BUKU MEMBONGKAR KEBIJAKAN NARKOTIKA

Catatan Kritis Terhadap Beberapa Ketentuan dalam UU Narkotika Beserta Tinjauaan Konstitusionalitasnya

Ditulis oleh : Rido Triawan, S.H., Supriyadi Widodo Eddyono, S.H., Virza Roy Hizal, S.H.M.H. dan Totok Yuliyanto, S.H. Kontributor : Patri Handoyo dan Simplexius Asa

 

 

LATAR BELAKANG

Pemberlakuaan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang meggantikan UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengundang berbagai pertanyaan, apakah UU No 35 Tahun 2009 lebih mengutamakan Hak Asasi Manusia dan sesuai dengan kepastian hukum, khususnya bagi pengguna / pemakai untuk dirinya sendiri yang menjadi korban sistem perdagangan gelap Narkotika yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah. Beranjak dari pertanyaan besar tersebut PBHI bekerjasama dengan HIV Cooperation Program for Indonesia melakukan berbagai kegiatan untuk lebih mengkaji UU No 35 Tahun 2009 dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (pemerintah dan organisasi korban) dimanasa salah satunya menghasilkan kertas posisi Catatan Kritis Terhadap Beberapa Ketentuan dalam UUNo 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Beserta Tinjauaan Konstitusionalnya yang ditulis oleh Rido Triawan, S.H, Supriyadi Widodo Eddyono, S.H. Virza Roy Hizal, SH, MH, dan Totok Yuliyanto, S.H, dengan dibantu oleh Simplexius Asa dan Patri Handoyo. Atas banyaknya permintaan dari komunitas korban narkotika dan untuk mengisi literature tentang aspek hukum dan sosial bagi korban narkotika, serta referensi untuk secara integral dampak buruk perdagangan gelap narkotika di Indonesia, kertas posisi tersebut kemudian disempurnakan menjadi buku ‘Membongkar Kebijakan Narkotika di Indonesia”

Mencoba melihat kebijakan narkotika di Indonesia yang begitu besar dan kompleks, penulis mencoba memfokuskan permasalahan kebijakan narkotika khususnya “permasalahan korban dan lembaga pelaporan”, “Politik penggolangan zat Narkotika”, “Hukum pidana dan hukum acara pidana khusus narkotika”, “indikasi pertentangan norma-norma konstitusi”. Tulisan dalam buku ini merupakan deskripsi dari berbagai kajiaan dan literature review kemudian dilakukan diskusi terbatas dengan berbagai pihak pemangku kepentingan. Buku ini adalah formula peyempurnaan dari kertas posisi, maka dalam buku ini juga dilengkapi dengan rekomendasi terhadap berbagai pihak untuk melakukan advokasi terhadap kebijakan narkotika di Indonesia.

Untuk memaparkan buku ini, kami mencoba mengulas hal-hal penting yang kami temui dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kedalam berbagai pembagiaan sebagai berikut:

baca lebih lanjut

  1. I. Masalah Korban dan Lembaga Pelaporan

Terkait peristilahan atau penamaan terhadap pemakai/pengguna narkotika, UU Narkotika menggunakan berbagai istilah yakni “Pecandu, Pasien, Penyalahguna dan korban penyalahguna”, Banyaknya istilah untuk menamakan pemakai/pengguna narkotika berpotensi mendeferensiasi antara pecandu dengan penyalahguna dan korban penyalahguna narkotika. Keberagaman istilah, menimbulkan ketidakjelasan baik dalam rumusan ketentuan lain dalam UU Narkotika, pelaksanaanya, serta melahirkan realita yang berkemebang dimasyarakat yakni baik pecandu, penyalahguna mendapat sanksi sosial dan mengalami stigma dan diskriminasi.

Sedangkan untuk lembaga pelaporan, dimana UU Narkotika menggunakan aturan wajib lapor bagi pengguna narkotika dan/atau kelurganya untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, dengan mengancam pecandu/orangtua,  dimana pelaporan ini dikompesasi dengan tidak dituntut pidana. Atas hal ini kami melihat berpermasalahan yakni :

–          Nasib pecandu/orang tua pecandu yang telah melalui dua kali masa rehabilitasi berpotensi dituntut pidana, walau WHO sudah mengkategorikan adiksi sebagai suatu penyakit kronis kambuhan.

–          UU Narkotika memiliki dua pendekatan antara melihat pengguna narkotika sebagai korban sehingga harus direhabilitasi dan pengguna narkotika sebagai pelaku pidana, dalam pelaksanaanya pendekatan pemidanaan telah dilaksanakan terlebih dahulu, sedangkan untuk rehabilitasi masih menunggu peraturan pelaksana.

–          Pengancaman dengan menggunakan sanksi pidana kepada pecandu dan/ atau orang tua pecandu tidak sesuai dengan tujuan dari wajib lapor itu sendiri. Hukum pidana seharusnya diterapkan sebagai “Ultimum Remidium” atau upaya terakhir dalam mengatasi atau menghukum sebuah perbuatan yang dianggap melukai rasa keadilan masyarakat dan ketika dianggap tidak ada cara lain yang dianggap efektif untuk mengatasi perbuatan dimaksud, hendaknya digunakan cara lain untuk memotifasi pengguna, orang tua dan keluarga

–          Ketentuan mewajibkan pengguna dan orang tua untuk melapor merupakan pelanggaran atas asas non self incrimination, hak untuk tidak menjerumuskan diri sendiri, melarang negara atau pemerintah untuk memaksa orang agar memberikan kesaksian yang dapat menjerumuskan dirinya dalam suatu kasus tindak pidana pada saat ini, maupun masa depan.

Permasalah bagi pengguna narkotika, semakin menjadi dengan minimnya ketentuan yang memberikan jaminan pengurangan dampak buruk pemakaiaan narkotika, walaupun dalam Declaration on The Guiding Principles of Drug Demand Reduction menyebutkan kebijakan narkotika pada tingkat Nasional maupun Internasional harus bertujuan tidak hanya mencegah pemakaiaan narkotika tetapi juga pengurangan dampak buruk dari pemakaiaan narkotika.

  1. II. Masalah Politik Penggolongan Zat Narkotika

Persoalan lain dari UU Narkotika adalah masalah penggolangan zat narkotika. UU No 35 Tahun 2009 memasukan beberapa golongan I dan II zat psikotropika kedalam golongan I yang diatur dalam UU Narkotika. Berdasarkan hasil penelusuran dan diskusi dengan pihak terkait tidak ditemukan alasan ilmiah kenapa beberapa golongan I dan II Psikotropika kedalam golongan I Narkotika. Adapun motif penggabungan psikotropika kedalam Narkotika yakni :

–          Menjelang abad 21 peredaran gelap dan penggunaan psikotropika semakin meningkat, sedangkan UU Psikotropika dianggap sudah tidak ampuh lagi.

–          Penyamaan permasalahan yang sama antara Narkotika dan Psikotropika, sehingga merubah UU Narkotika dengan memasukan zat psikotropika kedalam golongan I Narkotika menyelesaikan dua permasalahan sekaligus, baik dalam sudut penegakan, penanggulangan dll

Implikasi masuknya psikotropika dalam UU Narkotika adalah, Indonesia hanya mengakui psikotropika yang diatur dalam UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dikurangi psikotripakia yang sudah dimasukan kedalam Narkotika. Penanganan pengguna psikotropika melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial disamakan dengan  narkotika, walau efek dari zat narkotika dan psikotropika berbeda. Penggolongan narkotika maupun psikotropika tidak serta merta ditentukan negara dengan demikian mudah, sejatinya penggolongan narkotika didasarkan pada tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh konsumsi zat tersebut.

III. Masalah Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana dalam Hukum Narkotika di Indonesia

Pembaharuan kebijakan narkotika dengan dikeluarkannya UU No 35 tahun 2009 adalah penguatan kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan meningkatnya sanksi pidana penjara maupun denda. UU No 35 Tahun 2009 tentang narkotika, memberikan pengaturan lainya diluar KUHAP yakni pada penyitaan dan pemusnahan barang bukti. Dalam buku Membongkar kebijakan narkotika kami mengkritisi berbagai hal khususnya dalam Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana antara lain :

–            Besarnya kewenangan yang dimiliki BNN sebagai alat negara yang berfungsi menegakan supremasi hukum dalam memberantas dan menanggulangi kejahatan narkotika, sepantasnya dibentuk suatu badan/lembaga pengawasan eksternal demi terciptanya perlindungan, rasa aman dan pemenuhan keadilan bagi warga negara Indonesia sebagai bangsa yang beradab

–            Pembedaan kewenangan antara BNN dan aparatur penegakan hukum lainya, tanpa membedakan pembagian kerja diantara penegak hukum menimbulkan pelanggaran prinsip persamaan didepan hukum, hal ini dapat dilihat dengan kewenangan BNN untuk dapat menangkap seseorang selama 6 hari sedangkan penyidik Polri hanya 1 hari.

–            Lamanya jangka waktu penangkapan yang dilakukan oleh penyidik BNN, berpotensi menimbulkan penyiksaan dan perlakukaan kejam, korupsi dalam sistem peradilan dll.

–            Kewenangan melakukan teknik pembelian terselubung (under cover buying) dan penyerahan dibawah pengawasan (controlled delivery) penggunaan kewenangan ini berpengaruh dengan proses pembuktiaan karena semua pihakyang menjual, membeli dll harus diungkapkan dalam peradilan, pengawasan hanya pada tingkat atasan, menimbulkan masalah apabila terjadi terdapat oknum yang mengedarkan narkotika, ketika diketahui kemudiaan bisa diaggap sebagai penggunaan kewenangan pembelian terselubung dan penyerahan dibawah pengawasan.

–            Salah satu permasalahan penegakan hukum narkotika, adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penyitaan dan pemusnahan barang bukti. UU Narkotika sudah berupaya melakukan terobosan hukum agar penyitaan dan pemusnahan barang bukti dilakukan secara lebih cepat dibandingkan menggunakan aturan dalam hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP, namun masih jauh dari transparansi dan hak tersangka untuk mengklarifikasi kebenaran data yang dikemukakan oleh penyidik.

–            UU Narkotika memberikan kewenangan Hakim untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, ketentuan ini terlihat adanya ketidaksesuaian yakni disalah satu sisi dianggap tidak bersalah, namun disatu sisi memerintahkan menjalani pengobatan dan/ atau perawatan

–            Penggunaan hukum pidana minimal dan tingginya denda dalam ketentuan-ketentuan yang memungkinkan pengguna narkotika terkena didalamnya baik karena menguasai, menyimpan, memiliki atau membeli narkotika secara melawan hukum dan tanpa hak, walau dipergunakan untuk dirinya sendiri, menimbulkan polemic tersendiri bagi hakim. Sanksi pidana harus pula dilihat dari keuntungan dan kerugiannya agar hukuman itu benar-benar menjadi upaya penyembuh dan bukan justru membuat “penyakit” yang lebih parah dalam masyarakat.

–            UU Narkotika tidak secara jelas membedakan antara pengedar narkotika dan pengguna narkotika untuk dirinya sendiri, secara internasional gramatur dapat dijadikan ukuran apakah narotika yang dimiliki, dikuasai, disimpan, diterima atau dibeli dipergunakan untuk diri sendiri atau diperdagangkan. Gramatur dalam UU Narkotika masih bersifat untuk memperberat sanksi pidana namun bukan sebagai pembeda, Mahkamah Agung RI melalui SEMA No 4 Tahun 2010 sudah mengatur jumlah gramatur ini. Semoga penegak hukum yang lain juga memiliki pemahaman yang sama pembedaan antara pedagang narkotika gelap dengan pengguna, sehingga besarnya kewenangan yang dimiliki lebih untuk mengungkap perdagangan gelap narkotika dan bukan mengumpulkan pengguna narkotika dalam penjara.

–            UU Narkotika juga tidak mengatur secara khusus daluwarsa, sehingga dimungkinkan pengguna narkotika yang sudah tidak menggunakan narkotika dapat sewaktu-waktu dihukum bila terdapat bukti bahwa dahulu pernah menggunakan, memiliki, menyimpan atau membeli narkotika

–            Sanksi bagi orang yang tidak melaporkan tindak pidana narkotika, khususnya pengguna narkotika berpotensi menghambat aktifitas penggiat penanggulangan dampak buruk narkotika dan pihak-pihak yang melakukan pendampingan hukum dan hak manusia

–            Beberapa ketentuan dalam UU Narkotika sangat fleksibel digunakan untuk menjerat pengguna narkotika, dan berpotensi memberikan sanksi yang berlebihan dan korupsi dalam sistem peradilan

IV. Tinjauaan Konstitusionalitas UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Ketentuan yang memberikan kewenangan kepada BNN untuk melakukan penangkapan dengan jangka waktu penangkapan yang melebihi jangka waktu dalam Hukum Acara pidana memiliki indikasi pelanggaran konstitusionalitas , karena melanggar norma kepastian hukum yang adil, perlakuan hukum yang sama didepan hukum dan berpotensi menimbulkan penyiksaan dan perlakuan kejam lainya Ketentuan yang mempidana bagi orang tua atau wali dari pecandu yang tidak cukup umur karena tidak melapor merupakan pelanggaran azas non self incrimination, takut untuk berbuat dan tidak berbuat. Pembatasan masa dua kali rehabiltasi bagi pecandu narkotika untuk tidak dituntut pidana mengurangi kepastian hukum dan keadilan bagi korban dan menunutup akses hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia.

  1. V. Rekomendasi

Buku “Membongkar Kebijakan Narkotika” yang merupakan penyempurnaan dan pencetakan dari Kertas Posisi “Catatan Kritis Terhadap Beberapa ketentuan dalam UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Beserta Tinjuaan Konstitusionalnya” dimana dihasilkan berbagai rekomendasi yang kemudiaan dianggap penting untuk diakomodir dalam buku ini, rekomendasi tersebut adalah :

  1. Perlu adanya penyebarluasan permasalahan yang terdapat dalam UU Narkotika, sehingga mengurangi potensi pelanggaran HAM khususnya bagi Pengguna Narkotika dan pihak pemangku kepentingan;
  2. Pentingnya melakukan pengawasan terhadap pembuatan dan penerapan peraturan pelaksanaan UU Narkotika khususnya yang bersinggungan dengan korban Narkotika dan penanggulangan peredaran gelap narkotika;
  3. Melakukan monitoring terhadap pelaksanaan UU Narkotika, khususnya mengenai wajib lapor dan rehabilitasi serta penggunaan kewenangan oleh penyidik;
  4. Melakukan konstitusional review atas kerugiaan yang ditimbulkan atas permasalahan penangkapan yang berlebihan, kewajiban lapor bagi orang tua dan wali serta pembatasan rehabilitasi bagi korban narkotika ;
  5. Perlunya gerakan bersama untuk melakukan pengawasan dan advokasi terhadap penanggulangan dampak buruk peredaran gelap narkotika agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM bagi korban-korban Narkotika;

10 Tanggapan to “BUKU MEMBONGKAR KEBIJAKAN NARKOTIKA”

  1. saya bisa dapatkan buku ini dimana? bisa pesan atau sudah ada di pasaran? lokasi saya di surabaya
    tolong balasannya di email saya, terima kasih

  2. di wilayah NTB di mana kita tempat penjualan buku tersebut

  3. basri jagur Says:

    saya juga lagi nyari buku,dimana bisa dapetnya??

  4. basri jagur Says:

    bukunya udah dipasarkan apa belum ya???saya coba nyari di toko buku kok belum ada????

  5. mohon informasinya cara mendapatkan buku ini pada kesempatan pertama pada alamat surel saya dan cara pembayarannya.

    krn saya cari kemarin (15/5/2012) di toko buku ternama di jakarta, buku tersebut tidak ada.

    terima kasih atas info dan kerjasamanya.

  6. pesen 1 ya pak… bolehkah? gimana caranya?

  7. sandi muslihat Says:

    saya korban narkoba akibat penyelewengan penyelidikan penyidik polsek palmerah krn bb 2 butir dumolid ditukar dgn shabu dg janji hukuman obat dumolid lebih lama. jika sabu bisa direhab ternyata suyatno penyidik polsek palmerah berbohong dan penyalahan tuntutan jpu susanto pn jakbar krn dgn dakwaan pasal 112 subsidier 127 uu no 35 th 2009 harusnya memenuhi syarat utk di rehab di bnn lido, tetapi di vonis 4th 8 bulan. krn jpu minta 100jt tdk bisa ditawar. mhn bantuannya sekarang di rutan salemba sudah 1th 2bln. blok c kamar 4 sandi muslihat

  8. sandi muslihat Says:

    kebenaran harus ditegakan demi keadilan, namanya kementerian hukum dan ham harus benar2 mengacu pd hak azasi manusia, pancasila, uud45 dan ketuhanan yme. sandi muslihat rutan salemba blok c kamar 4 butuh pertolongan orang yg berani melawan ketidak adilan

  9. marialova Says:

    pesan online bisa gag?? dgramedia ada gag?/

  10. Memang hukum sekarang tidak adil kenapa korban narkotika disamakan dgn teroris ..aneh

Tinggalkan Balasan ke basri jagur Batalkan balasan