijen. Persoalannya adalah dapatkah atau bolehkah hasil analisis intelijen yang merupakan hasil progress report dijadikan sebagai bukti permulaan dalam arti “sebagai bukti yuridis telah terjadi suatu tindak pidana” atau sebagaimana dikemukakan KUHAP bahwa bukti permulaan itu adalah bukti yang dapat digunakan untuk menduga adanya tindak pidana, bukan hasil pemikiran atau analisis suatu institusi. Persoalan lainnya akan muncul tentang pengetahuan hakim berkenaan dengan data intelijen, indikator apa yang menetapkan bahwa suau laporan intelijen bisa dipakai sebagai bukti permulaan untuk menduga adanya suatu tindak pidana. Kemudian bagaimana dengan alat bukti yang dapat dipakai dipersidangan, bisakah alat bukti yang terdapat dalam undang-undang anti terorisme ini termasuk alat bukti yang ada dalam ruang lingkup KUHAP, terutama menyangkut alat elektronik, sebab dalam Pasal 184 justru hanya menyebutkan secara limitatif. Hal ini sangat menarik untuk kita cermati.

 

1.       Pengertian Laporan Intelijen Sebagai Bukti Permulaan

Pada bagian ini, akan dibahas laporan intelijen dalam kaitannya dengan bukti permulaan (probable cause). Oleh karena itu perlu diketahui terlebih dahulu ketentuan dalam undang-undang dan sumber lain di luar undang-undang yang berisi ketentuan berkaitan dengan bukti permulaan, sehingga dapat berguna sebagai rujukan untuk memahami apa yang dimaksud dengan bukti permulaan itu sendiri. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain :

a.       Menurut ketentuan undang-undang.

Pasal 1 Butir 14 KUHAP, menyatakan bahwa :

“Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

 

Berdasarkan ketentuan tersebut, seseorang baru dapat diduga sebagai tersangka sehingga dapat dilakukan penangkapan atas dirinya, berdasarkan adanya bukti permulaan. Penyidik harus terlebih dahulu mengumpulkan bukti permulaan, untuk kemudian dapat menjatuhkan dugaan terhadap seseorang tersebut. Artinya, harus terdapat cukup bukti dan fakta yang diperoleh dari informasi yang sangat dapat dipercaya untuk menduga seseorang sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan bukti bukan sekedar konklusi. Mengenai apakah bukti permulaan yang cukup itu, pembentuk undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik.

Pasal 17 KUHAP, menyatakan bahwa :

“Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”

 

Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut, maka perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Sebelum akhirnya mencari lebih lanjut  mengenai pengertian bukti permulaan, sebaiknya dilakukan penafsiran secara otentik, yang artinya penafsiran suatu undang-undang sesuai dengan penjelasan-penjelasan atau peraturan-peraturan yang terdapat dalam undang-undang itu sendiri. Berdasarkan Penjelasan Pasal 17 KUHAP, yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya suatu tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 Butir 14 KUHAP. Pengertian ini tidak jelas karena hanya merupakan pengulangan kata bukti permulaan tanpa menjelaskan arti kata tersebut. Menurut Darwan Prints, dari ketentuan Pasal 17 KUHAP, bukti permulaan dapat diartikan sebagai bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya suatu tindak pidana. Jika pengertian ketentuan penjelasan Pasal 17 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 1 Butir 14 KUHAP, maka bukti permulaan dapat diartikan sebagai suatu nilai bukti yang telah mampu atau telah selaras untuk menduga seseorang sebagai tersangka, di mana bukti yang diperoleh penyidik telah bersesuaian dengan keadaan yang dijumpai pada seseorang tersebut.

Menurut rumusan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pengertian bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana terorisme. Sebagaimana pengertian yang dirumuskan dalam KUHAP, perumusan tersebut juga tidak jelas karena merupakan pengulangan kata bukti permulaan, tanpa menjelaskan apa sebenarnya pengertian kata tersebut.

b.      Doktrin, Yurisprudensi dan sumber-sumber lain di luar undang-undang.

Menurut Lamintang, dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai bukti-bukti minimal, berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan.”

Menurut Yahya Harahap, yang paling rasional adalah bila perkataan “permulaan” dibuang, sehingga akan didapat pengertian serupa dengan pengertian yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana Amerika Serikat, yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindak penangkapan atau penahanan harus didasarkan pada affidavit dan testimony, yakni harus didasarkan pada adanya bukti dan kesaksian. Jika ditelaah lebih lanjut uraian di atas, bukti permulaan yang cukup menurut Hukum Acara Pidana Amerika Serikat, mempunyai kemiripan pengertian dengan rumusan ketentuan Pasal 183 KUHAP, yang menganut prinsip batas minimal pembuktian, yaitu sekurangnya 2 (dua) alat bukti, bisa terdiri dari 2 orang saksi, dan bukti lain.

Menurut Pengadilan Negeri Sidikalang-Sumatera Utara, melalui penetapan No.4/Pred-Sdk/1982 tanggal 14 Desember 1982, bukti permulaan yang cukup haruslah mengenai alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP, bukan yang lain-lainnya seperti laporan polisi dan lainnya. Menurut yurisprudensi ini, untuk menentukan bahwa bukti permulaan yang cukup tidak merupakan dan tidak termasuk salah satu alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, namun lebih merupakan informasi untuk mengusut daripada sebagai alat bukti yang memberi dugaan keras telah melakukan tindak pidana.

Menurut Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No. Pol. SKEP/04/I/1982 tanggal 18 Februari 1982, bahwa bukti permulaan yang cukup adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam 2 (dua) di antara laporan polisi, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di Tempat Kejadian Perkara (TKP), laporan hasil penyelidikan, keterangan saksi/saksi ahli dan barang bukti, yang setelah disimpulkan menunjukkan telah terjadi tindak pidana kejahatan.

Menurut Rapat Kerja Mahkamah Agung-Kehakiman-Kejaksaan-Polisi (MAKEHJAPOL) I tanggal 21 Maret 1984, bahwa bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal laporan polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya.

Mengenai pengertian bukti permulaan menurut MAHKEJAPOL ini, telah dipakai sebagai dasar pengertian oleh POLRI dalam melakukan penangkapan terhadap pimpinan Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Abubakar Ba’asyir. Jadi dalam kasus tersebut, POLRI menggunakan laporan intelijen dan keterangan saksi, sebagai bukti permulaan untuk melakukan penangkapan. Menurut Tim Penasihat Hukum Abubakar Ba’asyir dan menurut pendapat beberapa ahli hukum lainnya, bahwa bukti permulaan yang didasarkan Keputusan MAHKEJAPOL bukan merupakan dasar hukum, karena berdasarkan tata urutan perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana diatur  dalam Ketetapan MPR-RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, tidaklah mencantumkan Keputusan MAHKEJAPOL sebagai dasar hukum. Sedangkan menurut ketua Tim Pembela POLRI, Komisaris Besar Polisi Soeyitno menyatakan bahwa MAHKEJAPOL bisa dijadikan dasar hukum apabila dasar hukum lain mengalami kebuntuan. Mengenai hal ini, Loebby Loqman menjelaskan bahwa MAHKEJAPOL dibuat  untuk mencari kesepakatan di antara para pelaksana KUHAP, dengan jalan memberikan pengertian terhadap hal-hal yang dirasakan kurang jelas dalam pasal yang termuat dalam KUHAP. Padahal, untuk mencari kejelasan mengenai ketentuan dalam KUHAP, seharusnya para pelaksana peradilan pidana mengutamakan penafsiran sejarah, baik sejarah hukum maupun sejarah undang-undang. Bukan dengan cara menafsirkan sesuai kepentingan lembaga masing-masing.

Jika dilihat mengenai penggunaan istilah hukum bukti permulaan antara KUHAP dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, adalah berbeda. Perbedaan pengertian antara kedua undang-undang tersebut adalah bahwa dalam KUHAP, bukti permulaan yang cukup adalah sebagai syarat untuk melakukan tindakan upaya paksa penangkapan, dan bersumber dari laporan atau pengaduan ditambah dengan satu dari keterangan terdakwa, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di tempat kejadian perkara (TKP) atau barang bukti, sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bukti permulaan yang cukup sebagai syarat untuk melakukan penyidikan, bersumber dari suatu yang dapat diperoleh dengan mempergunakan laporan intelijen.

Ketidakpastian pengertian mengenai bukti permulaan ini melahirkan berbagai penafsiran yang berbeda-beda, dan ini menjadi berbahaya terutama jika penafsiran digunakan untuk melindungi suatu kepentingan pihak tertentu, sehingga lebih lanjut menyebabkan ketidakpastian hukum. Untuk memperoleh pengertian yang paling mendekati kebenaran, atau setidaknya tidak berpihak pada kepentingan pihak-pihak tertentu, maka dapat dilakukan bermacam bentuk penafsiran seperti yang terdapat dalam teori hukum pidana. Dalam hal ini, untuk memperoleh pengertian tentang bukti permulaan, dapat dicari pengertian melalui penafsiran logis berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut.

Dalam penelitian hukum ini, penulis melihat bahwa pengertian bukti permulaan yang lebih banyak dipakai dan cukup mempunyai dasar pemikiran yang kuat berdasarkan penafsiran logis, sebagaimana penafsiran logis yang dilakukan oleh Yahya Harahap yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil pengertian bukti permulaan merupakan batas minimum pembuktian yang dapat diajukan ke muka persidangan sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP dengan alat bukti seperti ditentukan Pasal 184 Ayat 1 KUHAP.

Di tengah kesimpangsiuran pengertian bukti permulaan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menentukan laporan intelijen sebagai bukti permulaan. Sama halnya dengan bukti permulaan, maka mengenai laporan intelijen, sejauh inipun, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengertiannya, selain Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Pasal 26 Ayat 1, dinyatakan bahwa untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.

Jika dipakai pengertian berdasarkan penafsiran logis seperti yang dilakukan oleh Yahya Harahap pada Pasal 183 dan 184 Ayat 1 KUHAP, maka laporan intelijen yang diatur Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan penyimpangan dari ketentuan dalam KUHAP tersebut, karena laporan intelijen tidak termasuk dalam satu pun dari 5 (lima) alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sehingga, lebih lanjut dapat dipahami bahwa karena laporan intelijen yang diatur dalam Pasal 26 (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bukanlah merupakan bukti permulaan. Artinya, pada dasarnya ketentuan pasal tersebut merupakan penyimpangan dari asas umum hukum acara pidana. Namun, pembentuk undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dalam mensosialisasikan undang-undang tersebut, mempergunakan alasan bahwa karena sifat yang khusus dan luar biasa dari kasus tindak pidana terorisme, maka pengaturan khusus yang dituangkan dalam undang-undang khusus, dimungkinkan, sehingga laporan intelijen sebagai bukti permulaan dapat diberlakukan dalam kasus tindak pidana terorisme.

Perlu diingat bahwa untuk mengkaji pengertian laporan intelijen sebagai bukti permulaan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, perlu dilihat pula ketentuan dalam KUHAP. Pada hakekatnya laporan intelijen mempunyai kedudukan yang sama dengan informasi/keterangan lain yang diperlukan oleh penyelidik untuk menentukan apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Butir 5 KUHAP. Nilai kebenaran serta keakuratan laporan intelijen berbeda-beda karena terdapat beberapa kualifikasi dan masih memerlukan kajian/pengujian tentang kebenaran dari laporan tersebut, oleh karena itu laporan intelijen hanya dapat dipakai sebagai informasi/keterangan yang diperlukan oleh penyelidik sebagaimana Pasal 5 ayat 1 huruf a angka 2 KUHAP. Karena laporan intelijen hanya berperan sebagai keterangan untuk menentukan apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan dalam proses penyelidikan, maka laporan intelijen tidak mempunyai nilai sebagai bukti dalam tahap penyidikan. Artinya, penggunaan laporan intelijen tidak boleh melebihi porsinya sebagai informasi yang digunakan untuk melakukan proses penyelidikan yang hasilnya digunakan untuk melakukan penyidikan. Dalam prakteknya seringkali laporan intelijen justru langsung ditindaklanjuti dengan tindakan konkret misalnya dengan melakukan penangkapan.

Jika laporan intelijen dianggap sebagai bukti permulaan, masih terdapat pertanyaan, laporan intelijen seperti apakah yang layak dan valid untuk dijadikan sebagai bukti permulaan. Mengenai apakah pengertian laporan intelijen itu, berikut ketentuan undang-undang dan pendapat beberapa ahli hukum :

a.       Menurut Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang dimaksud dengan laporan intelijen adalah laporan yang didasarkan atas fakta-fakta yang memuat :

1)      Nama dan identitas orang-orang yang disangka melakukan atau terlibat dalam tindak pidana terorisme;

2)      Tempat dan tanggal kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang tersebut;

3)      Keterkaitan orang-orang yang disangka tersebut dengan pihak-pihak lain.

b.      Menurut penjelasan Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hanya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan laporan intelijen adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Berdasarkan ketentuan tersebut, tidak dijelaskan mengenai klasifikasi laporan intelijen yang manakah dari kualifikasi di atas yang bisa diterapkan sebagai bukti permulaan untuk melakukan penahanan. Dalam ketentuan penjelasan Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, hanya dijelaskan bahwa laporan intelijen dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Departemen Keuangan, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Tentara Nasional Indonesia (TNI-ABRI), Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara (BIN) dan instansi lain yang terkait.

c.       Menurut Romli Atmasasmita, Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Penyusun Rancangan Undang-Undang Terorisme, laporan intelijen adalah fakta-fakta, peristiwa atau nama, bukan pendapat atau analisa. Laporan intelijen yang dapat dijadikan sebagai bukti permulaan adalah laporan intelijen yang telah diotentifikasi oleh Badan Intelijen Negara (BIN). Laporan intelijen itu diperbaiki sedemikian rupa sehingga lebih jelas bagi pelaksana-pelaksana di lapangan bahwa laporan intelijen itu sebagai bukti permulaan sebagai awal untuk dimulainya penyelidikan kalau polisi mau menggunakan laporan intelijen tersebut. Selain itu, perintah pengadilan kepada polisi untuk melakukan penyelidikan adalah penetapan bukan vonis. Tidak dijelaskan mengenai dasar pemikiran mengapa suatu laporan intelijen harus mendapat otentifikasi dari Badan Intelijen Negara (BIN), padahal dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak disyaratkan demikian.

d.      Menurut Yusril Ihza Mahendra, yang dimaksud dengan laporan intelijen adalah laporan dari satu pintu, yakni Badan Intelijen Negara (BIN), dengan ketentuan yakni tidak semua laporan BIN dapat menjadi bukti permulaan, melainkan hanya kualifikasi A1 dan A2 yang telah diotentifikasi oleh Ketua Pengadilan. Dari pernyataan tersebut, dapat diartikan bahwa laporan intelijen yang berasal dari instansi selain Badan Intelijen Negara (BIN), tidak dapat disebut sebagai laporan intelijen, kecuali jika laporan dari instansi lain tersebut memenuhi kualifikasi A1 atau A2 dan diserahkan kepada Badan Intelijen Negara (BIN), selanjutnya diotentifikasikan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Jadi jika dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka laporan intelijen yang dapat bersumber dari berbagai instansi seperti diatur pada Pasal 26, harus melalui BIN sebelum masuk dalam mekanisme hearing di Pengadilan Negeri.

e.       Menurut Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, satu-satunya sumber laporan intelijen yang akan dipertimbangkan sebagai bukti permulaan oleh Pengadilan Negeri adalah Badan Intelijen Negara (BIN), dimana BIN dapat memperoleh laporan tersebut dari berbagai pihak.

Berdasarkan pengertian dari ketentuan undang-undang serta pendapat beberapa ahli hukum, dapat diambil suatu pemahaman bahwa laporan intelijen adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional bersumber dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Departemen Keuangan, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), Tentara Nasional Indonesia (TNI-ABRI), Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Instansi lain yang terkait, berupa laporan intelijen dengan kualifikasi A1 dan A2 yang telah diotentifikasi oleh BIN.

            Pemberlakuan laporan intelijen sebagai bukti permulaan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, mendapat banyak tanggapan dari beberapa pihak, antara lain :

a.       Menurut akademisi Saldi Isra, laporan intelijen tidak sejalan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa tidak seorangpun dihadapkan di pengadilan tanpa alat pembuktian yang sah menurut undang-undang.

b.      Menurut Rachland Nashidik, Direktur The Indonesian Human Rights Monitor, bahwa pemberlakuan ketentuan yang mengizinkan laporan intelijen sebagai bukti permulaan bagi kegiatan pro justicia membuka peluang bagi penyalahgunaan wewenang badan intelijen bagi kepentingan politik pemerintah karena mengijinkan intervensi badan intelijen non judicial ke dalam kehidupan penegakan hukum.

c.       Menurut penelitian Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), bahwa pengertian laporan intelijen dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah sangat luas dan multi interpretasi, sehingga akan mudah direkayasa serta di manipulasi. Pendefenisian yang sangat kabur tidak dapat dijadikan acuan operasional.

d.      Menurut Todung Mulya Lubis, bahwa tindakan aparat penegak hukum yang dilakukan berdasarkan pada laporan intelijen semata, mengancam hak individual dari orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme.

e.       Menurut Indriyanto Seno Adji, intelligence evidence tercakup dalam pengertian crime evidence, namun tidak selalu merupakan crime evidence. Intelligence evidence merupakan abstraksi data yang seringkali tidak membutuhkan fakta hukum dan pembuktian untuk merumuskan suatu perbuatan sebagai dasar adanya indikasi tindak pidana, sedangkan crime evidence memerlukan suatu fakta hukum yang konkret.

Selain itu, ketentuan tentang laporan intelijen pada Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus berkaitan dengan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang mengatur ketentuan alat bukti dalam perkara terorisme, dimana ketentuan tersebut masih mengacu kepada ketentuan KUHAP. Oleh karena itu, laporan intelijen harus diartikan sebagai supporting evidence saja dari alat bukti yang cukup, yaitu 2 (dua) alat bukti minimal sebagaimana disyaratkan Pasal 21 KUHAP jo. Pasal 14 KUHAP.

            Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa pemberlakuan ketentuan mengenai laporan intelijen sebagai bukti permulaan ini, terdapat banyak pendapat dari para ahli hukum (doktrin) yang memiliki bermacam penafsiran pengertian yang berbeda-beda sehingga menimbulkan pro dan kontra dalam pelaksanaannya. Jika dalam pelaksanaan masih terjadi kesimpangsiuran akibat silang pendapat, maka hal ini dapat berdampak buruk. Oleh karena itu dari berbagai doktrin tersebut dapat diambil intisari, kemudian dimasukkan ke dalam Peraturan Pemerintah, sehingga pada saat pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak lagi terdapat pertentangan dan lebih lanjut dapat dicapai kepastian hukum, keseimbangan kepentingan publik serta Hak Asasi Manusia dapat lebih terjamin.

 

2.      Syarat Sahnya Laporan Intelijen Sebagai Bukti Permulaan

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tidak menjelaskan mengenai persyaratan laporan intelijen seperti apa yang dianggap sah sebagai bukti permulaan. Dalam ketentuan Pasal 26, hanya menjelaskan tentang laporan dari instansi mana saja yang dapat dipakai sebagai laporan intelijen. Pada prakteknya, aparat penegak hukum menentukan sendiri kualifikasi laporan intelijen yang dapat dipakai sebagai bukti permulaan, yaitu laporan intelijen dengan kualifikasi A1 dan A2.

Mengacu pada ketentuan yang diatur pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP, seperti telah diuraikan di atas, maka laporan intelijen dengan kualifikasi A1 dan A2 sekalipun, yang merupakan laporan dianggap paling akurat dan sangat dapat dipercaya, tidak termasuk dalam satupun dari alat bukti yang sah. Sehingga laporan intelijen, tidak dapat dijadikan sebagai bukti permulaan. Namun mengenai laporan intelijen kualifikasi A1 dan A2 tersebut, dalam kasus tindak pidana terorisme dapat dijadikan sebagai bukti permulaan bila telah melalui proses/mekanisme hearing, yang dilakukan secara tertutup selama 3 hari, selanjutnya dituangkan dalam Penetapan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri, yang selanjutnya memerintahkan untuk dilakukan penyidikan.

 

3.      Mekanisme Hearing Untuk Menentukan Laporan Intelijen Sebagai Bukti Permulaan dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Terorisme

Untuk menentukan apakah suatu laporan intelijen dapat dijadikan sebagai bukti permulaan, maka Pasal 26 Ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menentukan suatu mekanisme atau proses pemeriksaan yang harus dilakukan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari dan dalam pemeriksaan tersebut ditetapkan bahwa laporan intelijen yang telah diperiksa tersebut dapat dinyatakan sebagai bukti permulaan adanya bukti permulaan yang cukup, selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilakukannya penyidikan. Dalam Penjelasan Pasal 26 Ayat 3 RUU Pemberantasan Terorisme, mekanisme tersebut dinamakan sebagai lembaga “hearing”. Pemeriksaan tersebut dimaksudkan untuk melakukan klarifikasi dan verifikasi laporan intelijen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menyatakan bahwa untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik “dapat” menggunakan setiap laporan intelijen. Berdasarkan ketentuan tersebut diperoleh pengertian bahwa proses pemeriksaan tersebut dapat dilakukan terhadap dokumen laporan intelijen maupun dokumen lain selain laporan intelijen. Dokumen selain laporan intelijen dapat berupa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) keterangan saksi, BAP keterangan ahli, BAP keterangan tersangka atau terdakwa, BAP barang bukti, BAP di Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Selanjutnya, dalam mekanisme tersebut, tidak dijelaskan bagaimana seandainya laporan intelijen tersebut ditolak sebagai bukti permulaan oleh Ketua/Waki Ketua Pengadilan negeri, tetapi Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada saat itu, menyatakan bahwa Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri mungkin saja menolak laporan intelijen yang disampaikan kepadanya untuk awal penyelidikan. Jika laporan intelijen tersebut ditolak, maka laporan intelijen tersebut tetap disimpan menjadi rahasia negara. Dalam hal ini penyidik tidak dapat melanjutkan untuk melakukan penyidikan, kecuali terdapat bukti atau data selain laporan intelijen yang dapat dipakai untuk memperkuat suatu fakta sehingga dibutuhkan untuk dilakukan penyidikan.

Mengingat makna terorisme ini merupakan isu yang sensitif terhadap pelanggaran HAM, menurut Indriyanto Seno Adji, peran Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri terhadap laporan intelijen sebagai supporting evidence lebih akseptabel sifatnya karena institusi peradilan sebagai examinating judge menjadi fungsi kontrol untuk menentukan absah tidaknya laporan intelijen tersebut sebagai bukti pendukung dimulainya penyidikan kasus terorisme dan fungsi peradilan ini untuk menghindari suatu penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang dapat dilakukan oleh para aparat penegak hukum atas penyelesaian kasus terorisme. Sedangkan menurut tim The Indonesian Human Right Monitor, mekanisme ini merupakan bagian dari mekanisme pre trial yang diadopsi dari sistem Anglo Saxon tanpa mengadopsi sistem peradilannya, sehingga justru dapat meniadakan hak-hak untuk mengajukan keberatan serta merupakan kerangka mengembangkan kekebalan hukum (impunity) intelijen.

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disyaratkan bahwa mekanisme hearing dilakukan secara tertutup. Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dalam pemeriksaan tertutup itu, bagaimana cara hakim dalam menimbang sebuah laporan intelijen untuk bisa dinyatakan sebagai bukti permulaan yang cukup tanpa kehadiran orang yang diduga atau kuasa hukum dari orang yang diduga tersebut, membuat hakim dalam keputusannya, tidak mempunyai opini pembanding dari laporan intelijen yang diperiksanya.

Menurut penulis, pemeriksaan di pengadilan tersebut dapat dilakukan secara tertutup tanpa dihadiri oleh masyarakat, mengingat kerahasiaan sumber dari laporan intelijen yang harus dilindungi. Namun bahwa suatu laporan intelijen telah melalui proses hearing sebelum dinyatakan sebagai bukti permulaan, harus diketahui benar oleh masyarakat (khususnya yang berkepentingan langsung) sehingga masyarakat mengetahui suatu laporan intelijen adalah benar telah melalui mekanisme hearing sebelum kemudian dinyatakan sebagai bukti permulaan. Hasil dari hearing yang sudah dilakukan pun harus dinyatakan secara terbuka. Hal ini merupakan kontrol sosial dari masyarakat sehingga penegak hukum tidak dapat sekehendak hatinya dalam menetapkan suatu laporan intelijen sebagai bukti permulaan tanpa melalui proses yang telah ditentukan oleh undang-undang. Demikian pula, untuk menjaga objektivitas, maka walaupun pemeriksaan dilaksanakan secara tertutup, namun diusahakan untuk tetap memperhatikan opini dari masyarakat.

Perlu diingat bahwa penentuan suatu laporan intelijen sebagai bukti permulaan, bukanlah suatu hal yang sepele, karena dari penetapan Hakim inilah berpangkal dilakukannya suatu penyidikan yang dilakukan dengan melaksanakan penangkapan terhadap seorang tersangka, dan ini berarti menyangkut HAM dari si tersangka tersebut. Oleh karena itu, untuk persoalan yang sedemikian pentingnya, sudah selayaknya kalau bukan hanya seorang hakim yang menetapkan suatu laporan intelijen sebagai bukti permulaan, melainkan majelis hakim yang menetapkannya, bahkan bila perlu dihadirkan lebih dari satu orang ahli di bidang intelijen.

Selain itu, menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), karena masih merupakan hal baru untuk dilaksanakan, saat ini Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri tidak terlatih untuk memeriksa kelayakan suatu laporan intelijen. Maka untuk mengatasi keadaaan tersebut, dibutuhkan parameter yang jelas tentang laporan intelijen seperti apa yang bisa memenuhi syarat untuk bisa dikualifikasikan sebagai bukti permulaan yang cukup. Parameter itupun harus dibuat secara transparan untuk menutup peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.

Hasil dari mekanisme hearing yang telah dilaksanakan, berupa penetapan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan untuk dilakukan penyidikan. Penetapan tersebut paling sedikit harus menyatakan bahwa telah dilakukan pemeriksaan terhadap dokumen laporan intelijen atau dokumen selain laporan intelijen oleh Pengadilan Negeri dan atasnya ditetapkan bahwa telah diperoleh bukti permulaan yang cukup, sehingga selanjutnya dapat dilakukan tindakan berikutnya. Hal ini penting, sehingga dapat ditentukan bahwa tindakan aparat penegak hukum yang dilakukan dapat dipastikan tidak melawan hukum. Atas penetapan tersebut harus dimungkinkan untuk dapat dilakukan pengujian mengenai kebenaran dasar-dasar penetapan.

 

D.    Penegakan Hukum dalam Proses Penyelidikan, Penyidikan dan Persidangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia yang Selaras dengan Perlindungan Terhadap Hak  Asasi Tersangka/Terdakwa

Kebijakan yang tegas dalam menghadapi tindak pidana terorisme memang diperlukan. Namun haruslah tetap diperhatikan bahwa dalam menangani sebuah tindakan terorisme yang dapat dikategorikan sebagai kondisi darurat, sikap over responsive dapat berpengaruh negatif terhadap perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM. 

Dalam kondisi darurat, beberapa langkah atau tindakan yang bersifat khusus tersebut tidak seharusnya mengabaikan apalagi melanggar norma-norma hukum dan Hak Asasi Manusia yang berlaku universal. Ada beberapa hak fundamental yang tidak dapat dikurangi atau diabaikan dalam kondisi apapun (non-derogable rights), walaupun negara dalam kondisi darurat. Sederetan hak tersebut antara lain  sebagaimana yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), terutama Pasal 4 ayat 2 termasuk di dalamnya adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara tidak manusiawi dan merendahkan martabat, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dihukum atas hukum yang berlaku surut, hak untuk diakui keberadaannya di muka hukum, serta hak atas kebebasan berpikir dan beragama. Sebagaimana pula diatur dalam hukum nasional Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, tidak terdapat satu pasal pun yang mengatur hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana tindak pidana terorisme, baik dari sisi hukum materil maupun sisi hukum formalnya. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (1) dinyatakan :

Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.

 

Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam rangka penanggulangan tindak pidana terorisme, aparatur penegak hukum terutama yang terkait dengan tugas penyelidikan dan penyidikan harus mengacu pada ketentuan hukum acara yang berlaku secara umum yaitu KUHAP. Adapun penyimpangan-penyimpangan hukum acara yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme terhadap KUHAP, maka dalam tataran asas ”lex specialis derogat legi generali” hal tersebut diperbolehkan.

Namun demikian bukan berarti berlakunya asas lex specialis tersebut dapat  menjadi alasan tidak diaturnya hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana terorisme dalam undang-undang tersebut, sekalipun dalam kondisi yang darurat serta adanya desakan internasional. Merupakan suatu kelalaian apabila pembentuk undang-undang hanya mengutamakan pada bagaimana memberantas dan menindak pelaku terorisme tanpa memikirkan pengaturan hak-hak dan kebebasan asasi tersangka, terdakwa dan terpidana. Sehingga hal tersebut akan berakibat pula pada terjadinya malpraktik dan kesewenang-wenangan dari aparatur penegak hukum.

Oleh karena dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tidak diatur secara eksplisit hukum acara yang mengatur hak-hak tersangka/terdakwa terorisme, maka demi pemenuhan hak-haknya tersebut, KUHAP sebagai ketentuan umumnya dapat diberlakukan secara penuh.

Salah satu persoalan yang marak terjadi dalam sistem peradilan pidana, termasuk dalam sistem peradilan untuk tindak pidana terorisme, adalah maraknya terjadi pelanggaran atau penyimpangan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa dalam setiap tingkatan pemeriksaan. Padahal untuk berjalannya due process of law bagi para tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme, kesadaran untuk melaksanakan proses yang benar dalam semua tingkatan baik dari tingkat penyelidikan sampai pada tingkat akhir pemeriksaan mutlak untuk dipenuhi atau dilaksanakan. Sebab jika tidak, akan berakibat pada terjadinya proses hukum yang tidak fair bagi tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme, ini berarti bahwa proses hukum yang demikian termasuk pada proses yang sewenang-wenang yang tidak mengindahkan atau menghormati keberadaan HAM tersangka yang sebenarnya juga mendapat porsi perlindungan dalam hukum dan karena itu proses hukum tersebut dapat dikategorikan pada proses hukum yang cacat formil. Seperti halnya pemaksaan yang sering terjadi pada tahap pemeriksaan di tingkat penyelidikan dan penyidikan, pihak penyidik kerap kali bertindak menggunakan cara-cara kekerasan demi mendapatkan informasi atau pengakuan dari tersangka tindak pidana terorisme. Padahal tersangka tindak pidana terorisme, seperti halnya tersangka pelaku tindak pidana lainnya, memliki hak untuk tidak dianggap bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, hak untuk tidak boleh diperlakukan diskriminatif di hadapan hukum, serta memiliki hak untuk mendapatkan akses keadilan melalui bantuan hukum dari penasihat hukumnya pada saat penyelidikan/penyidikan.  

Penyelidikan dalam kasus tindak pidana terorisme berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan terorisme atau yang diduga sebagai aksi terorisme, dilakukan untuk menentukan penyelidik, apakah terhadap peristiwa yang ditemukan itu dapat dilakukan penyelidikan atau tidak. Peyelidikan ini dapat disebut pula pengusutan, yakni merupakan usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana terorisme/aksi terorisme.

KUHAP memberikan wewenang kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal ini telah dibentuk Datasemen Khusus 88 Anti Teror (Densus 88) untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap adanya suatu tindak pidana terorisme. Pasal 5 ayat (1) KUHAP menyebutkan beberapa wewenang  penyelidik, antara lain: Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; Mencari keterangan dan barang bukti; Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab; Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan; Pemeriksaan dan penyitaan surat; Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

Sedangkan yang dimaksud penyidikan dalam kasus tindak pidana terorisme bila mengacu pada pengertiannya dalam KUHAP adalah tindakan mencari serta mengumpulkan bukti supaya tindak pidana terorisme yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menentukan dan menemukan pelakunya.

Pejabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, berdasarkan Pasal 6 ayat (1) KUHAP adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Di dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP telah diatur mengenai kewenangan penyidik, yakni : Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; Mengadakan penghentian penyidikan; mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 

Persoalan lembaga mana yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, implementasi undang-undang pemberantasan terorisme sudah tepat. Sebab dalam praktik di lapangan telah menugaskan kepada aparat khusus dari Kepolisian RI di bawah kesatuan Detasemen Khusus 88 Anti Teror. Sehingga apabila ada lembaga lain di luar aparat yang telah ditetapkan untuk melakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan terhadap orang atau kelompok organisasi yang diduga terlibat tindak pidana terorisme, maka tidak dibenarkan sama sekali.

Dalam proses penanganan perkara pidana selanjutnya adalah penangkapan. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat dugaan keras bahwa sesorang telah melakukan tindak pidana terorisme, dan dugaan itu didukung oleh bukti permulaan yang cukup guna kepentingan penyidikan dan tuntutan dan atau peradilan. Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen yang sudah diperiksa melalui penetapan Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri secara tertutup.

Dalam proses penyelidikan, ketika melakukan penangkapan, penyidik harus mengikuti tata cara, prosedur dan syarat yang diatur KUHAP seperti: memperlihatkan surat tugas; memberikan kepada tersangka Surat Perintah Penangkapan; tembusan Surat Perintah Penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan; orang yang ditangkap harus diduga keras melakukan tindak pidana; serta dugaan tersebut harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan bukan didasarkan pada laporan intelijen semata yang rentan dengan pelanggaran hak asasi seseorang atau kelompok orang.

Konsekuensi dari tidak terpenuhinya salah satu dari tata cara, prosedur, atau syarat penangkapan baik yang diatur dalam KUHAP maupun Undang-Undang Nomor 15 tentang Tindak Pidana Terorisme maka penangkapan tersebut adalah menjadi tidak sah. Makna lebih lanjut dari tindakan tersebut yakni merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang juga bisa di-praperadilankan.

Mengenai hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum, dikarenakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tidak mengaturnya, maka hak untuk mendapat bantuan hukum mengacu pada ketentuan Pasal 54, 55, 56, 57, 69, 70, 71 114 dan Pasal 115 KUHAP.

Terkait dengan alat bukti, menarik untuk diperhatikan adanya pembaharuan hukum pembuktian dalam proses hukum acara pidana di Indonesia. Dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disebutkan selain alat bukti yang diatur dalam KUHAP, juga diakui sebagai alat bukti yakni :

f.        Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

g.      Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :

(1)   tulisan, suara atau gambar;

(2)  peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;

(3)  huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

 

Kedua alat bukti tersebut di atas berdasarkan KUHAP tidak diakui sebagai alat bukti, tetapi berdasarkan doktrin ilmu hukum dikategorikan sebagai barang bukti yang berfungsi untuk data penunjang alat bukti. Hal yang sangat perlu diperhatikan oleh penyidik adalah terkait dengan bagaimana cara diperolehnya alat bukti tersebut. Dalam System Due Process of Law, alat bukti yang diperoleh secara tidak sah, menyebabkan alat bukti tersebut tidak sah untuk dipergunakan sebagai bukti di depan sidang pengadilan.

Oleh karena itu, agar jangan terjadi kesia-siaan atas perluasan alat bukti tersebut, maka prosedur dan tata cara memperoleh alat bukti harus benar-benar diperhatikan dan disesuaikan dengan ketentuan baik yang diatur dalam KUHAP maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, khususnya ketentuan pemblokiran rekening yang patut diduga dari hasil tindak pidana terorisme (Pasal 29), permintaan keterangan dari bank atau jasa keuangan (Pasal 30), membuka, memeriksa, dan menyita surat-surat serta tindakan penyadapan (Pasal 31), dan lain-lain.

Begitu pula dalam melakukan tindakan penangkapan kepada mereka yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme, seringkali aparat bertindak diluar batas yang sudah digariskan oleh hukum. Sebagaimana kita melihat drama kasus penangkapan tersangka teroris yang terjadi baru-baru ini, kasus ini menjadi polemik kemanusiaan terhadap seorang Abu Dujana yang diduga kuat oleh aparat terlibat dalam jaringan terorisme dan sejumlah peledakan bom di Indonesia. Pada saat penangkapan, aparat tidak segan-segan menembak Abu Dujana di depan keluarga dan anaknya, sebagaimana buntut dari penembakan tersebut mengakibatkan traumatik bagi seorang anak sehingga sampai menyita perhatian komisi III DPR-RI untuk turut mengungkap tabir penangkapan yang diduga keras telah melanggar hak asasi tersangka teroris. Rentetan dari peristiwa tersebut, Densus 88 menggeledah rumah Amir Syaifudin (rekan Abu Dujana yang sama-sama ditahan sebagai tersangka teroris). Penggeledahan dan penyitaan oleh aparat tersebut tanpa dihadiri oleh pihak keluarga Amir Syaifudin. Padahal, setelah dua jam kemudian pihak keluarga pulang ke rumah. Sebenarnya masih banyak lagi pelanggaran-pelanggaran yang belum terungkap yang kerap tidak mengindahkan dan menghormati hak asasi tersangka yang menjadi sasaran aparat penyidik.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah seorang anggota Tim Pengacara Muslim (TPM) di kediaman TPM Jl. Pinang I No. 9, Pondok Labu, Jakarta Selatan, bahwa masa penangkapan yang terlalu lama sebagaimana diatur dalam undang-undang terorisme yakni maksimal boleh selama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat jam), membuka peluang terjadinya kekerasan oleh aparat. Selain itu, berkenaan dengan hak tersangka untuk diberitahukan kepada pihak keluarga atupun orang terdekat terkait status dan keberadaan tersangka selama dalam masa penangkapan, seringkali hak tersebut diabaikan oleh penyidik. Sehingga jelas selama dalam masa penangkapan, tersangka tidak memiliki akses dengan dunia luar. Hal ini dimanfaatkan oleh penyidik untuk dapat memperoleh informasi yang seluas-luasnya mengenai pelaku jaringan terorisme lain, maupun untuk memaksa agar tersangka mengakui tindakan terorisme yang  telah dilakukannya.

Kerapkali upaya dari tim penasihat hukum tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme dalam pembelaan hak kliennya di lapangan, terganjal karena dihalang-halangi oleh aparat penyidik khusus.  Upaya pembelaan terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme khususnya pada tahap penangkapan dan penahanan selama 7 x 24 jam, diduga penuh dengan kesewenang-wenangan dan kekerasan baik fisik maupun psikis. Sehingga berakibat tidak saja pada adanya pengakuan dari tersangka yang berdasarkan fakta yang tidak benar (tidak memenuhi unsur kebenaran materil), juga berdampak pada traumatik yang sangat mendalam terhadap diri si tersangka terorisme. Adapun ekses selanjutnya dari traumatik yang dialami oleh tersangka terorisme mengakibatkan gangguan psikologis dan ketakutan yang begitu besar, akhirnya hanya menimbulkan sebuah pilihan bagi tersangka yakni harus mengakui pada fakta yang sebenarnya tidak  dia lakukan. Karena bila tersangka melakukan pengingkaran terhadap apa yang dikehendaki oleh penyidik, maka konsekuensinya adalah mengalami penyiksaan dan kekerasan oleh penyidik.

Salah satu upaya yang sedang dilakukan Tim Pengacara Muslim untuk kepentingan tersangka tindak pidana terorisme (dalam kasus Abu Dujana cs.), adalah dengan mem-praperadilankan aparat penyidik (Kepolisian RI). Adapun menurut penulis, alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan guna mem-praperadilankan aparat penyidik tersebut adalah :

1.      Causa yang berkenaan dengan cara-cara penangkapan yang dilakukan oleh penyidik khusus, yang biasanya dilakukan dengan cara-cara represif, tidak manusiawi dan tentunya ada banyak teknis prosedur yang tidak dijalankan, serta teknis prosedur yang dijalankan tetapi melanggar ketentuan yang berlaku;

2.      Causa selama masa penangkapan dan penahanan 7 x 24 jam, ternyata penyidik khusus tidak pernah memberikan akses, baik kepada keluarga maupun penasihat hukumnya sehubungan dengan hak tersangka untuk diberitahukan mengenai keberadaanya serta hak untuk didampingi kuasa atau penasihat hukumnya. Artinya selama masa penangkapan dan penahanan 7 x 24 jam ada ketertutupan yang sengaja dilakukan oleh aparat penyidik khusus, dengan asumsi agar interogasi dan investigasi yang secara tertutup sarat dengan pemaksaan, kekerasan fisik dan psikis, serta tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku tidak terdeteksi oleh keluarga ataupun kuasa hukumnya.

Pada praktek di lapangan tercium adanya upaya yang tersistematis dari aparat penyidik khusus untuk menutupi segala upaya penyidikan yang penuh dengan kesewenang-wenangan tersebut, agar tidak terdeteksi oleh keluarga, publik, media, ataupun penasihat hukumnya. Besar kemungkinan penangkapan dan penahanan terhadap mereka yang diduga atau dituduh pelaku terorisme oleh penyidik, hanya berdasarkan laporan intelijen dan bukan dari laporan saksi ataupun laporan lainnya yang bisa mendukung sebagai bukti permulaan yang cukup. Apalagi laporan intelijen ini, menurut hukum acara pidana khusus dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, disyaratkan harus memenuhi terlebih dahulu prinsip hearing yang kemudian ditetapkan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri. Sehingga persoalan yang muncul kemudian adalah apakah dibenarkan Densus 88 Anti Teror melakukan penangkapan dan/atau penahanan dengan dalih pada laporan intelijen yang notabene tidak memenuhi prinsip hearing dari ketua pengadilan negeri? Pertanyaan selanjutnya adalah apakah fakta-fakta tersebut dapat dijadikan sebagai alasan bagi tersangka tindak pidana terorisme untuk mem-praperadilankan penyidik Densus 88 Anti Teror?

Terkait hal tersebut, sudah pernah dibahas pada bagian sebelumnya dalam penelitian ini. Namun guna menjawab dua pertanyaan di atas secara tegas, sehubungan dengan pertanyaan pertama, menurut hemat penulis apabila mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, khususnya yang berkenaan dengan hal penangkapan dan penahanan menurut Pasal 26 ayat 1 dan ayat 2 bahwa pada intinya laporan intelijen yang digunakan sebagai bukti permulaan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka tindak pidana terorisme, harus didasarkan pada proses hearing untuk kemudian ditetapkan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan negeri setempat, serta menurut beberapa pakar bahwa laporan intelijen harus diotentifikasikan oleh Badan Intelijen Negara (BIN). Ini berarti jika aparat penyidik khusus Datasemen 88 Anti Teror melakukan penangkapan dan penahanan berdasarkan hanya pada laporan intelijen yang tidak memenuhi prinsip hearing dan tidak ditetapkan oleh Ketua/Wakil ketua pengadilan negeri, maka dianggap cacat hukum (cacat formil). Sedangkan guna menjawab persoalan yang kedua, maka menurut hemat penulis berkenaan dengan laporan intelijen yang tidak memenuhi prinsip yang harus ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri terlebih dahulu, seyogyanya bisa dijadikan alasan-alasan guna pertimbangan bagi tersangka tindak pidana terorisme atau kuasa hukumnya untuk mem-praperadilankan penyidik.

Setelah dilakukan penangkapan selama 7 x 24 jam terhadap tersangka terorisme, maka demi kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan paling lama enam bulan (Pasal 25 ayat 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003). Pada saat dilakukan penahanan terhadap tersangka/terdakwa, kerapkali kita melihat ada perlakuan diskriminatif  oleh aparat. Seperti yang diperlihatkan oleh media terhadap Abu Dujana cs., mereka dibawa dalam keadaan mata tertutup dengan tangan dan kaki di borgol rantai besi. Tindakan ini seakan-akan sengaja diperlihatkan bahwa tersangka/terdakwa terorisme merupakan “momok” yang sangat menakutkan oleh karena itu harus diperlakukan berbeda dengan tahanan lain, tujuannya memberikan “psy war” maupun efek jera kepada pelaku teroris. Menurut penulis, perlakuan tersebut terlalu berlebih-lebihan. Padahal masih ada hak yang melekat pada diri tersangka/terdakwa bahwa ia tidak dapat dikatakan bersalah terlibat dalam terorisme sebelum ada putusan pengadilan yang bersifat tetap. Selain itu, perlakuan tersebut sangat merendahkan martabat tersangka/terdakwa sebagai manusia yang dianggap “abject” (hina dina).

Hal seperti di atas, hanya sebagian gambaran yang dapat disaksikan oleh publik. Pada umumnya  kekejaman yang tidak biasa dan tidak harus berupa kekerasan fisik terjadi pada tahanan terorisme dan dilaksanakan tanpa melalui prosedur hukum.

Dalam berbagai instrumen HAM, diadakan pembedaan antara mereka yang telah divonis karena pelanggaran hukum dan mereka yang menunggu peradilan. Bagi mereka yang telah dihukum disebut narapidana (prisoner), sedangkan mereka yang menunggu peradilan disebut sebagai tahanan (detainee). Sekalipun tersangka/terdakwa dalam kondisi ditahan, bukan berarti tersangka dapat diperlakukan sewenang-wenang. Penahanan sebagai upaya paksa tidak dapat melenyapkan hak asasi yang melekat pada dirinya secara keseluruhan. KUHAP mengatur beberapa hak-hak yang dimiliki oleh tersangka selama ditahan antara lain: hak mendapat pemeriksaan yang segera dari penyidik, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan; hak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi untuk kepentingan kesehatan; hak diberitahu penahanannya kepada keluarga atau orang serumah; berhak menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau orang lain guna mendapat jaminan penangguhan penahanan atau untuk usaha mendapatkan bantuan hukum; hak untuk keperluan korespondensi; hak menerima kunjungan rohaniawan; hak atas perawatan kesehatan; hak atas fasilitas sarana olah raga dan kesenian.

Setelah seseorang atau kelompok orang tersangka tindak pidana terorisme diperiksa oleh penyidik, maka tahap selanjutnya adalah diajukannya tersangka terorisme ke sidang pengadilan untuk dilakukan penuntutan terhadapnya dan diadili atas tindak pidana terorisme yang telah ia lakukan. Pada tahap ini pelaku tindak pidana terorisme tidak lagi disebut sebagai tersangka tindak pidana terorisme, melainkan statusnya sudah berubah menjadi terdakwa tindak pidana terorisme, yaitu seseorang atau sekelompok orang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan tindak pidana terorisme.

Sebelum kita mempelajari lebih jauh lagi masalah penuntutan ini, perlu kiranya kita mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan penuntutan itu. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 7, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

Dalam proses persidangan di pengadilan, terdapat penyimpangan terhadap aturan KUHAP. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 membolehkan persidangan “in absentia” terhadap terdakwa terorisme, sebagaimana Pasal 35 ayat 1 menyebutkan :

“Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.”

 

Untuk lebih memperjelas seorang terdakwa tindak pidana terorisme yang dituntut dan diperiksa di sidang pengadilan, terhadap hak-haknya oleh undang-undang masih diberikan perlindungan. Hal ini sejalan dengan asas-asas yang dianut dalam KUHAP yang memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak-hak tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme.

Sehubungan dengan hal itu ada beberapa hak terdakwa tindak pidana terorisme yang harus dihormati dan dipenuhi yaitu:

1.      Hak untuk menerima dan mendapatkan turunan surat pelimpahan perkara dan surat dakwaan (Pasal 143 ayat 4 KUHAP);

2.      Hak menerima pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan (Pasal 145 KUHAP);

3.      Hak untuk mendapatkan penjelasan tentang apa yang didakwakan kepadanya. Hal ini dapat diajukan oleh terdakwa itu sendiri atau oleh hakim karena jabatannya, apabila terdakwa kasus tindak pidana terorisme tidak mengetahui atau tidak mengerti tentang persoalan apa yang didakwakan kepadanya sehingga ia dapat mengerti atau mengetahuinya (Pasal 51 huruf b KUHAP);

4.      Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Di dalam memberikan keterangan baik kepada penyidik maupun kepada hakim, terdakwa tindak pidana terorisme diberikan hak dan kebebasan serta dijamin kebebasannya itu oleh undang-undang (Pasal 52 KUHAP);

5.      Hak untuk mendapatkan juru bahasa/penerjemah. Seorang terdakwa terorisme mungkin saja berasal dari negara lain yang notabene tidak mengerti bahasa Indonesia, sesuai dengan karakteristik dari kejahatan terorisme itu sendiri yang lintas batas (cross border crimes). Sehingga tidak menutup kemungkinan pelaku terorisme berasal dari luar Indonesia. Oleh karena itu jika terdakwa tindak pidana terorisme berasal dari luar Indonesia dan tidak mengerti bahasa Indonesia, maka melekat padanya hak untuk mendapatkan juru bahasa/translator (Pasal 53, Pasal 177, Pasal 178 KUHAP);

6.      Hak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64 KUHAP);

7.      Hak untuk diadili dalam suatu persidangan yang fair dan tidak memihak (impartial);

8.      Hak untuk mengusahakan atau mengajukan saksi yang bisa meringankan terdakwa. Seorang terdakwa terorisme di dalam sidang pengadilan ataupun pada tahap pemeriksaan dapat mengupayakan dalam pengajuan saksi untuk memberikan keterangan yang meringankan atau menguntungkan bagi dirinya (Pasal 65, Pasal 165 ayat 4 KUHAP);

9.      Hak untuk mendapatkan surat ketetapan penghentian penuntutan. Penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana terorisme dapat dihentikan apabila ternyata berdasarkan bukti-bukti yang ada tidak cukup atau ternyata peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana terorisme atau perkaranya ditutup demi kepentingan hukum. Apabila penghentian penuntutan terjadi, maka terdakwa terorisme harus diberitahukan serta turunan surat ketetapan penghentian penuntutan wajib disampaikan kepada terdakwa atau keluarganya atau penasihat hukumnya (Pasal 140 ayat 2 huruf b dan c KUHAP);

10.  Hak untuk mengajukan keberatan terhadap kewenangan (kompetensi) pengadilan atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan. Seorang terdakwa tindak pidana terorisme melalui penasihat hukumnya dapat mengajukan keberatan terhadap wewenang suatu pengadilan yang mengadili perkaranya atau dengan alasan dakwaan tidak dapat diterima maupun denga alasan surat dakwaan harus dibatalkan (Pasal 156 ayat 1 dan 4 KUHAP);

11.  Hak untuk menghadapkan saksi. Guna menguji kebenaran materil, keterangan yang diberikan oleh saksi sehingga akan didapati kebenaran yang diharapkan. Undang-undang memberikan hak kepada terdakwa atau penasihat hukumnya untuk saling menghadapkan saksi (Pasal 164 ayat KUHAP);

12.  Hak untuk mengajukan pembelaan (pledooi) atas tuntutan pidana. Seorang terdakwa terorisme dan/atau penasehat hukumnya dapat mengajukan pembelaan setelah penuntut umum mengajukan tuntutan pidananya terhadap terdakwa. Pengajuan pembelaan harus dilakukan secara tertulis (Pasal 182 ayat 1 huruf b KUHAP);

13.  Hak terdakwa tindak pidana terorisme untuk melakukan upaya hukum selanjutnya demi mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.

Berkaitan dengan persidangan tindak pidana terorisme, persoalan-persoalan pokok yang menjadi perhatian dari sudut perlindungan hak asasi manusia terhadap pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak-hak tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme dapat difokuskan pada :

1.      Terhindarnya persidangan kasus tindak pidana terorisme dari muatan-muatan politis yang akan mengesampingkan kepentingan hukum terdakwa. Hak ini secara eksplisit diakui dalam ketentuan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, sehingga seharusnya kepentingan hukum ada di atas kepentingan politik (kekuasaan). Oleh karena itu jelas terdakwa kasus tindak pidana terorisme dalam persidangannya harus bebas dari intervensi politis;

2.      Terhindarnya terdakwa tindak pidana terorisme dari kesewenang-wenangan yang jauh dari koridor hukum acara pidana, sehingga bisa mengelabui proses penemuan kebenaran yang materil;

3.      Dengan memperhatikan hak-hak terdakwa tindak pidana terorisme maka akan menghindari terdakwa dari mekanisme sistem peradilan pidana yang menyimpang dari aturan KUHAP;

4.      Hak-hak terdakwa tindak pidana terorisme dalam persidangannya harus terhindar dari persidangan yang semu (persidangan yang direkayasa), yang disebabkan banyaknya intervensi/muatan politis dan tekanan dunia internasional. Sehingga berakibat pada peradilan yang tidak fair dan jujur, yang justru akan menghasilkan keputusan yang salah;

5.      Terhindarnya pelanggaran terhadap hak-hak terdakwa tindak pidana terorisme dari tindakan aparatur penegak hukum yang tidak kapabel, kredibel dan tidak memahami betul persoalan terorisme, sehingga akan berakibat pada pemahaman maupun penafsiran hukum yang salah. Bahkan harus terhindar dari aparatur penegak hukum yang tidak mempunyai integritas moral yang tinggi, yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum itu sendiri.

Oleh karena itu dalam menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (dalam hal ini kepolisian sebagai pintu gerbang), kiranya perlu ada perhatian khusus terhadap pemenuhan hak-hak tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme, serta bagaimana agar ada semacam treatment (perlakuan) dalam bentuk mengefektifkan kembali fungsi-fungsi pengawasan, baik yang dilakukan oleh internal kepolisian atau yang dilakukan oleh sebuah komisi (komisi kepolisian), maupun pengawasan langsung dari masyarakat sebagai social control. Sebab jika persoalan tersebut dibiarkan mengambang, maka ditakutkan ke depan akan lebih marak terjadinya tindakan kesewenang-wenangan terhadap seseorang atau kelompok orang yang diduga terlibat dalam jaringan terorisme. Kalau hal itu terjadi, maka dapat melahirkan kembali benih-benih rezim kediktatoran yang justru akan mengikis habis nilai-nilai demokratis yang saat ini sedang digalakkan. Dalam negara yang demokratis, pemenuhan dan perlindungan HAM tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme tetap harus diperhatikan. Karena sebelum ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, prinsip presumption of innocence harus dihormati dan dijunjung tinggi. Hal ini merupakan pilar utama dari negara hukum.

Perkembangan hukum pidana yang manusiawi, responsif dan cenderung tidak represif serta menghormati Hak Asasi Manusia, termasuk hak-hak tersangka/terdakwa terorisme dengan menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah, pada dasarnya menjadi ciri sebagai hukum pidana yang baik dan beradab, dan semakin tinggi derajat kemanusiawian hukum pidana dalam suatu negara menunjukan pada semakin tingginya peradaban suatu bangsa tersebut.       

 

 

 

 

 

BAB VI

PENUTUP

 

A.     Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah ditulis pada Bab I hingga Bab V maka dapat diambil kesimpulan sebagaimana berikut ini.

1.      Tiga kebijakan utama menghadapi tindak pidana terorisme yakni pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan, menjadi titik rawan sekaligus peluang dalam memberantas terorisme. Titik rawannya adalah manalaka tindakan pemberatasan tidak bersifat integral dengan kebijakan perlindungan masyarakat, sehingga pemberantasan terorisme bukan menjadi bagian dari perlindungan tetapi justru menjadi teror baru bagi masyarakat. Sedangkan peluangnya adalah pemberantasan yang terintegral dapat membantu identifikasi terkuaknya akar-akar kejahatan terorisme yang tumbuh di masyarakat tanpa harus mengurangi penghormatan terhadap HAM serta ”rule of law” yang ada.

2.      Tindakan yang over responsive dan repressive dalam pemberantasan terorisme justru memperbesar kewenangan negara tanpa secara bersama mengimbanginya dengan jaminan yang lebih kuat terhadap hak-hak warga negara. Pemerintah harus memiliki kriteria yang jelas untuk memberantas tindak pidana terorisme demi keamanan masyarakat. Dalam hal ini kebijakan legislasi harus didefenisikan dengan presisi yang cukup tinggi agar mengeliminasi ambiguitas yang justru dapat menciptakan keresahan politik. Kebijakan yang membatasi hak-hak individu hanya dapat dilakukan terhadap hak yang tidak termasuk ke dalam non-derogable rights, dalam jangka waktu sementara, dan untuk kepentingan publik. 

3.      Bahwa defenisi tindak pidana terorisme dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, unsur-unsur tindak pidananya masih kabur dan multitafsir sehingga masih sulit diterapkan. Oleh karena itu, bila karakteristik dalam pendefenisian memuat dimensi politik, kepentingan, ataupun subjektifitas tertentu, pendekatan atau cara terbaik dalam mendapatkan sebuah defenisi yang objektif salah satu kemungkinannya adalah memformulasikan tindak pidana terorisme bukan dari identitas, alasan, motif dan tujuan pelaku, melainkan haruslah dilihat dari aksi dan perbuatan pelaku. Karena pendefenisian dari tujuan atau alasan pelaku dapat bertolak dari stigmatisasi, labelisasi dan subjektif. Namun  bila berdasarkan aksi dan perbuatan, tindak pidana dapat diukur secara lebih objektif. Sehingga syarat-syarat untuk adanya pemidaan akan lebih terukur dengan terpenuhinya actus reus dan mes rea pelaku kejahatan terorisme.

4.      Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 lahir dari “histeria” (kepanikan) pemerintah dalam menghadapi peristiwa bom Bali. Undang-undang tersebut tidak didasarkan pada koreksi komprehensif dalam kerangka kebijakan penanggulangan hukum pidana.  Mekanisme pengaturan yang memberikan otoritas berlebih kepada intelijen; pasal-pasal karet yang multitafsir; dan tidak diaturnya perlindungan hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana, menyebabkan dalam implementasinya rentan penyalahgunaan wewenang oleh aparat; penunggangan isu terorisme untuk tujuan politik; mengancam kebebasan pers dan mengemukakan pendapat; serta menjadi penyebab faktor-faktor kriminogen pada seseorang/kelompok tertentu yang terlabelisasi sebagai teroris. Tidak diindahkannya nilai-nilai yang terkait dengan hak-hak dan kebebasan asasi manusia dalam perumusan undang-undang pemberantasan terorisme, menyebabkan undang-undang tersebut diklasifikasikan ke dalam regulasi yang tidak ramah dengan perlindungan dan penghormatan HAM.

5.      Bahwa dengan diakuinya laporan intelijen sebagai bukti permulaan yang cukup dalam hal penyelidikan dan penyidikan, dapat membuka peluang penyalahgunaan wewenang badan intelijen bagi kepentingan politik pemerintah. Hal ini merupakan salah satu bentuk intervensi badan non-yudisial ke dalam kehidupan penegakan hukum.

6.      Pada hakekatnya laporan intelijen mempunyai kedudukan yang sama dengan informasi/keterangan lain yang diperlukan oleh penyelidik untuk menentukan apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 5 KUHAP. Nilai kebenaran serta keakuratan laporan inetelijen berbeda-beda karena terdapat beberapa kualifikasi dan masih memerlukan kajian/pengujian tentang kebenaran dari laporan tersebut, oleh karena itu laporan intelijen hanya dapat dipakai sebagai informasi/keterangan yang diperlukan oleh penyelidik sebagaimana Pasal 5 ayat 1 huruf a angka 2 KUHAP. Karena laporan intelijen hanya berperan sebagai keterangan untuk menentukan apakah benar telah terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan dalam proses penyelidikan, maka laporan intelijen tidak mempunyai nilai sebagai bukti dalam tahap penyidikan. Artinya, penggunaan laporan intelijen tidak boleh melebihi porsinya sebagai informasi yang digunakan untuk melakukan proses penyelidikan yang hasilnya digunakan untuk melakukan penyidikan. Dalam prakteknya seringkali laporan intelijen justru langsung ditindaklanjuti dengan melakukan penangkapan.

7.      Penegakan hukum dalam proses penyelidikan, penyidikan,  dan persidangan tersangka/terdakwa tindak pidana terorisme, senantiasa memperhatikan perlindungan kebebasan sipil serta penghargaan terhadap hak-hak individu, terutama hak-hak non derogable right, penghormatan terhadap prinsip “presumption of innosence” dan “equality before the law” yang merupakan pilar penegakan hukum pidana. Dalam menyikapi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penegak hukum, kiranya ada semacam treatment (perlakuan) dalam bentuk memperkuat fungsi-fungsi pengawasan, baik yang dilakukan oleh internal kelembagaan atau yang dilakukan oleh sebuah komisi pengawasan, maupun pengawasan langsung dari masyarakat sebagai social control.

8.      Penegakan hukum pidana dalam pemberantasan terorisme dalam pendekatan doktrin “supremacy of moral” dan doktrin “interest of justice” erat sekali dengan tujuan dari hukum pidana yang akan dicapai, yaitu “protection of the public and the promotion of justice for victim, offender and community. Jadi dalam pengimplementasian atau fungsionalisasi penegakan hukum pidana, termasuk di dalamnya undang-undang anti-terorisme, tujuan akhirnya adalah selain perlindungan sosial untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, juga “to bring justice to the people”.

9.      Dengan adanya undang-undang anti-terorisme sebenarnya merupakan kerugian bagi bangsa Indonesia. Maraknya aksi-aksi terorisme yang merupakan kejahatan bersifat ”menimbulkan teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas” sehingga tidak dapat di-cover oleh perundang-undangan yang ada, hal ini tidaklah dapat dijadikan alasan sehingga harus dikeluarkannya undang-undang secara khusus tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Hal ini dikarenakan jenis-jenis tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pemberantasan terorisme sudah ter-cover dalam KUHP, tinggallah kewenangan hakim untuk memberikan hukuman pelaku secara maksimal melalui dasar pertimbangan yang ”memberatkan” akibat ”menimbulkan teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas” tersebut. Oleh karena itu, selain undang-undang anti-terorisme mengabaikan prinsip ”in dubio proreo” dalam hukum pidana, satu hal yang merugikan adalah bahwa sebelumnya kita tidak memiliki teroris, tetapi dengan adanya undang-undang anti-terorisme dengan mempidana beberapa pelaku terorisme, kita telah memiliki teroris.

 

B.    Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka penulis memberikan beberapa sumbangsih berupa saran sebagai berikut :

1.      Perlu segera merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Subjektifitas dalam menerapkan undang-undang tersebut menimbulkan stigmatisasi terhadap seseorang atau sekelompok orang yang diduga sebagai tersangka teroris. Hal ini tentunya dapat berdampak pada timbulnya kekacauan negara, suasana tidak kondusif dan akan semakin membahayakan kestabilan negara.

2.      Badan pembuat undang-undang ketika hendak merevisi, memilih, mengadopsi, ataupun membuat suatu perundangan anti-terorisme, seyogyanya memperhatikan betul keseimbangan atau kesesuaian antara prinsip keamanan (security principle) dengan prinsip-prinsip perlindungan dan penghormatan hak dan kebebasan asasi manusia (libertiy principle) di satu sisi dan dengan prinsip kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat di sisi lainnya, sehingga kebijakan legislasi dan penegakan hukum yang dihasilkan tidak menjadi faktor kriminogen dan viktimogen yang potensial.

3.      Penegakan hukum dalam kerangka integrated criminal justice system harus tetap berada di bawah kontrol publik dan otoritas masyarakat sipil, demi mewujudkan “due prosess of law” bagi tersangka/terdakwa terorisme. Untuk itu diperlukan pengefektifan pengawasan maupun dibuatkan suatu aturan baru mengenai “mekanisme komplain” atas tindakan sewenang-wenang penegak hukum dalam memberantas terorisme. Mekanisme praperadilan sebagai fungsi kontrol oleh badan yudisial yang ada saat ini hendaknya lebih diperhatikan untuk mencegah perlakuan yang sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Selain itu, lembaga ”rechter commisaris” yang saat ini direncanakan akan dibuat dan telah dimasukkan ke dalam rancangan KUHAP, sangat baik untuk diterapkan sebagai fungsi pengawasan agar terhindar dari malpraktik aparat penegak hukum. Secara internal di kepolisian, ada Propam Polri yang tugasnya menerima pengaduan serta menindak pelanggaran etika yang dilakukan oleh polisi. Saat ini kita memiliki Komisi Ombudsman dan Komnas HAM yang hendaknya semakin diperkuat sebagai fungsi kontrol sosial, wadah untuk mekanisme komplain, serta penegakan HAM bagi masyarakat yang menjadi korban pelanggaran HAM dalam pemberantasan terorisme di Inonesia.

8 Tanggapan to “PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA /TERDAKWA DALAM PEMBERANTASAN TERORISME DI INDONESIA”

  1. Raja Amrie Says:

    sebenarnya saya ni dah lama mau masuk teroris, karna ngak ada kerja ni, kerja teroris gajinya brapa sbulan ya?

  2. aku maunya langsung ke inti permasalahan aja

  3. bagus skliii, , ,okeh

  4. masukan, pihak ke amanan harus menjaga ketet terhadap para teroris, awasilah masyarakat yang tak bersalah, jadi korban, baik muslim dan non muslim. oke bls deeh.

  5. menurut saya KEBANYAKAN YG JADI TERORIS ITU kesal dengan aparat hukum yg melangar sedangkan orang biasa melangar sedikit saja sudah dihukum berat na sedangkan aparat atau pemerintah melangar itu dimaklumminya saja oleh atasannya

  6. You’re so interesting! I don’t believe I’ve read through something like that before. So nice to discover another person with some genuine thoughts on this topic. Seriously.. thank you for starting this up. This site is one thing that’s needed on the web, someone with a little originality!

  7. jangan buat pelanggaran HAM baru atas alasan pemberantasan teroris.

Tinggalkan komentar